Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Lenteng Agung: Potret Keragaman Ibukota

24 Agustus 2013   15:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:52 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_261303" align="aligncenter" width="468" caption="Kawasan sekitar Stasiun Lenteng Agung, Senin (15/7/2013). Akibat tidak adanya Jembatan Penyebrangan Orang (JPO), kawasan ini menjadi biang kemacetan akibat banyaknya orang lalu-lalang dan angkutan kota yang berhenti di sembarang tempat | Foto: kompas.com I Alsadad Rudi"][/caption] Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Ahok kembali diterjang isu SARA. Warga Lenteng Agung, mengumpulkan 2.300 nama dan 1.500-an KTP untuk menolak Susan Jasmine Zulkifli, lurah yang ditempatkan Ahok di sana, karena Susan non-muslim. Ahok menolak penolakan tersebut, tanpa dialog.

Ahok selalu mengklaim diri sebagai orang yang taat pada konstitusi. Bahkan, katanya, ia siap mati untuk konstitusi. Terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang berdagang di trotoar dan badan jalan, Ahok bisa mengerahkan Satpol PP untuk mengusir mereka, demi menegakkan konstitusi. Tapi, warga Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan, bukan PKL. Mereka adalah warga DKI Jakarta yang menyalurkan aspirasi, yang hak-hak mereka sebagai warga negara juga dijamin oleh konstitusi. Mereka tidak menyerang pribadi Ahok sebagai non-muslim. Mereka mengkritisi kebijakan Ahok yang menempatkan lurah non-muslim di wilayah mereka yang mayoritas muslim. Apakah mengkritisi kebijakan Ahok dianggap melanggar konstitusi?

Antara Pasar Minggu dan Depok

Lenteng Agung boleh jadi bukan kelurahan yang mentereng. Bukan sentra bisnis yang memutar puluhan miliar per hari. Bukan kawasan prestisius yang dihuni para pejabat tinggi. Barangkali, karena Lenteng Agung bukan apa-apa, makanya Ahok dengan lantang berkata bahwa Lurah Lenteng Agung Korban Intoleransi. Ahok juga menantang dengan keras, Tak Akan Ganti Lurah Lenteng Agung. Padahal, belum ada dialog dengan warga. Apakah ini berarti Ahok tak peduli aspirasi warga? Apakah warga tak punya hak konstitusi untuk menyampaikan aspirasi?

Sumber: jaringnews.com-Jumat-23-08-2013-11:02 WIB

Ahok Bela Lurah Lenteng Agung Korban Intoleransi

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama membela lurah Lenteng Agung di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Lurah ini korban aksi intoleran warganya sendiri. Warga Lenteng Agung menolak Susan Jasmine Zulkifli menjadi lurah hanya karena beragama non-muslim. Padahal Susan lolos seleksi lelang lurah-camat yang begitu ketat. Diinformasikan, warga setempat sampai mengumpulkan 2.300 nama dan 1.500-an KTP, untuk diberikan ke Pemprov DKI sebagai dukungan untuk mencopot Susan. "Kita nggak akan mau tangani masalah itu. Nanti lama-lama ditolak karena kamu Syiah. Ini tidak benar. Kalau tolak karena agama tidak ada urusan, kalau dia mencuri, tidak mau melayani, itu masalah," kata Ahok di Balaikota Jakarta, Kamis (22/8).

Sumber: tempo.co-Jumat-23-08-2013-04:16 WIB

Ahok Tak akan Ganti Lurah Lenteng Agung

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menegaskan tak akan mengganti Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine Zulkifli meski diprotes warga. Keyakinan tak boleh menjadi alasan seseorang diganti dari jabatannya. "Tidak ada urusannya menolak karena berbeda agama," ujar Basuki di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis, 22 Agustus 2013. "Kalau dia nyolong atau tidak mau melayani warga itu baru masalah." Ahok mengatakan pengumpulan Kartu Tanda Penduduk tak akan digubris pemerintah. Alasannya, pemimpin tak harus didukung oleh semua warganya. Dia mencontoh dirinya dan Gubernur Jokowi yang hanya mendapat 52 persen suara pada pemilihan Gubernur. "Itu kan berarti ada lebih dari 40 persen warga Jakarta yang tidak mau saya pimpin, tapi ya enggak ada urusan," katanya.

Dulu, sebagian besar warga kelurahan ini memiliki pohon sawo di halaman rumah. Tiap hari, berkeranjang-keranjang sawo matang dibawa warga untuk dijual ke Pasar Minggu, yang memang terkenal sebagai salah satu pasar buah di Jakarta Selatan. Gang-gang di kelurahan ini sebagian dinamai dengan nama buah. Misalnya, Gang Sukun dan Gang Belimbing. Sebagian warga kelurahan ini dulu juga memelihara sapi perah, yang menghasilkan susu segar tiap hari.

Ketika Universitas Indonesia (UI) tahun 1987 pindah ke Depok, dari Salemba dan Rawamangun, yang kemudian diikuti dengan berdirinya berbagai kampus sepanjang kawasan Pasar Minggu – Depok, maka sejumlah rumah di Lenteng Agung berubah wujud jadi tempat kost mahasiswa dan karyawan. Secara geografis, posisi Lenteng Agung strategis karena berada di tengah-tengah antara Pasar Minggu – Depok. Berdekatan dengan Lenteng Agung, ada dua stasiun kereta api: Stasiun Lenteng Agung dan Stasiun Tanjung Barat.

Dengan situasi-kondisi seperti itu sesungguhnya warga Lenteng Agung adalah warga yang sejak lama sudah terbuka pada pendatang, dari berbagai suku dan agama. Jual-beli rumah antar mereka yang seagama dan berbeda agama, sudah berlangsung sejak lama. Pemilik rumah dan penyewa rumah yang berbeda keyakinan, juga berjalan baik-baik saja. Pemilik kost dengan mahasiswa dan karyawan yang kost, yang berbeda-beda suku-agama, sejauh ini senantiasa harmonis. Artinya, berbagai suku, agama, dan ras dengan nyaman bermukim di Lenteng Agung.

Tak jauh dari Masjid As-Shofa, yang berada di tepi Jalan Raya Lenteng Agung, ada rumah keturunan Tionghoa yang kemudian difungsikan sebagai gereja. Dulu, rumah tua itu dijadikan tempat kost mahasiswa dan karyawan. Sang pemilik rumah yang tinggal di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat, hanya datang sekali seminggu ke sana. Setelah ia meninggal, anak-menantunya berinisiatif memfungsikan rumah tersebut sebagai gereja. Aktivitas ibadah di masjid dan di rumah tersebut berjalan dengan baik, sesuai kepercayaan masing-masing warga.

Beragam Warga, Beragam Kepentingan

Dengan beragamnya warga yang bermukim di Kelurahan Lenteng Agung, tentu beragam pula kepentingan mereka. Secara keseluruhan, saat ini tercatat ada sekitar 9.000 Kepala Keluarga (KK) di Kelurahan Lenteng Agung. Menurut Mochamad Rusli, 45 tahun, sebagaimana dilansir sejumlah media, sebagian warga keberatan dan merasa kurang sreg pemimpin non-muslim memimpin di wilayah mereka yang mayoritas muslim.

Senin lalu, 19 Agustus 2013, Rusli sudah menyampaikan pandangan itu ke Balaikota. Ia mengklaim sudah mengumpulkan 2.300 tanda tangan dan 1.500 Kartu Tanda Penduduk untuk memperkuat penyampaian pendapat itu. Ia menyadari bahwa data yang ia himpun belum mayoritas. Tapi, Rusli yakin, kalau semua warga sudah tahu, 99 persen akan mendukung sikap tersebut. Ia menyatakan baiknya Susan dipindah ke daerah yang lebih heterogen. "Kami bukan menolak, tapi menyarankan dipindah ke wilayah lain," ujar Rusli, sebagaimana dikutip tempo.co, Kamis, 22 Agustus 2013 | 19:01 WIB, Pro Kontra Penempatan Lurah Lenteng Agung.

Jalan yang ditempuh Rusli untuk menyampaikan aspirasi warga agaknya adalah jalan yang konstitusional. Ia membawa suara warga ke Balikota, yang merupakan pusat pemerintahan DKI Jakarta. Kesediaan warga untuk menyampaikan aspirasi tentulah merupakan masukan yang positif bagi Pemprov DKI. Ini juga bisa dilihat sebagai bentuk kepercayaan warga kepada pemerintah.

Jika pemerintah, dalam hal ini Ahok sudah mem-block dan menantang aspirasi warga, itu artinya aspirasi warga menemukan jalan buntu di Balaikota. Bukankah aspirasi warga Lenteng Agung ini merupakan salah satu potret keragaman ibukota? Bukankah merupakan tugas pemerintah untuk mengelola keragaman yang ada, demi kemajuan bersama? Menurut saya, aspirasi yang ditunjukkan warga Lenteng Agung ini, merupakan tantangan bagi pemerintah DKI Jakarta dalam mengelola keragaman.

Di sisi lain, bagi Susan Jasmine Zulkifli yang beragama Protestan, yang baru menjabat Lurah Lenteng Agung sejak Juli 2013, ini merupakan peluang baginya untuk mengembangkan kepemimpinannya. Dengan adanya sejumlah kampus di kawasan Lenteng Agung, dengan adanya sejumlah mahasiswa yang kost di sana, tentu bisa digalang kebersamaan dengan menciptakan berbagai aktivitas positif yang melibatkan kampus, mahasiswa, dan masyarakat setempat. Bukankah kampus juga punya program Tridharma Perguruan Tinggi, yang merupakan tanggung jawab perguruan tinggi untuk mengabdi kepada masyarakat?

Membangun Sikap Toleransi

Tak bisa diingkari, sebagai ibukota, DKI Jakarta penuh dengan keragaman. Persaingan bisnis dan persaingan politik kerap dijadikan alasan untuk membabat habis keragaman tersebut. Pemerintah dengan kekuasaannya seringkali gagal mengelola keragaman yang ada. Penduduk dengan kekayaannya juga seringkali gagal memelihara keragaman di lingkungannya. Inilah yang kemudian memercikkan api konflik.

Mungkin pada awalnya konflik itu kecil dan diprediksi tak akan menimbulkan masalah. Tapi, ketika konflik-konflik kecil itu tak ditangani dengan positif, waktu akan membuatnya menjadi sekumpulan konflik kecil yang tentu saja tak mudah menanganinya. Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai, apa yang ditunjukkan warga Lenteng Agung, merupakan kasus diskriminasi berlapis. “Ini merupakan ujian kedua bagi Jokowi-Ahok mengatasi persoalan intoleransi agama di Jakarta. Sebelumnya, pada Februari 2013, kasus intoleransi di Tambora, Jakarta Barat, juga belum diatasi dengan baik," ujar Hendardi, sebagaimana dilansir investor.co.id-Jumat-23-08-2013-11:43, Penolakan Lurah Perempuan Bukti Intoleransi.

Sementara, dari sejumlah reaksi Ahok di berbagai media, nampaknya Ahok melihat intoleransi ini sebagai bentuk perlawanan dari lawan-lawan politiknya. Berikut ini saya kutipkan sejumlah pernyataan Ahok berkaitan dengan hal tersebut:

Ahok Heran Isu SARA Masih Merebak di Ibu Kota

Sumber: okezone.com, Kamis, 22 Agustus 2013 15:57 wib

"Wah saya kira kita tidak nanganin dia ditolak, karena dia agamanya beda gitu loh. Nanti lama-lama ditolak gara-gara kamu syiah. Kan repot gitu loh. Jadi tidak bisa tolak karena agama, itu tidak ada urusan. Kalo dia nyolong, dia tidak mau melayani, ya masalah," ujar Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, di Balai Kota Jakarta, Kamis (22/8/2013).

Ahok Anggap Politisi Pemain Isu SARA Lemah

Sumber: jpnn.com, Selasa, 13 Agustus 2013 , 15:58:00

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku tidak takut jika ada yang menggunakan isu SARA untuk melawannya. Menurutnya, penggunaan isu suku agama dan ras (SARA) justru memperlihatkan bahwa lawan politiknya itu lemah. "SARA itu cuma orang-orang munafik, mainan orang politik yang nggak bisa bersaing," kata wagub yang biasa disapa Ahok ini di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (13/8). Lebih jauh Ahok mengaku tidak masalah jika ada warga yang termakan isu SARA dan tidak memilihnya jika maju dalam pilkada atau pemilu yang akan datang. "Kamu enggak mau pilih saya lagi, ya sudah enggak usah pilih, ya biarin saja," tandasnya.

Ahok: Hanya Orang Bodoh Termakan Isu SARA!

Sumber: rmol.co, Selasa, 13 Agustus 2013, 13:37:00 WIB

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja menyebut, hanya politisi munafik dan minus kemampuan yang memainkan isu SARA sebagai alat politiknya. "Isu SARA kan munafiknya para koruptor yang tidak mampu bersaing saja. Orang yang main isu SARA itu Kampungan," ujar wagub yang akrab disapa Ahok tersebut di Balaikota, Jakarta Pusat, Selasa (13/8). Namun ia yakin masyarakat saat ini sudah cerdas, tidak gampang terprovokasi dan mampu memilih mana yang harus diikuti. Kendati diakuinya masih ada sebagian masyarakat yang percaya dan kerap termakan isu murahan semacam itu. Dibandingkan penduduk Belitung Timur yang notabene 93 persen muslim, menurut Ahok, masyarakat di Jakarta justru mudah terpengaruh isu SARA. Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan.

Ahok: Orang yang suka bawa SARA kampungan!

Sumber: merdeka.com, Selasa, 13 Agustus 2013 09:10:51

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tak ambil pusing dengan orang-orang yang selalu mengaitkan dirinya dengan persoalan SARA. Bagi dia, perilaku yang demikian mencerminkan orang yang tak beretika. "SARA mah orang kampung saja. Enggak ada urusan lah sama SARA. Di Belitung Timur juga 93 persen muslim," ucap pria yang akrab disapa Ahok ini di Balai Kota DKI, Selasa (13/8). Ahok menambahkan, orang yang suka membawa-bawa persoalan SARA bak politikus yang kalah bersaing dengan tujuan agar mereka yang tak mengerti ikut terhasut.

Basuki: Isu SARA Cuma Mainan Orang Politik Munafik

Sumber: kompas.com, Selasa, 13 Agustus 2013 | 12:49 WIB

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tidak ingin menanggapi lawan-lawan politik yang kerap menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk menyerangnya. Ia menegaskan, cara-cara seperti itu hanya dilakukan oleh oknum-oknum yang tak bisa bersaing secara sehat. "Isu SARA itu kan cuma sekelompok orang politik munafik, munafiknya koruptor saja yang enggak bisa bersaing," kata Basuki di Balaikota Jakarta, Selasa (13/8/2013).

Jakarta 24-08-2013

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun