Mohon tunggu...
Ismail Ilhams
Ismail Ilhams Mohon Tunggu... Mahasiswa/Ilmu pemerintahan/Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Saya sebagai mahasiswa yang berasal dari prodi ilmu pemerintahan dari univ sultan ageng tirtayasa memiliki ketertarikan memberikan opini terutama pada artikel artikel

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kultus Dedi Mulyadi: Karisma atau Kuasa Lokal?

23 Juli 2025   23:31 Diperbarui: 23 Juli 2025   23:31 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

DediMulyadi atau yang biasa kita dengar di media sebagai KDM, Pemimpin Jawa Baratini dikenal sebagai pemimpin Visioner, merakyat dan figur populer dimedia mediasosial terutama. Namun dimana ada pandangan positif pasti ada pandangan negatif,mulai dari pernyataan kontroversi serta kebijakan-kebijakan yang yang terasa sepertitop-down satu suara dari atas melahirkan kebijakan tanpa persetujuan bersama.

Dalam waktusingkat KDM melahirkan  beberapakebijakan yang tidak hanya menargetkan ruang publik justru menuju ranah privat,apakah ini salah satu bentuk kepemimpinan yang efektif atau justru hanyamengambarkan orang  kuat lokal berkarismayang otoriter melalui basis-basis fanatisnya?.

3kebijakan satu model

Salahsatunya adalah Penetapan Jam Malam salah satu kebijakan yang sempat viral diberbagai media, terkhususnya pelajar dilarang keluar malam (21.00-04.00 WIB)  kecuali untuk kegiatan pendidikan, keagamaan,atau keperluan ekonomi. Secara satu sisi merupakan kebijakan yang positif untukmenekan potensi adanya kenakalan remaja, tetapi di sisi lain dianggap sebagaiobjektifikasi Pelajar, Pelajar hanya dianggap sebagai ancaman ketertiban, bukanmanusia.

Kritikserupa muncul atas Larangan Study Tour bagi Pelajar. Kebijakan yang sangatramai perihal larangan study tour ini mendapatkan 2 pandangan, kebijakan inidilatarbelakangi oleh protes wali murid siswa yang merasa terbebani dalam masalahekonomi belum lagi kejadian kecelakaan rombongan pelajar seringkali terjadi. Yangpasti kebijakan ini mendapatkan penolakan keras dari pelaku industri pariwisatayang merasa dirugikan.pelarangan tanpa komunikasi lebih lanjut Mark Roelofsmenyatakan: "politic is talk" tanpa itu menciptakan resistensi, bahkandemonstrasi, dari masyarakat bawah yang ekonominya terdampak langsung.

Tidak kalahkontroversi kebijakan Jam Masuk Sekolah Pukul 06.00 Pagi. Dalam satu podcastKDM mengatakan bahwa jam 6 pagi siswa sudah berada dikelas ia mengatakankebijakan ini menimbukan hal positif udara yang masih segar, kondisi jalanbelum macet dengan kondisi seperti itu peran orang tua sangat penting yangdimana anak-anak akan bangun lebih pagi dan tidur tidak terlalu malam.Pernyataan ini membuat beberapa kritikan Banyak orang tua terutama yang tinggaljauh dari sekolah atau bekerja di jam jam tertentu harus menyesuaikan ulangritme hidup mereka. Kebijakan ini juga mengasumsikan bahwa semua keluarga punyamodal sosial dan ekonomi yang sama, sebuah asumsi yang sering dikritik dalampendekatan teknokratik ala James C. Scott, di mana negara berusahamenyederhanakan kompleksitas sosial lewat satu formula kebijakan.

Ketigakebijakan itu menggambarkan jelas apa yang disebut oleh para ilmuwan kebijakanpublik sebagai perlakuan otoriter atau pendekatan top-down di mana kebijakanditentukan sepihak oleh elite, tanpa konsultasi yang memadai kepada masyarakat.Dalam teori state-in-society, Joel S. Migdal bilang kalau negara gagalmenjalankan fungsinya misalnya bikin aturan yang konsisten atau ngasih layananpublik yang merata maka akan muncul tokoh-tokoh lokal yang mengisi kekosonganitu. Tokoh-tokoh ini disebut sebagai local strongman: bukan karena jabatanresmi semata, tapi karena dia dipercaya, karismatik, dan dianggap bisa"beresin masalah". Lokal Strongman bukan berarti hanya bisa dilakukanaktor informal saja ia bisa berasal dari aktor formal didaerah tersebut.

DediMulyadi adalah contoh nyata saat ini dari strongman lokal di Jawa Barat. Menggunakansimbolisme budaya (misalnya "kebangkitan Sunda Wiwitan") , kecenderungansuperioritas dan semangat patriotisme yang dibangun secara berlebihan, sehinggamenempatkan dirinya seolah-olah sebagai figur penyelamat tunggal.

 Di tengah sistem pendidikan yang ribet danlambat berubah, Dedi muncul sebagai figur yang langsung ambil tindakan. Bagisebagian orang, gaya Dedi ini dianggap solutif. Nggak perlu rapat panjang,langsung bikin edaran. Nggak usah nunggu sistem berubah, langsung ambil alih.Ia hadir dengan "ketegasan" yang oleh banyak warga justru dianggap sebagaibentuk kepedulian.

