Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dear Pedagang, Siapkan selalu Uang Kembalian, agar Transaksi Tetap Lancar

29 Januari 2022   15:48 Diperbarui: 30 Januari 2022   05:40 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uang kembalian| Sumber Foto: banjarmasin.tribunnews.com

Ibu-ibu membayar dengan uang bernominal 50.000/100.000


Bagi Kompasianer yang berprofesi sebagai pedagang. Khususnya yang berjualan secara offline atau tatap muka. Baik pedagang yang menjual barang berbentuk makanan, pakaian, minuman, dan peralatan rumah tangga. Maupun yang menjual jasa seperti sopir angkutan kota, pengemudi ojek pangkalan, dan kurir pengirim paket COD.


Dimana pembeli harus langsung bertemu dengan penjual, lalu melakukan transaksi jual beli. Barang diberikan kepada pembeli, uang sebagai alat pembayaran diterima oleh penjual.


Menurut hemat saya, mempersiapkan uang receh untuk kembalian sebelum memulai membuka kios atau lapak anda, dan mulai 'nambangan' untuk sopir dan tukang ojek. Amat penting untuk dilakukan. Mengapa?


Karena, saya pernah menyaksikan ibu-ibu di sekitar komplek saya tinggal. Termasuk saya juga. Ketika belanja kepada abang sayur, Mbak Jamu, Mas ayam, Aa nugget, bapa bapau, dan lain-lain. Para ibu tersebut mengeluarkan uang lembaran Rp. 50.000 atau Rp. 100.000. Nah, tuh. Saya yakin pasti ada tujuannya. Mengapa para ibu tidak membayar dengan uang pas.


Saat ibu-ibu sudah memilih barang-barang yang akan dibeli dari pedagang sayur umpamanya, sambil menyodorkan uang lima puluhan atau seratus ribu. Lalu, pedagang mengatakan, "Aduuh belum ada kembalian." Maka ada tiga pilihan bagi pedagang tersebut:


1.Menukarkan uang tersebut kepada pedagang lain atau siapa saja yang mempunyai recehan, dengan resiko dia meninggalkan lapak dagangannya sebentar. Hingga diperoleh uang kembalian.


2.Memberi utangan yang dampaknya berpengaruh pada keuntungan dia sebagai pedagang,  dan  


3.Ibu tersebut tidak jadi membeli alias transaksi 'gagal' dilakukan.

Selain itu, memberikan uang kembalian adalah kewajiban pedagang. Salahsatu norma tidak tertulis yang harus dipegang teguh oleh para pedagang. Bahkan, mengganti uang kembalian bernominal kecil, umpama seratus perak dengan permen pun. Ternyata, termasuk pelanggaran hukum. Pelakunya dapat terjerat pidana dan dapat dihukum.


Jumlah pedagang yang berjualan di kompleks perumahan


Sebagai informasi, pedagang di tempat saya tinggal lumayan banyak. Jika kita mau menghitung, ada kali 20 pedagang. Pernah, suatu hari saya sengaja tidak pergi kemana-mana. Iseng mau menghitung jumlah pedagang yang berjualan di kompleks. 

Saya melakukan penelitian kecil-kecilan. Dari mulai jenis kelamin, usia, jenis dagangan, harga dagangan, dan cara mereka menawarkan dagangan. Hasilnya, wow! Andai saya masih kuliah, mungkin sudah dijadikan bahan menulis skripsi, tesis, dan disertasi. Hihi.


Dari pagi, di saat fajar mulai menyingsing. Pedagang pertama yang memulai aktivitas mereka adalah 'ibu lalapan' saya memanggilnya seperti itu, karena tidak tahu namanya. Maapkan saya, ya bu.  "Sosin, daun gedang (pepaya), kobak." Itu suaranya, khas dan cempreng. Beliau adalah pedagang pertama yang membuka mata para penghuni kompleks. Untuk harga dagangan yang dijualnya semua dipatok sama rata, untuk sosin, daun papaya, dan lalap kobak. Per ikatnya hanya Rp. 2.000., saja. Murah ya, kan.  


Kedua, ada 'ibu pindang' usianya sudah agak sepuh. Namun demikian, badannya terlihat sehat, tangkas, dan kuat. Ada beberapa item ikan pindang yang ia jual. Ada pindang deles, tongkol, mojang, dan pindang bandeng. Harga dibanderol mulai dari Rp. 10.000 untuk pindang deles berjumlah 5 ekor dalam satu bungkus. Untuk jenis pindang lain, saya belum pernah coba membeli. Jadi, belum tahu harganya.


Saya tidak akan menyebutkan semua pedagang di sini, ya Kompasianer. Harus ada judul khusus yang membahas tentang karakteristik para pedagang tersebut. Mungkin nanti, saya akan fokuskan untuk membahas mereka lebih mendalam.


Alasan dibalik kebiasaan ibu-ibu membayar dengan uang bernominal besar


Ada beberapa alasan sebenarnya yang mendasari kebiasaan tersebut. Mengapa para ibu membelanjakan uang mereka dengan nominal lima puluh dan seratus ribu. Bukan karena ingin pamer, ya Kompasianer. 

Berikut adalah alasan dibalik sikap ibu-ibu tersebut.


Pertama, butuh uang kembalian. Nah, ini adalah alasan utama dan paling penting. Yaitu berharap kembalian berupa uang recehan. Nantinya, uang recehan tersebut akan digunakan untuk:


1.bekal anak-anak ke sekolah, diusahakan harus dalam bentuk recehan, ya. Sebab, anak-anak belum terlalu paham dengan konsep uang kembalian. Bisa-bisa jajan Rp. 5.000., membayar dengan uang Rp. 20.000., kembaliannya lupa diambil.


2.Membeli galon atau air isi ulang. Harus dengan uang pas juga, yaitu Rp. 5.000., mengapa? Karena, setelah saya whattsapp abang galon. Dia akan langsung datang ke rumah menaruh galon yang berisi air, lalu mengambil galon kosong serta uangnya yang saya taruh di bawah galon kosong tersebut. Jadi, harus uang recehan yang pas, agar transaksi berjalan lancar, tanpa ribet urusan uang kembalian.


3.Membayar biaya transportasi untuk saya pulang-pergi ke sekolah, yakni abang ojek pangkalan. Ingat, untuk membayar ongkos ojek harus dengan uang pas. Umpama, kalau tarifnya Rp. 7.000, bayar saja dengan uang pas. Jika, uangnya Rp. 10.000., biasanya si abang tidak ada kembalian. Ya udah diiklasin saja. Tapi, kalau setiap hari diiklasin, bobol juga keuangan kita, ya Kompasianer. Haha.

Kedua, baru gajian. Bila Kompasianer baru saja mengambil gaji dari bank. Baik gaji sendiri, maupun penghasilan suami. Maka, dapat dipastikan nominal uang yang ada di dompet berkisar antara Rp. 50.000 -- Rp. 100.000.,

Hal itu dikarenakan nominal terkecil ketika kita mengambil uang di bank adalah Rp. 50.000., Menjadi dilema tersendiri bagi para ibu. Di saat membutuhkan bahan makanan untuk dibeli. Umpama: telur, beras, gula, kopi, daging, sayur-sayuran, dan buah-buahan.

Pedagang barang tersebut tidak memiliki kembalian. Saya bila dihadapkan pada situasi tersebut lebih memilih untuk mengurungkan niat belanja pada pedagang tersebut. kecuali, jika beliau berbaik hati mau menukarkan uang, dan mencarikan kembalian. Jika tidak, ya alamat batal belanja pada pedagang tersebut. Lebih baik mencari pedagang yang lain. Dengan barang yang sama, tapi mereka sudah mempersiapkan uang recehan untuk kembalian. Nah, lho.

Pengalaman saya, setiap hari uang recehan selalu habis


Pengalaman saya sebagai konsumen. Setiap hari, uang receh hasil penukaran selalu saja habis tidak bersisa. Di dompet, setiap pagi itu, hanya akan ditemui uang dengan nominal antara Rp. 50.000., hingga Rp. 100.000., Entah mengapa hal tersebut bisa terjadi. Bahkan nyaris setiap hari. Setelah ditelusuri dengan saksama dan mendetail melalui catatan keuangan harian.

Hal tersebut terjadi karena, tiga anak saya meminta uang jajan secara random, alias tidak sekaligus. Umpama, pagi-pagi pukul tujuh, Si sulung saya beri bekal Rp. 20.000., alokasi untuk transportasi dan akomodasi di sekolah. Dia duduk di sekolah menengah pertama. Dimana lokasi sekolah tersebut agak jauh dari rumah. Jadi, ada alokasi transport dan jajan. Nah, pada sore hari, tatkala ada penjual mie ayam tektek-tektek di depan rumah. Si sulung minta uang lagi Rp. 7.000., untuk membeli mie ayam.

Si tengah, karena masih duduk di sekolah dasar yang berlokasi dekat rumah. Maka ia minta Rp. 5.000., untuk bekal ke sekolah. Nanti, sepulang saya kerja, dia akan meminta lagi Rp. 5.000., untuk bekal mengaji. Nah, sore harinya, dia juga akan meminta lagi untuk membeli ayam geprek kesukaannya.

Begitu juga dengan si bungsu. Walaupun usianya masih tiga tahun. Sudah saya bekali uang jajan sebesar Rp. 15.000., untuk alokasi beli bubur ayam, naik odong-odong kesukaannya, dan sore hari membeli sotong dan tahu bulat.

Langkah-langkah mempersiapkan uang kembalian


Agar keesokan harinya, saat akan mulai berjualan, anda memiliki uang bernominal recehan, alias di bawah 50.000., seperti dua ribu, lima ribu, sepuluh ribu, dan dua puluh ribu. Maka ada beberapa langkah penting yang harus dipersiapkan. Supaya ketika anda memulai hari untuk berjualan. Tidak ada lagi istilah 'gagal' transaksi akibat dari tidak ada uang kembalian.

Berikut adalah beberapa langkah penting tersebut :


1.Siapkan selembar uang dengan nominal Rp. 100.000., bagi para pedagang kecil, dengan kisaran harga jual barang dagangan antara Rp. 2.000., - Rp. 10.000., Jika anda pedagang dengan nominal harga jual lebih besar dari harga tersebut, maka anda harus menyiapkan minimal dua lembar uang ratusan ribu untuk ditukarkan.


2.Tukarkan uang tersebut di tiga tempat berikut : pom bensin, alfamart/indomart, dan pedagang kelontongan.


3.Ketika menukarkan anda harus cermat dan teliti. Lihat harga dagangan yang anda jual. Umpama harganya berkisar antara Rp. 2.000 hingga Rp. 5.000., maka, anda harus menukarkan uang seratus ribu tersebut dengan nominal uang Rp. 5.000., dan Rp. 2.000., dengan asumsi bahwa pembeli membayar dengan uang Rp. 5.000., dan Rp. 10.000., tidak mungkin kan ada pembeli yang jajan cuma dua ribu, membayar dengan uang nominal lima puluh ribu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun