Jombang, kota santri yang juga menjadi tujuan ziarah ke makam KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menyimpan sebuah permata tersembunyi bagi para pencinta kopi. Tak jauh dari Pondok Tebu Ireng, di dataran tinggi Wonosalam yang sejuk, terdapat beragam kedai kopi yang menyajikan kekayaan lokal. Di antara jejeran kedai tersebut, sebuah papan penunjuk arah menarik perhatian: Sumber Wandhe Coffee Lab Wonosalam.
Begitu melangkah masuk, kehangatan dan aroma kopi langsung menyambut. Saya berkesempatan berbincang dengan Mas Shobari Karim, akrab disapa Karim, sang pemilik. Sosoknya yang rendah hati namun penuh wawasan tentang kopi, mulai dari jenis umum hingga Liberika dan Ekselsa, membuat obrolan mengalir begitu saja.
"Wandhe" dan "Sumber": Sebuah Filosofi yang Menginspirasi
Karim menjelaskan filosofi di balik nama "Sumber Wandhe Coffee Lab." "Wandhe" berasal dari bahasa Jawa Krama Inggil yang berarti warung atau kedai. "Sebuah tempat sederhana, tapi penuh makna: tempat bernaung, berbagi cerita, melepas lelah, dan menyeduh kehangatan," tuturnya. Sementara itu, "Sumber" berarti asal-usul, mata air, atau tempat awal segala sesuatu bermula.
Dari penjelasan tersebut, lahirlah makna mendalam. Sumber Wandhe bisa dimaknai sebagai 'Sumbernya warung,' tempat segala rasa, cerita, dan kopi berawal. Atau, 'Warung yang jadi sumber,' bukan sekadar tempat ngopi, tapi sumber gagasan, pertemuan, eksplorasi rasa, hingga kolaborasi lintas batas." Penambahan "Coffee Lab" mempertegas visinya. "Kami tambahkan 'Coffee Lab' sebagai penanda bahwa tempat ini bukan hanya menjual kopi, tapi juga ruang belajar, bereksperimen, dan terus bertumbuh bersama komunitas pecinta kopi," tegas Karim, menginspirasi semangat eksplorasi.
Perjalanan Liberika: Kopi yang Terlupakan
Kisah Karim berawal dari kopi Liberika yang melimpah di desanya. Dengan nada penuh semangat, ia menyatakan, "Arabika dan Robusta sudah selesai, Liberika belum selesai atau masih samar-samar." Ia menyoroti minimnya penelitian tentang Liberika, bahkan menyebutkan bahwa literasi terakhir yang meneliti kopi Liberika berasal dari Harvard sekitar 100 tahun lalu. "Kita seolah kehilangan dua generasi yang tidak ada lagi yang meneliti tentang kopi Liberika," ujarnya, sebuah refleksi yang menyadarkan tentang potensi yang belum tergali.
Di Wonosalam, penelitian dan pengamatan Liberika dilakukan oleh tiga kelompok. Pertama, Sumber Wandhe sendiri. Kedua, akademisi dari Universitas Brawijaya dan Universitas Negeri Malang yang membantu dalam morfologi, taksonomi, DNA, serta kandungan kafein biji kopi. Ketiga, Adreng, seorang Q Grader dan Champion Indonesia Coffee Roasting Championship 2017, yang turut berkontribusi dalam pengembangan kopi Liberika.
Jejak Sejarah dan Kekayaan Liberika Wonosalam
Wonosalam memiliki sejarah panjang dengan kopi. Karim bercerita tentang peninggalan Belanda berupa perkebunan dan pabrik kopi di ketinggian 1400 mdpl yang kini jejaknya sudah sirna atau belum ditemukan. "Kesaksian hanya cerita dari para kakek nenek, tetapi tokoh masyarakat ada yang memegang peta kebun dan pabrik kopi peninggalan Belanda," ungkap Karim, seolah mengajak kita menelusuri masa lalu.
Di Wonosalam, setidaknya ada lima jenis kopi Liberika yang ditemukan: Liberika var. Liberika, Liberika var. Dewevrei (Ekselsa), Abeokutae, Klainii, dan Dbowski.
Motivasi utama di balik Sumber Wandhe adalah melestarikan budaya Wonosalam. "Orang Wonosalam punya budaya kalau bertamu disuguhi kopi, dan kopi yang disuguhkan adalah pasti Liberika atau Ekselsa," jelas Karim. Mereka bahkan lebih menyukai Ekselsa untuk konsumsi harian karena rasanya yang sedikit kecut, "nikmat kaya nangka rasa buah." Di pekarangan rumah warga, 3 hingga 10 pohon Liberika sering ditanam untuk konsumsi pribadi, bahkan sebagai pagar pelindung bagi Arabika dan Robusta karena ketahanannya terhadap hama dan penyakit. Liberika sering disebut "anak tiri" karena fungsinya sebagai pagar hama, namun di Wonosalam, ia adalah permata yang dilestarikan.
Ekselsa Wonosalam: Identitas dan Potensi Global
Para petani di Wonosalam terorganisir dalam kelompok tani, gabungan kelompok tani (Gapoktan), asosiasi komoditi (seperti alpukat dan durian), dan asosiasi kopi. Ini adalah wadah untuk berbudidaya hingga pemasaran, yang bertujuan meningkatkan ekonomi dan melestarikan warisan budaya.
Pemerintah juga memiliki peran aktif. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) secara aktif mendampingi petani di semua komoditi. Dukungan pemerintah selalu hadir dalam setiap kegiatan pertanian, termasuk pemberian bantuan bibit Liberika Tunggal Komposit (Libtukom) bersertifikasi. Ada pula kabar bahwa bibit Ekselsa Wonosalam sedang dalam proses sertifikasi. Pemerintah dan warga Wonosalam bekerja sama keras untuk me-branding kopi Ekselsa sebagai identitas geografis khusus Wonosalam, menjadikannya warisan budaya dan daya tarik bagi konsumen.
Menatap Masa Depan Kopi Indonesia
Melihat potensi ke depan, Karim menyoroti Kalimantan sebagai wilayah dengan mikro iklim yang sangat cocok untuk Liberika. Ia melihat bahwa Kalimantan "ketinggalan 1-2 tahun tren kopi industri kopi karena ketergantungan dari daerah lain." Namun, justru di sinilah peluang besar muncul. "Peluang menciptakan gelombang sendiri dan menciptakan tren sendiri, dan bahkan bisa menjawab tantangan global," pungkas Karim, memberikan semangat optimisme bagi masa depan kopi Indonesia.
Kisah Sumber Wandhe Coffee Lab dan kopi Wonosalam adalah bukti nyata bagaimana sebuah komoditas lokal dapat menjadi identitas, sumber ekonomi, dan bahkan membuka jalan bagi eksplorasi rasa yang lebih luas. Melalui dedikasi Karim dan komunitasnya, Liberika dan Ekselsa Wonosalam tak lagi menjadi "anak tiri," melainkan bintang yang bersinar di panggung kopi nasional dan internasional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI