Malam gelap, penuh awan hitam pekat. Gemintang memilih bersembunyi. Tak tega melihat gadis kecil itu. Gadis berkerudung cokelat dengan sepatu lusuhnya, berteduh di bawah langit-langit halte dengan lubang-lubang kecil menghiasi. Tak jarang riak air hujan membasahi wajah mungilnya.Â
Termenung.. Menatap di kejauhan, pada rumah makan mewah di seberang jalan dengan ingar-bingarnya. Anak-anak seusianya, muda-mudi, bahkan para orang tuapun ada. Motor dan mobil pribadi terparkir rapi di sana. Hingga tiada beda air mata jatuh bersama air hujan yang luruh.Â
Dalam hatinya pastilah ada iri yang menggelegar, tak kalah dengan halilintar musiknya hujan.Â
Bukan pada gemerlapnya dunia atau banyaknya harta sehingga bisa berfoya. Ia hanya iri, inginkan kebersamaan mereka. Dengan orang-orang yang ia cintai. Orang-orang ia sayangi. Orang-orang yang selalu mendukungnya dalam segala hal. Orang-orang yang menjadi tempat bersarangnya rindu. Orang-orang yang dapat melukiskan senyuman bahkan disaat yang tak mengenakkan sekalipun. Orang-orang yang..Â
Ah, mungkin terlalu jauh angan anak itu. Orang tua sudah tidak ada, sanak saudara tidak tahu dimana. Selalu merasa asing dimana saja kala bersanding. Kadang seperti tersisih dari dunia yang tiada sedikitpun meliriknya.Â
Gadis kecil itu..Â
Hanya sendiri, berdiri.Â
Bertemankan hujan.