Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Larantuka, Negeri Bunda Berduka

12 September 2016   14:09 Diperbarui: 13 September 2016   10:15 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selepas mengabadikan keuskupan Larantuka, segera saya bertemu dengan plank Nama Tuan Ma, saya pun mengikuti petunjuk arah yang terpasang di tepi jalan Don Lorenzo itu. Sayangnya, tempat yang dimaksud tidak saya temui, sebagai gantinya, saya disuguhi sebuah Taman Mater Delarosa. Taman dimana ada Patung Bunda Maria sedang memangku lelaki dalam kondisi lemah, sementara pada bagian-bagian kecilnya, ada semacam diorama tentang perjalanan kehidupan sekitar Bunda Maria. Dari kunjungan pada Taman yang diresmikan oleh Gubernur NTT Herman Musakabe pada tanggal 15 April 1995 itu, malah menyisakan pertanyaan. Apakah arti Mater itu? Apa pula arti Dolorosa?

Patung Mater Dolorosa, di Taman Mater Dolorosa (dok. Pribadi)
Patung Mater Dolorosa, di Taman Mater Dolorosa (dok. Pribadi)
Masih penasaran dengan tujuan yang tidak berhasil saya temui. Saya kembali berputar. Di tempat yang dituju, saya bertanya pada sebuah warung Sembako yang sedang buka. Sang pemilik warung, memberi tahu saya pada bangunan kapela tanpa papan nama, itulah alamat yang saya tuju. Sambil ditanya apa  kepentingan saya pada bangunan kapela tanpa papan nama itu? Setelah saya utarakan, pemilik warung menyarankan saya untuk menemui pemegang kunci kapela itu, sekaligus memberi tahu, jika pemegang kunci itu, cucu dari Tuan Ma. Rumah yang beratap ilalang itu Pak. Demikian, kata pemilik warung, sambil menunjuk sebuah bangunan sederhana di sebelah bangunan Kapela yang beratap ilalang. Sangat disayangkan, ketika saya mengetuk pintu rumah beratap ilalang itu, sang pemilik rumah tidak berada di tempat.

Tak ingin membuang waktu, saya kembali menuju jalan Don Lorenzo, kali ini, kembali ada plank menunjuk sejajar arah dengan petunjuk arah kapela Tuan Ma. Namun,  kata-katanya, sungguh menarik, Istana Raja Larantuka.  Saya kembali menapaki arah jalan sesuai petunjuk. Sasaran yang saya cari berhasil. Sebuah Istana. Namun sayang, Istana yang dimaksud kosong. Tak ada keterangan yang didapatkan, hanya beberapa view dari Istana dapat saya koleksi. Selebihnya nihil.

Kapel-kapel pada Taman Mater Dolorosa (dok.Pribadi)
Kapel-kapel pada Taman Mater Dolorosa (dok.Pribadi)
Kembali ke jalan Utama, jalan Don Lorenzo. Kembali ada plank nama arah Tuan Ana Chapela, kembali yang saya peroleh bangunan tertutup yang pagarnya tertutup rapat, letaknya persis di seberang jalan dimana Mater Dolorosa  berada.

Kembali lagi ke jalan semula, jam telah menunjukkan pukul dua siang, agaknya perut sudah tak mau lagi kompromi, akhirnya, diujung jalan Don Lorenzo, saya menemukan warung Padang. Tak ada keterangan yang dapat diperoleh dari Pemilik Rumah Makan kecuali dia sudah berada selama tiga puluh tahun di Larantuka.

Selesai makan, baru saja kendaraan melaju, saya menangkap sebuah Gereja cukup besar, reflex saya memasuki halamannya, mengambil beberapa view di halaman Gereja besar tanpa nama itu. Tiba-tiba dari Rumah sebelah Gereja, yang kelak saya ketahui sebagai Asrama pastor, keluar lelaki setengah baya, yang saya kira seorang Pastor. Menurut keterangan Pastor yang saya temui, nama Gereja itu Katedral Reinha Rosaria. Tak dinyana, apa yang saya cari bertemu  tanpa sengaja.


Kapela Tuan Ana, persis dihadapan Taman Mater Dolorosa (dok.Pribadi)
Kapela Tuan Ana, persis dihadapan Taman Mater Dolorosa (dok.Pribadi)
Selanjutnya, saya menemukan Museum of Bishop Gabriel Manek, sayangnya, kondisi Museum of Bishop Gabriel Manek, begitu lengang, hanya ada seorang jemaat yang tak dapat di ganggu karena sedang melakukan peribadatan. Saya rasa, saya datang pada jam yang salah, (ada tradisi di Larantuka, NTT umumnya, jam istirahat berlangsung mulai pukul 2 siang hingga pukul 4 sore). Sementara  Tuan Meninu Chapel kondisinya terkunci dari luar, sehingga saya hanya dapat mengabadikannya saja, sementar  seberang jalan terdapat Taman Do’a Tuhan Meninu.

Tujuh lokasi yang direperensikan sudah saya kunjungi, sementara siapa Tuan Ma, masih belum terjawab.  Untuk alasan itulah, kembali saya menuju rumah beratap ilalang, untuk kembali mencari jawaban akan pertanyaan yang masih menggantung itu. Semoga  saja, sang pemilik rumah sudah kembali.

Istana Raja Larantuka, tampak lengang tak berpenghuni (dok.Pribadi)
Istana Raja Larantuka, tampak lengang tak berpenghuni (dok.Pribadi)
Prosesi Jalan Salib.

Alhamdulillah, sang pemilik rumah atap ilalang, berhasil saya temui, meski harus menunggu cukup lama. Sosok yang saya tunggu itu, ternyata lelaki setengah Umur dengan wajah bersahabat, dengan tutur kata hangat, yang bernama wilhelmus Resiona. Biasa dipanggil dengan Om Wimpi. Om Wimpi, menurut penuturan beliau, adalah generasi ke 19 dari Pemuda Resiona yang nanti akan saya ceritakan, siapa pemuda ini.

Ternyata, arti Tuan Ma, jauh panggang dari api, sebagaimana perkiraan awal saya. Tuan Ma, berasal dari kata Ema, yang dalam bahasa lamaholot, bahasa tua Larantuka, memiliki arti wanita terhormat dan wanita baik-baik. Akhirnya, lahirlah sebutan sebagai Bunda Maria…. Lalu, sesuai perkembangan lidah Larantuka, akhirnya berubah menjadi Tuan Ma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun