Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Awan Hitam Berarak di Langit Pasar Ikan, Luar Batang

1 April 2016   10:11 Diperbarui: 1 April 2016   12:18 1118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Rabu (30/3/2016) pagi, aparat pemerintah memberikan surat peringatan (SP) kepada warga Luar Batang. Kawasan Pasar Ikan tersebut segera ditertibkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Penertiban akan dilakukan pada Minggu (10/4/2016), hanya 17 hari setelah pemberitahuan penertiban itu dikabarkan. Warga setempat tidak menolak pindah, tetapi tidak setuju cara terburu-buru dan solusi yang abu-abu. Foto: repro dari Harian Kompas edisi Kamis (31/3/2016), halaman 1."][/caption]Dua perempuan tua. Tiga perempuan setengah baya. Mereka saudara kita, penghuni perkampungan nelayan Luar Batang. Tempat tinggal mereka adalah bedeng berdinding triplek rombengan. Beberapa hari mendatang, mereka mungkin sudah tak ada di sana. Entah ke mana.

Kenapa? Karena, mereka sudah menerima Surat Peringatan dari petugas Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, pada Rabu (30/3/2016). Intinya, mereka harus enyah dari sana. Itu tanah negara. Mereka penghuni illegal. ”Ya, namanya warga kecil, kami bisa apa?” gumam Onta, 60 tahun, lelaki tua yang bekerja sebagai pengantar air ke kapal. Onta dan lima perempuan di atas adalah bagian dari 568 keluarga di sana, yang beberapa hari lagi akan bercerai-berai. Mereka yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), dan bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), akan direlokasi ke rumah susun sewa (rusunawa). Sebanyak 254 pedagang di Pasar Ikan akan dipindahkan ke pasar-pasar yang ada di Jakarta.

Narasi yang Menyentuh
Itulah tulisan yang saya baca di Harian Kompas, kemarin, Kamis (31/3/2016) dengan judul ”Ya, Namanya Warga Kecil, Kami Bisa Apa?”. Di tulisan yang ditulis Saiful Rijal Yunus ini, saya menemukan sejumlah narasi yang menyentuh. Salah satunya, saya petik sebagai judul awan hitam berarak di langit Pasar Ikan. Narasi lain, misalnya, sepiring nasi dan sepotong ikan cakalang goreng berlumur cabai merah terhidang di lantai rumah. Ia dengan cermat mendeskripsikan suasana yang melingkupi hari-hari warga kampung nelayan tersebut. Tentang orang-orang kecil yang tak berdaya, yang tak tahu harus berbuat apa menghadapi kekuasaan yang menggurita.

[caption caption="Seorang warga Kampung Luar Batang didatangi dua petugas yang memberikan Surat Peringatan. Penertiban di kawasan ini meliputi empat RT di RW 004 Pasar Ikan. Total warga yang terdata sebanyak 569 keluarga dan 254 pedagang. Sebagian besar warga akan direlokasi, sementara pedagang akan dipindahkan ke pasar lain di Jakarta. Foto: print.kompas.com "]

[/caption]Menulis dengan narasi yang menyentuh, sekaligus menggugah, membutuhkan latihan olah rasa serta olah pikir yang terus-menerus. Almarhum HB Jassin, salah seorang tokoh sastra kita, punya cara yang khas untuk mengolah rasa dan pikir. Ia selalu menyiapkan buku catatan, tiap kali membaca. Baik saat membaca buku, koran, maupun majalah. Jika ada kata atau kalimat yang ia temukan dalam bacaan tersebut, yang menurutnya berkesan, HB Jassin langsung mencatatnya di buku catatan. Buku catatan itu berupa buku tulis biasa, yang kerap digunakan anak-anak sekolah.

Dari beberapa kali bertemu dengan HB Jassin, saya melihat, ia memang selalu membawa buku catatan tersebut ke mana-mana. Menurut HB Jassin, catatan kata atau kalimat itu adalah kamus pribadi, yang ia gunakan untuk mengasah kemampuannya dalam berbahasa. Melalui cara itu, HB Jassin berlatih mencermati kata, sekaligus memahami makna kata. Jadi, ketika dalam perjalanan, misalnya, HB Jassin asyik serta larut bersama kamus pribadinya itu. Kadangkala, ia menambahkan kata atau kalimat yang melintas di kepalanya ke dalam kamus pribadi tersebut.

Barangkali, itulah yang disebut sebagai latihan olah rasa serta olah pikir secara terus-menerus. Menjadi penulis tentulah menjadi bagian dari kata-kata. Dengan memahami makna kata yang lebih dari cukup, kita sebagai penulis akan leluasa mendeskripsikan apa yang kita lihat serta apa yang kita dengar, ke dalam tulisan. Seperti dalam tulisan Saiful Rijal Yunus di Harian Kompas, Kamis (31/3/2016) tersebut, misalnya. Ada kalimat mereka tidak menolak pindah, tetapi tidak setuju cara terburu-buru dan solusi yang abu-abu. Kalimat itu menggambarkan sikap warga di sana dan sikap penguasa terhadap mereka. Dan, Saiful Rijal Yunus cermat merumuskannya dalam satu kalimat.

[caption caption="Kampung Luar Batang merupakan salah satu kampung tertua di Jakarta. Kampung di Jakarta Utara ini kerap dikunjungi oleh wisatawan luar maupun dalam negeri. Yang tampak dalam gambar adalah salah seorang dari sejumlah wisatawan Spanyol, yang berkunjung ke sana beberapa waktu lalu. Foto: antarafoto.com "]

[/caption]Eksplorasi Ruang dan Waktu
Ada suatu masa dalam kehidupan HB Jassin, ketika ia memilih berjalan kaki dari rumah ke kantor. Rumahnya di kawasan Tanah Tinggi, Cempaka Putih, dan ia berkantor di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Dari rumah, dengan menenteng tas kulit, HB Jassin melewati gang, jalan kecil, jalan besar, serta naik jembatan penyeberangan. Sesekali ia berhenti mendengarkan percakapan orang-orang yang melintas. Sekadar istirahat sejenak, melepas lelah. Maklum, usianya kala itu sudah cukup tua dan pendengarannya sudah tidak maksimal.

Tiba di kantor, ia langsung bergumul dengan kamus pribadinya. Ia menulis dengan tangan. Dan, tangannya kalah cepat oleh serbuan kata-kata serta kalimat yang berhamburan dari kepalanya. Menurut HB Jassin, dengan berjalan kaki dari rumah ke kantor, ia memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi ruang dan waktu. Apa yang ia lihat dan ia dengar sepanjang jalan, ditambah dengan apa yang ia rasa dan yang ia pikir, memicu lahirnya inspirasi untuk menulis. Temuan-temuan sepanjang jalan, membantunya memahami dinamika kehidupan sehari-hari.

Ada kalimat dari Saiful Rijal Yunus yang relevan dengan hal tersebut jalan dari potongan kayu itu berderit-derit saat dilalui. Kalimat itu menunjukkan, betapa cermatnya Saiful Rijal Yunus mengeksplorasi ruang dan waktu di perkampungan nelayan tersebut. Narasi jalan dari potongan kayu dan berderit-derit saat dilalui memberikan gambaran kepada pembaca, betapa reyotnya infrastruktur di sana. Secara simbolik, narasi itu juga sekaligus menggambarkan, betapa rapuh kehidupan mereka. Ini berkorelasi erat dengan judul tulisannya: ”Ya, Namanya Warga Kecil, Kami Bisa Apa?”

Mencermati dengan seksama apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar adalah bagian dari proses mengeksplorasi ruang dan waktu. Ini memang menyangkut hal-hal yang detail, yang kerap terabaikan saat kita berhadapan dengan situasi-kondisi tertentu. Bisa jadi karena kita menganggap apa yang kita temui adalah hal biasa. Akibatnya, panca indera kita tidak sensitif untuk merekamnya. Akibat lanjutannya, yang kita tuliskan adalah hal-hal yang nampak selayang pandang saja. Padahal, sebagai penulis, sudah sepatutnya kita lebih cermat, dari mereka yang bukan penulis, misalnya.

[caption caption="Hans Bague Jassin lahir di Gorontalo, Sulawesi Utara, 13 Juli 1917, meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000. Buah ketekunannya bisa kita nikmati di PDS HB Jassin, TIM, Jakarta. Ia mantan lecturer Sastra Indonesia Modern, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (UI). Gelar sarjana sastra diraihnya tahun 1957 dan doktor honoris causa, 18 tahun kemudian dari UI. Ia mendalami ilmu perbandingan sastra di Universitas Yale, Amerika Serikat. Ia menguasai bahasa Inggris, Belanda, Perancis, dan Jerman. Foto: goodreads.com "]

[/caption]Peka dalam Berbahasa
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada kata peka yang berarti mudah merasa dan tidak lalai. Dalam konteks ini, Saiful Rijal Yunus menunjukkan kepada kita tentang kepekaannya terhadap kegelisahan, kegalauan, serta kecemasan warga Luar Batang, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, menghadapi hari-hari menjelang penggusuran. Ia tidak lalai menuliskan kepekaannya dengan detail dan cermat. Itu bisa kita temukan pada makan apa pun tidak enak dan sudah lebih dari seminggu dirinya tidur setelah lewat tengah malam. Narasi tersebut cukup kuat untuk menggambarkan kecemasan warga di sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun