Sabtu sore itu, ada rencana berkunjung ke Danau Kelimutu. Semua rencana kunjungan sudah dipersiapkan matang. Kamera, kendaraan, perbekalan. Termasuk jam berangkat dari Nagekeo. Agar tiba di Kelimutu jam enam pagi, kami berencana berangkat jam tiga pagi.
Namun, ditengah persiapan pergi malam minggu itu. Ada berita, ada hal yang lebih urgent untuk dikerjakan di Bajawa. Maka, berubahlah arah perjalanan, dari awalnya ke Kelimutu menjadi ke kota Bajawa. Tak ada masalah, dua-duanya belum pernah saya kunjungi.
Perjalanan pagi itu, seperti perjalanan hari-hari sebelumnya, kendaraan asyik meliuk-liuk mengikuti jalanan yang tak pernah lurus, berbelok ke kiri dan kanan, mengikuti alur perbukitan sepanjang perjalanan. Di sisi jalan yang satu jurang, sementara sisi jalan yang lain tebing, tanpa pagar pengaman, kecuali tanaman perdu. Sungguh “ngeri-ngeri sedap”. Gambaran singkatnya seperti perjalanan di daerah Puncak plus jurang menganga. Dan itu, terjadi sepanjang perjalanan. Semantara di setiap keloknya Gunung Inerie terlihat selalu mengawasi perjalanan kami.

Minggu pagi itu, jam baru baru saja menunjukkan pukul 10.30. suasa seminari Santo Yohanes Berkhmans atau yang akrab dipanggil masyarakat dengan Seminari Mataloko terlihat sepi dari luar seperti hari-hari biasanya. Saya yang sedang mengabadikannya bentuk fisik sekolah, lalu menuju Gerbang utama, dengan tujuan sama, mengabadikannya.
Tiba-tiba saya dikejutkan dengan keluarnya serombongan suster-suster di dampingi seorang Pastor. Pucuk dicinta ulam tiba. ada kesempatan untuk berfoto bersama dengan suster dan Pastor, sekaligus ada tempat untuk bertanya tentang hal-ikhwal seminari Mataloko dari sumber yang dapat dipercaya.

Berbeda dengan sekolah seminari yang saya kenal selama ini, pada Seminari Mataloko ternyata siswanya bukan hanya mereka yang setara SMA saja, melainkan ada juga yang setara dengan SMP.
Ide awalnya, sekolah seminari ini, berawal dari niat luhur Mgr A.Verstraelen, SVD. Lalu ide awal itu, mulai diwujudkan oleh Pater Fransiskus Cornelissen, SVD dengan membangun seminari kecil di Maumere, kabupaten sikka pada tahun 1926. Lalu dengan pertimbangan untuk lebih memajukan dan mengembangkan pendidikan, sekolah itupun dipindahkan ke Mataloko kabupaten Ngada yang berjarak 264 km dari Maumere pada tahun 1929.

Ribuan alumnus telah dilahirkan, tak terbilang Pastur sudah dihasilkan, dan enam belas Uskup telah yang telah dilahirkannya. Agaknya, hal demikian, akan tetap berlangsung selama seminari ini tetap eksis dalam pendidikannya.
Mengapa saya menuliskan Seminari Menengah “Santo Yohanes Berkhmans”? agar pembaca semua tahu, bahwa inilah seminari kedua tertua di Indonesia setelah Seminari Mertoyudan di Jawa Tengah. Jadi, seminari ini, adalah asset bangsa yang turut mewarnai perjalanan Bangsa Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI