Mohon tunggu...
Iswandi Banna
Iswandi Banna Mohon Tunggu... pegawai negeri -

MC Wedding & Event //\r\nBlogger (www.iswandibanna.com)//\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Perjuangan Hidup dan Mati di Gunung Rinjani

25 April 2012   03:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:08 1281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puncak Kosong Wrong spot

[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Puncak Kosong > Wrong spot"][/caption] Asyik!! pertualangan menaklukkan Rinjani segera dimulai. Kami bertiga sudah siap dengan carrier, sepatu gunung, matras, dan tetek bengek para pendaki. Yedo yang notabene sang pecinta alam, Guntur sang petualang, dan saya sendiri sebagai motivator, maap supporter maksudnya.

Desa Sembalun (NTB) begitu memikat menyambut kehadiran pemuda tangguh seperti kami. Perjalanan berjalan normal. Pos pertama akan segera kami raih. Dua jam berlalu, tapi kok tanda-tanda bau pos belum tercium. Menurut info, harusnya pos pertama dapat ditempuh dalam dua jam saja. Firasat kami mulai muncul. Mungkinkah kami tersesat? Daripada penasaran, berbekal kompas dan google maps kami meniti jalan sendiri.

Dua hari kami berada di track yang asing. Melewati tanjakan dengan kemiringan ekstrim 60 derajat yang terus menerus menguras energi, fisik dan mental. Belum lagi, tebing curam yang menggetarkan hati. Cobaan berlanjut dengan cuaca gunung ekstrim saat tiba di puncak gunung. Puncak gunung dengan gagah mentereng di atas 3420 mdpl. Indah, memang indah. Tapi perasaan kami kok tidak nyaman dan sedikit kalut. Begitu tinggi di atas permukaan laut. Yang terlihat hanyalah awan dan kadang pesawat.Anehnya, kok nggak ada pendaki lain ya di titik ini. Beberapa menit, kami terdiam, dan sadar bahwa kami tiba di puncak yang salah. Tidakkkkk!!!

Segera Yedo meraih telpon genggam, alhamdulillah masih dapat sinyal. Ikhtiar pertama kami adalah menelpon pusat info Posko Rinjani. Sayangnya, bukan empati yang kami dapat, justru kami kena semprot kemarahan petugas,mengapa nekad jalan sendiri tanpa jasa guide resmi. Argggh! Oke kami harus mengakui keteledoran ini. But, the survival must go on! Kami harus meninggalkan ‘Puncak Misteri’ ini.

---

Perbekalan air kami kian menipis. Dengan berat hati, kami putuskan untuk berkemah di lereng gunung. Alas tenda pun disulap menjadi selimut. Mustahil kami membuat tenda diatas lereng dengan kemiringan 45 derajat ditambah besarnya angin. Lengkap sudah penderitaan. Tapi, tunggu dulu, beruntungnya kami karena ada genangan air di antara batu-batu yang bisa kami santap untuk menghilangkan dahaga dan menambah energi. Semoga malam ini baik-baik saja. Aaamiin.

Esok hari, sang fajar menapakkan keperkasaannya. Kami sadar harus gerak cepat turun sesegera mungkin menembak arah menuju bendungan air di kaki gunung. Prediksi kami, itu jalur yang paling dekat dan memungkinkan. Track turun kali ini benar-benar terjal melewati beberapa jurang. Pilihannya antara bertahan atau maut.

Alhamdulillah, ‘Jurang-jurang Maut’ telah kami lalui. Percaya diri kami makin meningkat, semangat hidup makin menggelora. Rintangan jurang benar-benar menguras fisik. Ya, tinggalsemangat yangkami miliki. Kaki kami mulai terseok-seok meniti jalan. Bibir berubah pecah-pecah akibat cuaca ekstrim dan dehidrasi. Celana gunung mulai merosot pertanda bobot tubuh mulai menyusut.

Kami tidak boleh hilang harapan. Konflik batin mulai bergelut antara bisa hidup atau mati. Tuhan! Mohon maaf jika selama ini kami menyia-nyiakan kesempatan hidup yang telah Engkau anugerahkan. Tuhan! Ampuni kami, yang seringkali kufur akan nikmat Air. Ya, kami benar-benar membutuhkan air untuk men-charge raga ini.

Tapak demi tapak kami telusuri. Kondisi rekan kami, Yedo manampakkan posisi terlemahnya. Saat ia buang air kecil, ia merasakan nyeri dan teramat perih. Bisa jadi ini efek energi sudah terkuras melemah dan dehidrasi yang teramat parah.

Dalam pikiran kami terus berharap mampu sampai di kaki gunung dengan selamat. Matahari beranjak ke peraduannya. Tidak, sedikit lagi senja akan menampakkan taringnya. Jujur, kami tidak ingin bermalam di area gunung lagi. Waktu menunjukkan pukul enam sore. Lamat-lamat dari kejauhan terlihat satu titik bergerak. Syukurlah! Kami melihat sosok orang tua yang sedang mengais rumput untuk hewan ternaknya. Wajah pucat kami seketika berubah ceria penuh kegembiraan, mental kami drastis membuncah melewati level kebahagiaan.

Betapa tulusnya sang Bapak, kami bertiga diantar menuju pos terdekat yang ternyata adalah pos security dari sebuah pabrik disana. Suguhan pertama berupa air dan melon terasa begitu nikmat bak makanan surga. Benar-benar nikmat memuaskan. Dalam hitungan detik semua melon ludes kami lahap. Sempat terharu juga merasakan momen itu.

Sepatu gunung yang baru saya beli menjadi saksi perjuangan antara hidup dan mati. Sempat merasa ngeri melihat kaki dalam sepatu gunung ini. Pastinya telapak kaki dan jari-jari hancur berlumuran lecet dimana-mana.Luka-luka di di badan, lecet, kapalan, muka terbakar matahari menjadi bukti pertualangan berat ini. Sampe-sampe wajah lebam ini begitu nyeri jika disentuh.

Benar-benar perjalanan yang menyeramkan dan menegangkan. Semoga menjadi kenangan yang menorehkan hikmah yang mendalam dan menjadi catatan dalam tinta emas perjuangan hidup dan mati kami.

Semoga bermanfaat

Best Regards

Iswandi Banna

twitter iswbanna

www.iswandibanna.com

note: Seperti diceritakan oleh seorang teman tentang perjuangan survival nya ketika lima hari tersesat di Gunung Rinjani. Nama tokoh disamarkan sesuai permintaan.

foto-foto: dokumentasi pribadi sang pendaki

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun