Benarkah semua itu merupakan gerakan sosial? Benarkah pendirian berbagai institusi tersebut memberi manfaat positif bagi masyarakat? Inilah yang patut kita cermati, tiap kali ada orang yang meluncurkan biografi atau mendirikan center dan institute. Bukan dalam konteks mencurigai mereka. Atau, menyangsikan niat baik mereka. Tapi, kita sebagai warga, sudah sepatutnya cerdas dan kritis menyikapinya, agar di kelak kemudian hari, tidak ikut terseret berbuat korup.
Kenapa? Menurut penuturan Mohamad Sobary, bukan tidak mungkin, berbagai biografi, center, dan institute tersebut didirikan dalam rangka untuk membersihkan nama para politikus hitam atau pengusaha hitam. Dan, bukan tak mungkin pula, semua itu juga dilakukan oleh para koruptor atau pengemplang pajak, untuk membentengi diri dari para penegak hukum. Maka, sudah sepatutnya, warga mempertimbangkan secara cerdas, sebelum melibatkan diri ke dalam aktivitas tersebut di atas.
Sekadar mengingatkan, sampai bulan Desember 2014, tercatat 343 orang yang meliputi gubernur, bupati, dan walikota yang tersangkut masalah hukum di kejaksaan, polisi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data tersebut jelas sudah melewati batas lampu merah. Artinya, seluruh lini memang harus kita gugah, melalui tulisan dan perbuatan, agar secara bersama-sama mencegah perbuatan korup.
Lembut Tapi Tajam
Dalam buku Demokrasi Ala Tukang Copet yang berisi 24 esai, Mohamad Sobary menganalogikan perilaku para koruptor dengan sifat-sifat hewan. Ini bisa kita baca pada esai Katak dan Ular dan Tragedi Kepiting dan Monyet. Keempat hewan tersebut tentulah kita kenal dan kita pahami. Menurut Mohamad Sobary, dengan menggunakan simbol yang sudah dikenal masyarakat luas, ia lebih leluasa menggambarkan perilaku buruk manusia-manusia serakah tersebut.
Kisah tentang hewan, bukanlah kisah yang baru bagi Mohamad Sobary. Ia yang lahir di Pundong Bantul, Yogyakarta, pada 7 Agustus 1952, justru mulai menapaki dunia tulis-menulis dengan menulis cerita anak-anak. Baginya, cerita anak-anak merupakan fondasi bagi anak-anak untuk mengenal dasar-dasar kehidupan, pada tingkat yang paling dasar. Artinya, seorang penulis cerita anak-anak, haruslah dengan cermat mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi kandungan ceritanya, agar berdampak positif bagi pendidikan anak.
Bukan hanya sekadar menghibur. Juga, bukan hanya sekadar lucu-lucuan. Kandungan nilai-nilai itu pulalah yang bisa kita serap, tiap kali kita membaca tulisan Mohamad Sobary. Cara Sobary menulis begitu sederhana. Dengan pilihan contoh yang mudah kita kenali. Mungkin sedikit mirip dengan Umar Kayam. ”Saya menulis apa pun yang saya alami. Saya menulis dengan cara yang sangat sederhana. Kesederhanaan merupakan esensi bagi seluruh tulisan saya. Kesederhanaan itu bagi saya bukan gaya,” ujar Mohamad Sobary tentang tradisi menulis ia kembangkan secara kreatif.
Sederhana caranya, lembut nadanya, tapi tajam. Itulah yang khas pada tulisan Mohamad Sobary. Hal tersebut juga digarisbawahi oleh Fahmi Idris, pada Rabu, 1 Juli 2009, saat peluncuran novel Kidung. Fahmi Idris yang pada masa itu merupakan Menteri Perindustrian, mengatakan, para pencaci-maki yang suaranya kasar, sebaiknya membaca Kidung, yang mengajarkan tentang bagaimana seseorang harus bersuara lembut, tak perlu berteriak-teriak. Novel 262 halaman itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, tahun 2009.
Jakarta, 13 Desember 2015
Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)