Tapi disinilah letak menariknya. Kepemimpinan Dedi itu bukan muncul dari sistem yangdeliberatif atau proses demokrasi partisipatif. Ia naik karena masyarakatmerasa negara atau pemerintah pusat kurang hadir. Seperti pada teori Max weber padalegitimasi karismatik, seseorang menurut karena kepercayaan pribadi pemimpinbukan karna kebijakan atau aturan yang dijalankan.

Fanatismedan Kekuasaan

DediMulyadi (KDM) dalam forum nasional Dewan Perwakilan Daerah pada 5 Mei 2025menuai sorotan. Ia mengatakan, "Mudah-mudahan bapak-bapak nasibnya bisa jadigubernur di daerah masing-masing, tapi jangan di Jawa Barat, berat lawan saya."Ucapan ini, meski terdengar sekedar candaan, justru memunculkan kesan arogandan seolah ingin memonopoli ruang politik di Jawa Barat. KDM justru memberisinyal bahwa Jawa Barat bukanlah ruang kontestasi terbuka, melainkan "kekuasaanpribadi" yang tidak layak diganggu. Ini memperkuat citra dirinya sebagai aktorlokal yang merasa paling berhak atas politik di daerah tersebut. Publik bisasaja menilai bahwa segala hal yang  KDMtengah lakukan merupakan memainkan politik pencitraan yang berlebihan,sekaligus menunjukkan kecenderungan anti-kompetisi.

Kondisi itudidukung dalam beberapa hal, KDM juga dikenal sebagai figur yang sangat populerdi kalangan masyarakat dan media. Karismanya dianggap khas: tegas, cepatmerespons persoalan publik, dan tampil "merakyat". Banyak pendukungnya menyebutgaya kepemimpinannya sebagai "tegas dan solutif". Namun, di balik sanjunganitu, muncul kecenderungan baru yang patut diwaspadai: tumbuhnya basis pendukungfanatik yang anti-kritik dan membungkam suara berbeda.

Dalam gayakepemimpinan KDM. Banyak program sosial yang sebetulnya merupakan kewajibannegara, diartikulasikan seolah-olah berasal dari dirinya seorang. Pendukungnyamempersepsikan itu sebagai kerja pribadi, bukan kerja pemerintah. Inimemperkuat kesan one man show, yang justru membahayakan prinsip kolektif dalamtata kelola pemerintahan. Popularitas semacam ini menghasilkan bias persepsi:yang membantu adalah "KDM", bukan institusi negara.

MenurutHoyt (dalam Kartono, 1998) memaparkan kepemimpinan adalah kegiatan atau senimempengaruhi orang lain agar mau bekerja sama yang didasarkan pada kemampuan orang lain dalammencapai tujuan--tujuan yang di inginkan kelompok, (bukan autokratis). Karena meredupkan fungsiinstitusi  lembaga lain, memperkuatpolitik personalistik. Dalam konteks ini, KDM mencerminkan sosok aktor lokalyang kuat (local strongman) yang beroperasi dari dalam tubuh negara itusendiri.

Contohkasus Aura Cinta, seorang pelajar yang menyuarakan keberatannya terhadapkebijakan larangan study tour, justru dihujat secara masif dan kasar olehpendukung KDM. Padahal, menyampaikan pendapat adalah bagian dari hak dasardalam demokrasi. Frans Magnis Suseno mengingatkan bahwa sebuah negara hanyabisa disebut demokratis jika menjamin lima unsur: negara hukum, kontrolmasyarakat terhadap pemerintah, pemilu bebas, prinsip mayoritas, danperlindungan atas hak-hak dasar warga.

Dalambuku  Eric Hoffer yang membahas gerakanmassa berjudul "The True Believer: Thoughts on the Nature of MassMovements" Individu dapat tergoda oleh sanjungan dan pujian kolektif, ituterjadi pada kebanyakan kasus. Dampaknya individu dapat mengalami kekakuan, penolakanpemikiran kritis dan ideologis. Kondisi-kondisi tersebut bisa disebut superioritycomplex  sehingga membuat aktor lokalyang memperlemah negara dari dalam.

Hal inilahyang tampaknya terjadi di sekitar KDM. Ia tidak hanya menjadi pemimpin, tapijuga simbol yang tak boleh disentuh kritik. Ini bukan lagi demokrasipartisipatif, melainkan politik fanatisme. Jika tidak dikendalikan, figurisme populissemacam ini bisa berujung pada kultus individu di mana logika kebijakandikalahkan oleh popularitas, dan suara rakyat dibungkam oleh loyalitas buta.Demokrasi yang sehat tidak membutuhkan tokoh yang dipuja-puja secaraberlebihan.

Fenomenaini muncul atas dasar kurangnya legitimasi dan kapabilitas negara terutama pusatdalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara adil dan merata disetiapdaerah sehingga muncul aktor lokal kuat seperti Dedi Mulyadi yang mendapatkankepercayaan masyarakat yang kuat secara lokal dan karismatik. Jadi, apakahkehadiran figur seperti KDM hanya membawa hal positif? Tentu tidak. Di satusisi, mereka menjawab kekosongan negara. Tapi di sisi lain, merekamemperlihatkan bahwa demokrasi lokal kita masih rapuh, mudah dikuasai figurpopuler, Munculnya bentuk fragmentasi kekuasaan: Negara (Pemprov, Pusat) tidaksepenuhnya dominan, karena ada aktor kuat seperti kdm yang terpusat kepada dirinyasendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun