Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Citra Sunan Ambu sebagai Perempuan Sang Penguasa Kayangan

4 Agustus 2022   13:26 Diperbarui: 4 Agustus 2022   13:32 2325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kekuasaan Sunan Ambu |Wikipedia.org

Saya sering mendengar kata 'Sunan Ambu', kala nenek bercerita di malam hari, menjelang tidur. Sambil 'nyaliksik' mencari kutu di kepala saya, dia bercerita. Banyak cerita dan dongeng yang disampaikan. Dari mulai cerita kancil dan buaya, kura-kura dan monyet, dan lain-lain. Namun, dongeng putri, pangeran, dan para bidadari lebih saya sukai.

Nenek selalu berkata, bahwa "Sebagai perempuan, saya harus berani, tidak boleh takut dan berputus asa. Kita harus mencontoh kepribadian Sunan Ambu, yang mampu tampil sebagai perempuan dengan kekuasaan dan karakter yang sangat tinggi. Jika kita berakhlak baik di dunia, maka di akhirat nanti akan bertemu dengan Sunan Ambu."

Saat itu, saya tidak mengerti. Saya hanya tahu, jika sedang bersedih atau kesusahan, di kandang Si Colat --kambing kesayangan saya saat itu. Saya selalu curhat dan menangis, sambil menyebut nama Sunan Ambu.

Entahlah, mungkin saat itu, alam pikiran saya terpengaruh oleh cerita nenek tentang Dewi Purba Sari. Sehingga, saya merasa bahwa ketika sedang sedih, saya adalah Dewi Purba Sari, dan boleh mengadu kepada Sunan Ambu. Saya bahkan selalu berharap, bahwa Si Colat kambing jantan saya itu adalah jelmaan Guru Minda.

Gelar Sunan

Gelar Sunan atau Susuhunan, sebagaimana dijelaskan dalam tulisan Roqiyul Maarif Syam (2018) dapat kita ketahui dari berbagai literatur sejarah penyebaran Islam di Indonesia. Bahwa, Islam di Tanah Jawa dapat berkembang pesat seperti sekarang ini, tidak lepas dari peran dan kiprah para wali songo, yakni sembilan wali.

Diantaranya : Sunan Bonang, Sunan Gunung Djati, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan lain-lain. Gelar Sunan biasa dianugerahkan kepada laki-laki yang memiliki kedudukan terhormat, disegani, dan banyak berjasa bagi peradaban masyarakat.

Menjadi sebuah keistimewaan saat kita menemukan gelar tersebut disematkan sebagai gelar bagi perempuan dalam masyarakat Sunda. Meski, perempuan tersebut hanya ada dalam karya sastra, yakni cerita pantun Lutung Kasarung.

Pada tahun 1950-an, cerita pantun tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat Sunda, sering ditampilkan dalam sebuah pagelaran dan menjadi sarana hiburan dan ritual yang disukai masyarakat. Salah satu cerita pantun yang legendaris dan disukai masyarakat adalah cerita pantun Lutung Kasarung.

Perempuan penguasa kayangan

Dari cerita pantun itulah, kita mengenal tentang Sunan Ambu, seorang perempuan yang didaulat dan di-citra-kan sebagai Penguasa Negeri Kahyangan. Selain bertanggungjawab mengurus dan mengelola kehidupan di Buana Panca Tengah. Sunan Ambu juga memiliki peran yang adi-luhung yaitu sebagai pelindung dan sosok perempuan yang telah mencapai kesempurnaan yang hakiki.

Adanya kesan pemujaan terhadap tokoh Sunan Ambu di dalam mitologi Sunda, menempatkan Sunan Ambu sebagai ibu dari kebudayaan masyarakat Sunda. Sosok Sunan Ambu di-citra-kan sebagai perempuan yang memiliki karakter bijaksana, tegas, dan cerdas.

Selain itu, Sunan Ambu juga di-citra-kan sebagai sosok gaib penguasa Kahyangan. Hal ini dapat dilihat dari posisi magis yang dimilikinya. Bagaimana ia menjadi tokoh sentral yang menjadi sumber kekuatan dan kekuasaan.

Dalam struktur kekuasaan di Kahyangan, Sunan Ambu membawahi empat Batara (bujangga) laki-laki, diantaranya : Bujangga Tua, Bujangga Sakti, Bujangga Sda, dan Bujangga Tapa. Sunan Ambu juga membawahi beberapa orang pohaci (bidadari) untuk membantu tugasnya mengurus dan melindungi bumi. Berikut adalah diagram tentang kedudukan Sunan Ambu di Kahyangan.

Perempuan dan kodratnya

Meskipun ditempatkan dalam posisi sentral dan dominan, Sunan Ambu sebagai perempuan tetap di-citra-kan sebagai perempuan yang kukuh dan teguh pada kodratnya. Dia sebagai seorang perempuan, sama dengan perempuan lain pada umumnya. Menjalani kodrat yang telah digariskan Tuhan, bahwa perempuan akan mengalami masa menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak. Sehingga dalam cerita pantun Lutung Kasarung dikisahkan bahwa Sunan Ambu memiliki seorang putra bernama Guru Minda.

Hal itu, menunjukkan bahwa setinggi apapun kedudukan seorang perempuan. Bahkan, sebagai penguasa Kahyangan sekali pun. Perempuan tidak akan bisa berpaling dan lari dari kodratnya. Seperti Sunan Ambu, saat sang anak lelaki memasuki masa akil baligh, sering ngalingling ngadeuleu maling (menatap dengan pandangan jatuh cinta) kepada Sunan Ambu. Maka, sebagai perempuan yang menguasai kahyangan, ia segera memberikan hukuman akan tingkah yang tidak senonoh tersebut.

Sebagai seorang ibu, Sunan Ambu sangat paham dan mengerti, bahwa anak laki-lakinya sudah memasuki masa pubertas. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk menurunkan Guru Minda ke Buana Panca Tengah. Selain sebagai hukuman, hal ini juga menjadi proses penggodokan diri bagi Guru Minda. Bagaimana ia berproses menjadi laki-laki yang dewasa. Dalam hukuman tersebut, Sunan Ambu sebagai ibu juga bertugas menunjukkan siapa, dan seperti apa karakter perempuan yang cocok untuk menjadi jodoh anaknya.

Maka, terpilihlah Dewi Purba Sari, putri bungsu Negara Pasir Batang anu Girang sebagai jodoh bagi Guru Minda. Dikisahkan dalam cerita Lutung Kasarung bahwa Purba Sari mengalami banyak kesedihan dan kemalangan yang disebabkan oleh kakaknya yakni Dewi Purba Rarang dan yang lainnya.

 Intrik jabatan dan perebutan kekuasaan mewarnai konflik dalam cerita ini. Saat Prabu Tapa Agung sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Ia dan istri memutuskan untuk menunjuk salah seorang dari ketujuh putrinya untuk menggantikannya sebagai raja. Melihat karakter baik dan bijak yang ditunjukkan oleh putri bungsunya, yakni Purba Sari. Maka, Prabu Tapa Agung pun mengumumkan rencananya itu di hadapan musyawarah kerajaan.

Konflik terus memanas, karena Purba Rarang sebagai putri sulung merasa haknya telah dirampas. Kejahatan demi kejahatan dilakukan Purba Rarang kepada Purba Sari. Ia mengusir Purba Sari ke hutan Cupu Mandala Ayu, melumuri wajah Purba Sari dengan arang, mengajak Purba Sari untuk bertanding, hingga akhirnya saat bertanding adu tampan tunangan. Datanglah Guru Minda yang menyamar sebagai lutung kasarung merubah wujudnya menjadi seorang pangeran yang tampan.

Melihat begitu agungnya citra perempuan pada masyarakat Sunda buhun, saya terkadang bertanya-tanya. Siapakah orang yang telah menulis cerita pantun dan karya-karya sastra yang telah berjasa memproyeksikan citra perempuan setinggi itu.

Namun, tentu saja pertanyaan itu tak kan mendapatkan jawaban. Karena, sudah menjadi pengetahuan kita bersama, bahwa karya-karya tersebut bersifat anonim alias tidak diketahui siapa nama pengarangnya, dan menjadi warisan budaya yang diteruskan secara turun-temurun.

Sebenarnya, jika dirunut tentang bagaimana sejarah sistem sosial yang dianut oleh masyarakat Sunda pada masa itu, yakni sistem matriarkhi sebagai kebalikan dari patriarkhi. Hal tersebut, yakni penempatan perempuan pada posisi yang tinggi, sebagai pemimpin itu tidak aneh. Terasa wajar, lumrah, dan memang sudah seharusnya.

Karena, matriarkhi merupakan sistem sosial yang menempatkan perempuan sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan dominan dalam menentukan kebijakan. Garis kepemimpinan matriarkhi diambil dari garis keturunan ibu.

Sehingga, jika pun karya sastra-karya sastra yang hadir dan muncul saat itu ditulis dan merupakan karya seorang laki-laki. Maka, dia adalah laki-laki yang menganut paham matriarkhi, dia memandang dan men-citra-kan bahwa memang pada masa itu kedudukan perempuan itu seperti itu, sebagai pemimpin, pelindung, dan decision maker atau pengambil keputusan.

Tidak hanya suku Sunda, ada beberapa suku lain di Indonesia yang menggunakan sistem kepemimpinan matriarkhi sebagai sistem sosial mereka. Diantaranya : suku Minangkabau di Sumatera Barat, suku Enggano di provinsi Bengkulu, suku Petalangan di Riau, suku Aneuk Jamee di provinsi Aceh, dan suku Sakai di wilayah pedalaman Riau.

Kita dapat melakukan studi banding ke suku-suku tersebut, tentang karya-karya sastra yang dihasilkan oleh mereka. Apakah sama dengan karya pada masyarakat Sunda? Mengagungkan dan menempatkan perempuan pada posisi yang dominan? (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun