Ilustrasi (www.wartakota.co.id)
Masa-masa dekade 80 sampai awal 90an merupakan masa-masa keemasan bioskop tidak terkecuali di kota kecil bernama Palopo yang berjarak 300 KM dari Makassar. Saya masih ingat setiap pekan biasanya hari Jumat sebuah mobil berkeliling dalam kota dengan sebuah pengeras suara sedang promosi film yang akan di putar di malam minggu (sabtu malam). Tidak hanya pengeras suara, tapi pamplet dan sebuah gambar yang menggoda sengaja di ikutkan sebagai promosi film.
Saya mulai suka menonton film karena di ajak oleh bapak saya, ketika masih SD di Makassar sebulan 2 kali kami ke bioskop. Menonton di Bioskop merupakan salah satu hiburan yang bapak selalu temani selain bermain di Taman Ria Makassar (TRM), sekarang TRM tinggal puing-puing saja. Bersama bapak dan adik kami menonton di sebuah bioskop yang tidak terlalu jauh dari rumah. Nama bisokopnya bioskop New Mutiara, harga karcisnya lumaya murah 1000-1500 rupiah.
Tiap pekan bioskop penuh sampai-sampai kami harus rela duduk di barisan paling depan. Biasanya sehabis nonton leher menjadi pegal, sepanjang 2 jam harus mendongakkan kepala. Belum lagi karena bioskopnya termasuk kelas menengah ke bawah fasilitas yang kami dapat juga serba terbatas mulai dari kursi kayu hingga sistem ventilasi yang pengap, sehabis nonton pantat terasa pegal.
Setelah masuk SMP saya balik ke kampong di Palopo, sedangkan bapak meneruskan kerja di Kendari. Kegemaran nonton di bioskop terus berlanjut. Satu persatu bioskop di kota Palopo saya datangi, tidak peduli uang kiriman berkurang karenanya. Virus suka ke bioskpo juga saya tulari ke teman-teman main, karena penasaran dengan film Saur Sepuh kami bersepuluh rela bersepeda sejauh 5 KM hanya untuk menghilangkan penasaran kami. Saya masih ingat nama Bioskopnya Appollo Theathre di Jalan Diponegoro, waktu itu harga karcisnya lumayan murah hanya 1000 rupiah. Pulang dari bioskop, bapak saya sudah menunggu di depan rumah, rupanya dia barusan tiba dari Kendari, saya kena marah besar karena berkeliaran di siang bolong.
Di kota Palopo ada 4 bioskop yaitu Artana Theathre di samping Jalan Belimbing, lalu bioskop Appollo di Jalan Diponegoro tidak jauh dari Appollo ada bioskop Ampera, sekitar 100 Meter dari Ampera di Salubulo ada bioskop Muda. Masing-masing bioskop punya ciri khas. Di Artana theathre sering diputar film Mandarin atau film Barat harga karcisnya juga mahal sekitar 1500-3000 rupiah. Seingat saya, saya hanya 2 kali nonton di bioskop ini yang pertama karena di traktir teman yang kedua karena habis dapat kiriman.Dibanding ketiga bioskop lainnya, bioskop Artana termasuk baru dan yang terbaik waktu itu. Lalu di Apollo sering di putar film lokal Indonesia (siang) dan kalau malam biasanya di putar film barat, harga karcisnya 1000-3000 rupiah. Bioskop ini mudah dikenali karena pas terletak di persimpangan dan terletak di ujung jalan.
Bioskop idola saya kala itu adalah bioskop Ampera yang letaknya tidak jauh dari Appollo. Harga karcisnya lumayan murah sekitar 500 rupiah (siang) dan 1000 (malam), film-film unggulannya kalau siang adalah film Indonesia seperti Saur Sepuh, Si Gobang,Si Buta dari Gua Hantu dll. Kalau malam diputar film India. Didalam bioskop panas dan kalau mau buang air kecil harus ke keluar ke samping bioskop, sebagian besar penontonya anak ABG.
Kalau film di Ampera tidak bagus biasanya saya dan adik lari ke bioskop Muda. Di bioskop ini sering diputar film Mandarin dan barat, entah mengapa bioskop ini sepi penonton. Dibanding bioskop Ampera dan Appollo, gedung Bioskop Muda kelihatan lebih baik. Perkiraan saya bioskop Muda dulunya bioskop terbesar dan teramai di kota Palopo. Sayangnya pengelola kala itu kalah bersaing. Sering kali kalau nonton di bioskop Muda penontonnya tidak lebih dari 20 penonton, benar-benar sepi sangat berbeda dengan ketiga bioskop yang lain. Oh, ya tiket masuknya sekitar 500-1500 rupiah. Saya ingat penjaganya seorang bapak tua yang kadang tidak ramah kepada penonton.
[caption id="attachment_188119" align="aligncenter" width="400" caption="Bukti kejayaan Bioskop Muda (www.panoramio.com)"]
Sekarang bangunan tua bioskop jadul sudah berubah fungsi terutama menjadi ruko. Tidak ada lagi mobil dengan pengeras suara yang berkeliling kota, tidak ada lagi poster film dengan gambar yang menantang, tidak ada lagi keramaian. Kota kecil itu telah banyak berubah. Bioskop jadul itu hilang meninggalkan memori masa kecil saya. Setiap kali melintas di depannya, selalu terbayang masa-masa ketika kami harus berebut antri karcis kadang-kadang dengan jahil kami sengaja menyelundupkan kawan yang tidak dapat karcis.