Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gratis, Biaya Sekolah Menengah Tingkat Atas yang Berstatus Negeri di DKI Jakarta

30 Juni 2015   04:54 Diperbarui: 30 Juni 2015   04:54 5834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk meningkatkan kesungguhan anak belajar, selain pendampingan dari orangtua, juga akan lebih baik bila disertai partisipasi warga. Warga RW 05, Kelurahan Koja, Jakarta Utara, misalnya, sudah menerapkan sistem jam wajib belajar kepada warganya, sejak tahun 2012, yang dikenal dengan istilah Kampung Cerdas. Ketua Karang Taruna Kelurahan Koja, Erick Panjaitan, mengungkapkan, penerapan jam wajib belajar dulunya hanya diterapkan di RT 08 dan 09, tapi kemudian meluas, karena warga merasakan manfaat positifnya. Foto: kompas.com

Daya Tampung, Tidak Terbatas

Di DKI Jakarta, setidaknya terdapat 116 Sekolah Menengah Atas Negeri dan 60 Sekolah Menengah Kejuruan Negeri, yang dikelola oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta, sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001. Kadarwati, Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi Pendidikan, Dinas Pendidikan DKI Jakarta, menilai bahwa kapasitas seluruh sekolah menengah atas tersebut, sesungguhnya mampu menampung seluruh lulusan sekolah menengah pertama dari DKI Jakarta.

Kadarwati menegaskan, tidak ada kekurangan daya tampung bagi siswa yang ingin mendaftar ke sekolah negeri. “Nggak terbatas daya tampungnya. Ada beberapa orang tua calon murid yang menolak anak mereka bersekolah siang atau sekolah petang,” tutur Kadarwati[2], menjelaskan beberapa alasan orangtua yang memilih tidak memasukkan anak mereka ke sekolah negeri. Ini artinya, warga yang bersangkutan memilih untuk tidak memanfaatkan fasilitas gratis, yang telah disediakan oleh Pemda DKI Jakarta.

Dalam hal ini, warga memang memiliki keleluasaan untuk memilih sekolah yang sesuai untuk anak mereka. Selain karena alasan sekolah siang atau sekolah petang, ada juga sebagian warga yang memilih memasukkan anak mereka ke sekolah swasta, meski harus membayar lebih mahal. Ini terutama karena sebagian warga menganggap bahwa mutu sekolah negeri yang bisa dimasuki anak mereka, lebih rendah dari mutu sekolah swasta yang hendak mereka masuki.

Perdebatan tentang kesenjangan mutu pendidikan di sekolah negeri dan di sekolah swasta, memang telah menjadi perdebatan dari tahun ke tahun, dan nampaknya tak ada habis-habisnya. Bukan hanya di DKI Jakarta, tapi juga dalam konteks pendidikan secara nasional. Pada Senin (21/3/2011), Menteri Pendidikan Nasional, Mohammad Nuh[3], memaparkan, hanya 10,15 persen sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan.

Motivasi untuk belajar perlu dibangun dengan suka-cita, karena belajar sesungguhnya adalah kebutuhan, bukan beban. Ini salah satu momen suka-cita, saat Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, ber-selfie bersama para siswa SMA Negeri 2, Taman Sari, Jakarta Barat, ketika Basuki meninjau pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di sekolah tersebut, pada Selasa (14/4/2015). Foto: liputan6.com

Tidak Ada Lagi yang Putus Sekolah

Terlepas dari pilihan warga, terkait mutu sekolah negeri dan mutu sekolah swasta, kebijakan Pemda DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama ini, tetap patut diapresiasi. Setidaknya, ini merupakan solusi untuk mengatasi angka putus sekolah di DKI Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama[4] menegaskan, tidak akan ada lagi anak yang tidak sekolah maupun putus sekolah di DKI Jakarta. Saat Basuki masuk ke Pemprov DKI menjadi Wakil Gubernur DKI, survei membuktikan 40 persen anak usia 16-18 tahun tidak sekolah karena tidak memiliki biaya.

Mengacu kepada apa yang diungkapkan Kadarwati di atas, bahwa tidak ada kekurangan daya tampung bagi siswa yang ingin mendaftar ke sekolah negeri, kemudian dikorelasikan dengan pernyataan Basuki Tjahaja Purnama tersebut, jelas sekali bahwa titik tekan pembebasan biaya sekolah ini adalah untuk mengatasi 40 persen anak usia 16-18 tahun di DKI Jakarta yang tidak sekolah karena tidak memiliki biaya. Bagaimanapun juga, anak-anak yang tidak atau putus sekolah, tentulah akan menjadi beban Pemda DKI Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun