Ramadan Saat Pandemi, Saatnya Genjot Ilmu dan Jalin Silaturahmi

Wabah Corona memang tak terduga. Dulu saat kali pertama muncul di Wuhan, sepertinya itu virus yang nun jauh di sana, tak akan singgah ke Tanah Air---apalagi sampai merambah ke desa-desa. 

Namun fakta berbicara berbeda, pandemi rupanya bercokol sampai ke Bumi Nusantara, masuk ke kampung dan dusun seperti jamur di musim hujan. Saya pikir kasusnya hanya akan beredar di kota besar seperti flu burung atau flu babi dulu.

Bukan cuma cara orang berinteraksi yang berubah, gaya belajar dan mencari nafkah pun menyesuaikan kondisi. Bahkan pada Ramadan tahun kedua pun wabah seolah enggan sirna. 

Di sana sini masih banyak orang yang mengabaikan protokol kesehatan. Anjuran pemerintah dianggap angin lalu, tak heran virus seperti ogah menjauh. Pakai masker dan prokes lain malah terlihat aneh dan asing, sungguh fenomena yang bikin canggung.

Dari semua yang terjadi, saya merasakan kegetiran sebab belum bisa beraktivitas secara leluasa, terutama berjemaah di masjid saat Ramadan. Ada perasaan waswas mengingat jemaah lain belum bisa tertib sesuai aturan. Akhirnya ya kami sekeluarga masih menjalankan ibadah Ramadan di rumah. tak jauh berbeda dari tahun lalu. 

Serupa tapi tak sama

Kalau praktik puasa sih nyaris tak ada perbedaan, sama seperti tahun 2020 ketika pandemi bermula. Selain itu, masih ada tiga kegiatan lain yang sangat saya rindukan tapi belum bisa dikerjakan sebab pandemi belum pergi. Anak-anak pun merasakan kehilangan karena tiga program itu terpaksa kami tiadakan.

1 | Buka puasa bersama

Ada kegembiraan tersendiri bagi kami untuk ikut meramaikan buka puasa bersama di Masjid Namira, yakni masjid megah di Desa Jotosanur Lamongan. Bukan hanya makan bersama yang asyik, tapi juga kesempatan meraup ilmu dari kajian sebelum berbuka yang membuat kami betah datang setidaknya dua kali seminggu. Kini tak ada lagi kesempatan itu, sama seperti tahun lalu, karena wabah belum pupus.

2 | Tarawih dan iktikaf

Setelah berbuka, kami biasanya meneruskan sampai tuntas shalat tarawih di masjid yang sama. Selepas tarawih pun diadakan sesi pengajian dengan narasumber yang sama saat kajian berbuka. Biasanya pemateri melanjutkan kajian yang belum tuntas atau memperdalam bahan yang tadi disampaikan. Sungguh kangen masa belajar seperti itu. Selalu ada ilmu atau wawasan baru.  

Pada 10 hari terakhir saya dan anak-anak, kadang istri juga turut serta, mengikuti agenda yang lebih panjang. Sejak sebelum magrib kami bersiaga di Namira sampai esok hari. Ya kami ikut iktikaf di masjid itu yakni menginap sekaligus di masjid yang juga diisi dengan tausiyah. Menu sahur disediakan panitia, kami tinggal siapkan energi dan bekal yang dirasa perlu seperti selimut atau multivitamin.

3 | Berbagi bareng komunitas

Hal ketiga yang saya rindukan karena belum bisa dilakukan sekarang adalah membagikan nasi untuk berbuka puasa kepada para pejalan, juga ke panti setiap hari Minggu selama Ramadan. Jadi ada 4 kali kesempatan kami membagikan nasi. 

Biasanya diadakan di empat lokasi berbeda dengan menggandeng tim shalawat setempat untuk meramaikan acara. Kebetulan pembina komunitas kami adalah seorang anggota Satlantas sehingga urusan perizinan dan pengamanan dijamin beres.

Pembina komunitas menyerahkan paket secara simbolis.

Bukan hanya itu, momen langka lain adalah membagikan bingkisan lebaran dan uang saku kepada dhuafa dan anak yatim pada pekan terakhir Ramadan. 

Biasanya kami bangun tenda panjang di depan basecamp komunitas agar acara terselenggara dengan nyaman. Ada panggung dan serangkaian acara yang kami lalui sampai prosesi penyerahan bingkisan besar. Sungguh tak ternilai melihat pemandangan anak-anak atau para lansia yang berkaca-kaca menerima paket besar yang kami himpun dari para donatur.

Tetap genjot ilmu dan jalin silaturahmi

Kini semua masih sama, kami belum bisa melaksanakannya lagi. Agenda selama Ramadan hanya berupa pengumpulan donasi yang nantinya akan kami belikan sembako dan bingkisan untuk kaum dhuafa dan anak-anak yatim. Tak ada acara pengumpulan massa. Semuanya akan dibagikan dengan ketat, sama seperti tahun lalu, kami akan datangi mereka ke rumah-rumah atau lewat perwakilan.

Lebih dari itu, belajar dari Ramadan tahun lalu, saya merasa belum banyak menimba ilmu karena tidak pergi ke masjid. Maka tahun ini saya geber semangat untuk memetik hikmah dengan banyak membaca buku dan menonton video ustaz yang saya sukai, salah satunya Gus Baha yang keilmuannya sangat luas. Ya pandemi boleh tak pergi, tapi semangat meraup ilmu tak boleh terhenti.

Selebihnya, ya saya tak mungkin memutus silaturahmi. Tetap berkontak dengan keluarga dan teman lewat media sosial. Kecuali dengan ibu yang tinggal berdekatan. Berjejaring terus saya lakukan sebagai ikhtiar menjaga kewarasan dan kadang malah membuka pintu rezeki. Peluang kerap datang ketika terjalin persahabatan, seperti itulah.

Tahun lalu saya mengkhawatirkan dan bertanya-tanya kapan pandemi akan berakhir, tapi tahun ini saya mencoba lebih berdamai. Mungkin wabah akan tetap ada, yang penting kita sabar dan mencoba memetik hikmah. Bagaimana pun yang terjadi adalah pengalaman terbaik yang mengajari kita menjadi pribadi yang lebih bersyukur dan lebih kreatif. Alhamdulillah.