Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

2 Penyakit Paling Berbahaya bagi Perkembangan Karakter Peserta Didik

12 Januari 2023   19:44 Diperbarui: 13 Januari 2023   05:37 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Menyalahkan orang lain (Pexels.com/RODNAE PRODUCTION)

Mika sejak kecil memiliki karakter yang susah diatur, selalu ingin menang sendiri, dan bila ada yang tidak sesuai dengan keinginannya, ia akan menyalahkan orang lain. Saat ini, Mika duduk di sekolah menengah pertama, alih-alih berubah sikap menjadi lebih baik, perilaku Mika malah semakin menjadi. Ia bahkan sudah terbiasa menyakiti teman-teman dengan perilaku buruknya.

Sudah banyak laporan yang masuk kepada Ibu Indah-sebagai wali kelas Mika. Pihak BK (Bimbingan dan Konseling) juga sudah turun tangan untuk menanganinya. Namun, perilaku Mika tetap saja seperti itu. Tidak menunjukkan perkembangan ke arah yang baik. Akhirnya, Bu Indah dan Guru BK berinisiatif melakukan home visit ke rumah Mika. Dengan tujuan melakukan wawancara dengan orangtuanya Mika, terkait karakter dari anaknya.

Saat berkunjung ke rumah Mika dan bertemu dengan kedua orang tuanya. Ibu Indah dan Guru BK menyaksikan bagaimana parenting orang tua Mika terhadap adik Mika yang masih berusia balita. Adik Mika yang bernama Minda, waktu itu sedang naik ke atas kursi untuk mengambil mainan bonekanya yang ada di atas nakas. Brakk! Tiba-tiba saja Minda jatuh.

Karena terkejut dan merasakan sakit pada lututnya yang terantuk kaki kursi, Minda pun menangis dan menjerit-jerit. Ayahnya secepat kilat menggendong Minda, begitu pun ibunya, sambil memukul kursi dan berkata,"Kursinya nakal, kamu nakal sekali kursi, harus dipukul karena sudah menyebabkan Adek Minda jatuh."

Melihat kasus tersebut, Ibu Asri sebagai guru BK yang mengetahui dengan pasti tentang psikologi, akhirnya memohon diri dan mengajak Ibu Indah untuk berkunjung di lain waktu. Di perjalanan Bu Asri bercerita, bahwa dia sudah mengetahui penyebab dan akar masalah, mengapa Mika memiliki karakter yang buruk seperti itu.

Bukan Salah Saya!

Pola asuh masa kecil seperti yang dilakukan orangtua Mika, ternyata disinyalir sebagai penyebab utama dari buruknya karakter individu. Edy Wiyono, biasa dikenal dengan Ayah Edy-Praktisi parenting dan penulis buku mengatakan bahwa kebiasaan orang tua saat menyalahkan benda mati saat anak jatuh atau terluka dapat berdampak buruk yang sangat fatal pada perkembangan prilaku anak saat ia dewasa.

Lambat laun, akan tertanam dalam benak anak, bahwa saat kita mendapat musibah, tidak berhasil, serta mengalami banyak hal yang gagal dan tidak beruntung. Bahkan, saat kita berbuat kesalahan terhadap orang lain pun. Dengan pola asuh yang selalu menyalahkan benda mati, saat anak mendapatkan hal yang tidak nyaman. Maka, anak akan mengembangkan kebiasaan dan perilaku tidak sehat dalam dirinya tersebut yang akan terbawa hingga mereka dewasa.

Pola asuh menyalahkan benda ini akan membentuk perilaku anak yang selalu bersikap membela diri secara membabi buta. Ia tidak peduli atas hukum benar-salah. Meskipun, mereka tahu betul tentang hukum tersebut. Di dalam pikirannya, yang ada hanyalah egosentrisme, bahwa dirinya sebagai pusat semesta.

Ketika mereka balita, mungkin orang tua akan merasa lucu dan mentertawakan tingkah anak-anaknya saat berkata, "Itu bukan salah aku, Mah! Salah bantal, karena ngalangin jalan adek." Apalagi dengan suara bayinya yang masih cadel. Namun, percayalah! saat mereka dewasa, orang tua akan merasa sedih dan kecewa, serta kesal setengah mati. 

Karena, kalimat 'Bukan salah saya!' yang dilontarkan anak kita saat mereka tidak berhasil. Hal tersebut memberikan indikasi kepada kita, bahwa pendidikan yang diberikan oleh orangtua telah gagal. Anak kita tumbuh menjadi anak kecil yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. Dia telah menjelma menjadi orang dewasa yang tidak memiliki pendirian, motivasi, dan rasa tanggung jawab.

Alangkah sedih dan nelangsanya hati orang tua, kala mendapati anak yang sangat dikasihi dan dibangga-banggakan sedari kecil itu hanya sibuk saja membela diri, dengan berkata : "Bukan salah saya, kok!" Padahal, jelas-jelas dia yang bersalah, dan perilakunyalah yang menyebabkan ia selalu dirundung masalah dan kegagalan.

Mencari Kambing Hitam

Proses memukul benda-benda dan menyalahkan benda saat anak terjatuh pun secara tidak langsung mengajarkan kepada anak, bahwa akan selalu ada pihak lain di luar dirinya yang berkontribusi dalam setiap hal yang tidak nyaman bagi dirinya. Anak akan belajar untuk mencari 'kambing hitam'. Baik berwujud orang, benda, cuaca, bahkan hal yang tidak kasat mata.

Alih-alih mencari solusi atas masalah yang tengah dihadapinya. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti itu, akan sibuk mencari orang atau hal yang bisa dijadikan sebagai sesuatu yang harus bertanggungjawab atas kegagalan yang menimpa dirinya. Sikap ini akan nampak dan menjadi bumerang bagi orang tua. Kala anak mulai melawan dan tidak mendengarkan nasihat orang tua.

Mungkin kita akan merasa penasaran, mengapa sih istilah kambing hitam ini begitu populer? Di dalam Jewish Folklore, yang dijadikan sumber acuan oleh Robert Greene dalam bukunya The 48 Law of Power dikisahkan bahwa ada seorang gubernur yang melakukan suatu tindakan korupsi dan akan dihukum pancung.

Namun, rakyat tidak terima jika pemimpin mereka dihukum dan meminta agar gubernur tersebut menunjuk ajudannya sebagai orang yang menggantikan hukuman tersebut. Terjadilah kesepakatan antara hakim, gubernur, ajudan dan masyarakat. Saat akan dipancung, si ajudan tiba-tiba menderita sakit. Secara hukum, orang yang sakit tidak boleh dieksekusi. Lalu, hakim pun menunjuk ajudan satu lagi, yang kondisinya sehat.

Warga lagi-lagi merasa keberatan, dan berkata :"Kalau ajudan satu ini dihukum, nanti siapa yang akan mendampingi gubernur dalam melaksanakan tugasnya?" Akhirnya, pengadilan tersebut diserahkan kepada tetua adat untuk memutuskan hukuman yang tepat. Saat tetua adat naik mimbar, dia berdehem beberapa kali. 

Lalu, terdengarlah suara seekor kambing, "Mbeek!Mbeek!" seekor kambing berbulu hitam melintas di tengah alun-alun tempat ekesekusi akan dilaksanakan. Tetua adat menangkap kambing hitam tersebut, sambil mengelus jenggot si bandot, tetua adat berkata, "Kesalahan pemimpin kita dan kesalahan kita semua sudah saya pindahkan kepada kambing hitam ini. Oleh karena itu, sekarang mari kita halau ramai-ramai kambing hitam ini agar masuk ke dalam hutan."

Sejak peristiwa itu terjadi, seluruh rakyat berbondong-bondong membeli kambing hitam dan memeliharanya. Agar ketika suatu saat mereka melakukan kesalahan di hadapan hukum, maka sudah tersedia kambing hitam yang akan menanggung kesalahan mereka.

Nah, pertanyaanya apakah kita sebagai guru harus bersiap-siap memelihara kambing hitam juga? Karena, saat peserta didik kita memiliki karakter yang buruk dan terasa sulit untuk diperbaiki. Sebab mereka selalu menganggap dirinya benar dengan berkata, 'Bukan salah saya!" dan mengkambinghitamkan orang lain untuk kesalahan yang ia lakukan. Kita pun akan ikut berkata juga, "Itu bukan salah saya! pasti salah kambing hitam ini nih. Oleh karena itu, mari kita halau jauh-jauh kambing ini ke hutan." *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun