Mohon tunggu...
ismail al anshori
ismail al anshori Mohon Tunggu... -

hanya seorang manusia yang masih belajar memaknai hidup,,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sengkarut Pikir dalam Kritik Yudi Latif: Self Evidence

25 Juni 2015   17:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:12 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

** tulisan lama, dibuat 3 Februari 2015. Link ke blog saya.

 

Hari ini Yudi Latif menulis sebuah kritik bagi Jokowi dengan sebuah hipotesa bombastis tentang anti-intelektualisme. Sayangnya, ada banyak masalah dalam kerangka pikir yang ditawarkan oleh Yudi Latif ini.

Pertama, hanya karena pertimbangan yang dipakai oleh seseorang tidak sama dengan pengetahuan yang dia yakini, atau mungkin karena dia kurang bisa memahami dasar pertimbangan seseorang, lalu dianggap bahwa seseorang tersebut tidak menggunakan pengetahuan. Jokowi yang menyusun pengetahuan secara bottom-up dipandang kurang berpengetahuan hanya karena, menurut Yudi Latif, pengetahuan mestinya disusun secara top-down. Padahal, seorang peneliti sosial seperti Yudi Latif mestinya tahu bahwa aktifitas atau tindakan seseorang itu ditentukan oleh dua hal: kehendak dan pengetahuan. Komunitas  atau individu yang dianggap paling terbelakang pun pasti punya sistem pengetahuannya sendiri. Oleh karena itu, persoalannya bukan tentang apakah ada pengetahuan atau tidak, tapi tentang apakah corak pengetahuan yang digunakan sesuai dengan situasi dan tujuan yang ingin dicapai. Kegagalan memahami bagaimana Jokowi menyusun pengetahuan ini membuat kritiknya di bagian ketiga tentang anti-intelektualisme terasa dangkal dan judgemental.

Kedua, kritik bagian kedua sebenarnya cukup bagus. Ia menggambarkan bagaimana relasi kuasa dibangun di sekitar presiden. Tapi kesimpulan Yudi Latif terlalu reduksionis kalau hanya dikaitkan dengan mentalitas. Kenapa? Politik tidak berurusan dengan kebenaran atau mentalitas. Kebenaran dan mentalitas itu urusan filsafat dan sains. Politik adalah urusan bagaimana menyusun struktur relasi kuasa untuk memperjuangkan agar sistem bisa mendekati cita-cita dan gagasan bersama. Dan karena menyangkut sistem, maka analisisnya tidak bisa sekedar bagian per bagian, tapi bagaimana keseluruhan sistem tersebut bekerja. Di sini, analisis Yudi Latif terasa dangkal karena dia tidak berusaha memahami bagaimana struktur relasi kuasa yang coba dibangun oleh Jokowi.

Ketiga, ada kesan bahwa dia mencoba membandingkan struktur yang dibikin oleh SBY dan Jokowi (walau tidak eksplisit menyebut nama SBY), lalu menghakimi Jokowi berdasarkan situasi dan tantangan yang dialami oleh SBY. Ini terlihat misalnya pada argumentasi dia tentang komposisi Wantimpres yang berbeda dengan era SBY. Entah kenapa dia menggunakan pendekatan ini, padahal dia pasti tahu bahwa konteks kekuasaan Jokowi dan SBY itu sangat berbeda. Oleh karena itu, pertimbangannya pun sangat berbeda.

Keempat, di bagian pertama dia membahas tentang Ranggawarsita (yang biasanya dipakai sebagai justifikasi dan sering dipakai seenaknya, karena toh namanya ramalah bukan dibuktikan secara empiris), lalu di bagian kedua dia mendiskusikan mentalitas (yang lagi-lagi dia menilai negatif karena tidak sesuai dengan yang dia yakini), dan bagian terakhir menelurkan hipotesa bombastis anti-intelektualisme. Saya agak kesulitan mencari hubungan antara Ronggowarsita dengan mentalitas dan anti-intelektualisme. Padahal, rekam jejak Jokowi dari Solo hingga jadi presiden, atau setidaknya saat jadi Gubernur DKI, selalu memperlihatkan agenda pembelajaran organisasi yang masif. Caranya mungkin tidak seperti yang diinginkan oleh akademisi semacam Yudi Latif, tapi jelas sekali pembelajaran hadir di birokrasi dan di level grass root. Sebagai akademisi, mestinya Yudi Latif bisa berempati, tidak memaksakan kacamatanya sendiri. Ya, Jokowi adalah seorang pemimpin yang praktis-pragmatis, tapi praktis-pragmatis tidak sama (dan bahkan tidak bisa dibandingkan) dengan intelektual atau anti-intelektual.

Keenam, entah kenapa pula dia pakai istilah-istilah melangit untuk menunjukkan sesuatu yang sebenarnya sederhana (misalnya: dekadensi & sinister). Lalu, dia memunculkan symptomatic reading dan narrative knowledges, tapi salah pakai. Semacam ditempelkan begitu saja, tanpa memahami konsep. Symptomatic reading adalah metodologi critical reading yang dikembangkan oleh  Althusser & Balibar untuk memahami konstruksi ideologi dan kerangka pikir (sebagai bagian dari historical works) sebuah teks (Oxford Reference), tapi oleh Yudi Latif itu dipakai secara brutal untuk menilai relasi kuasa elit vs grass root dalam demokrasi dan untuk menghakimi ideologi di tubuh Jokowi. Symptomatic reading adalah alat untuk menelusuri, bukan untuk menilai, dia mestinya tahu ini. Selain itu, saya juga tidak mengerti kenapa dia pakai istilah narrative knowledge untuk menggambarkan "kerangka strategi ideologis berbasis pengetahuan naratif". Padahal, narrative knowledge selama ini didefinisikan sebagai cara pembelajaran yang biasanya dibandingkan dengan scientific knowledge. Narrative knowledge biasanya dimaknai dengan pengetahuan yang disusun dan ditransfer melalui cerita pengalaman hidup seseorang (Dow, 2006). Sepertinya Yudi Latif ingin mengungkapkan miskinnya narasi dari program pembangunan Jokowi, yang mana sebenarnya saya sepakat bahwa Jokowi belum mengelaborasi program-programnya secara komprehensif.

Keenam, terakhir, saya sangat mengapresiasi tulisan ini karena jarang sekali yang membawa topik tentang pembelajaran sosial (societal learning), apalagi untuk tulisan di ranah politik. Saya juga melihat bahwa demokrasi yang selama ini dibangun belum menuju kepada pembelajaran sosial yang sehat. Bahkan, saya menilai bahwa negara ini belum memfungsikan otaknya secara semestinya. Sayangnya berbagai argumen yang disusun Yudi Latif tidak konsisten dengan arah pembelajaran sosial ini. Dengan genit dia asyik menari-nari di isu-isu lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan pembelajaran sosial. Kesan saya, dia menunggangi topik pembelajaran sosial untuk curhat.

Yudi Latif sepertinya lupa atas aturan utama dalam mengkritik: pahami baik-baik sebelum menghakimi. Dia banyak menghakimi, tapi minim memahami. Biasanya saya menikmati tulisan Yudi Latif, tapi tidak kali ini.

Kalau Yudi Latif menilai bahwa negara ini memiiliki penyakit "sengkarut pikir", tidak hanya di kalangan bawah tapi juga para intelektualnya, maka tulisan ini menunjukkan hal tersebut. Self evidence.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun