Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain Tabroni
Iskandar Zulkarnain Tabroni Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Seorang Lulusan Sosiologi dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Senang dengan dunia otomotif, dan menjadikan kegiatan mengendarai sepeda motor sebagai bentuk hobi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Review Buku "Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas" Karya Neng Dara Affiah

23 April 2019   17:15 Diperbarui: 23 April 2019   17:48 1013
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

REVIEW BUKU

"ISLAM, KEPEMIMPINAN PEREMPUAN, DAN SEKSUALITAS" KARYA NENG DARA AFFIAH

Diajukan sebagai tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Kualitatif

Dosen : Dr. Neng Dara Affiah, M.Si

Oleh :

Iskandar Zulkarnain Tabroni  

11171110000023

 

 

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2018

gramedia.com
gramedia.com
DATA BUKU:

Penulis           : Neng Dara Affiah

Judul               : Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas

Penerbit         : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Cetakan          : Jakarta, Desember 2017

Tebal                : 200 halaman

Pertama-tama penulis review dari buku ini ingin menjabarkan bagian-bagian yang terdapat dalam buku ini. Buku ini terdiri dari tiga bab, yaitu: pertama, Islam dan kepemimpinan perempuan; kedua, Islam dan seksualitas perempuan; ketiga, Perempuan, Islam dan Negara. Dari tiga bab tersebut akan penulis jabarkan bagaimana ulasan mengenai masing-masing bab tersebut.

Pada bab pertama tentang Islam dan kepemimpinan perempuan, penulis buku menggambarkan dengan baik tentang bagaimana adanya perdebatan antara kubu yang pro terhadap perempuan dalam memimpin suatu kedudukan dan merdeka atas dirinya sendiri dan yang kontra terhadap diberikannya perempuan hak kursi kepemimpinan.

Dalam masyarakat islam, kelompok yang kontra akan kemunculan pemimpin perempuan beralasan seputar persoalan-persoalan teologis. Ayat Al- Qur'an seperti ayat: "Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan" (An-Nisa: 34) menimbulkan perdebatan yang cukup sengit mengenai kepemimpinan perempuan. Kata qawwam menjadi dasar dari kelompok yang kontra terhadap kepemimpinan perempuan. Para ahli tafsir klasik dan beberapa tafsir modern mengartikan kata ini sebagai: penanggung jawab, memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan, pemimpin, menjaga sepenuhnya secara fisik dan moral, penguasa, yang memiliki kelebihan atas yang lain, dan pria menjadi pengelola masalah-masalah perempuan. Tim Departemen Agama dalam Alquran dan Terjemahnya pun mengartikannya demikian. Dari pemaknaan tersebut menjadi terlihat bahwa perempuan berada pada posisi yang inferior terhadap laki-laki.

Kemudian argumen-argumen yang menunjukkan bahwa laki-laki lebih superior dibanding perempuan yang menghambat munculnya pemimpinan perempuan. Asumsi bahwa pihak laki-laki memiliki aset kekayaan yang mampu menghidupi istri dalam bentuk maskawin dan pembiayaan hidup keluarga sehari-hari. Selain itu laki-laki pada umumnya dianggap memiliki kelebihan penalaran (al-aql), tekad yang kuat (al-hazm), keteguhan (al-aznl), kekuatan (al-quwwah), kemampuan tulisan (al-kitabah), dan keberanian (al-furusiyyah wa al-ramy). Karena itu dari kaum laki-laki lahir para nabi, ulama dan imam.

Kelompok yang pro terhadap kepimpinan perempuan, memaknai asumsi tersebut secara berbeda. Pemaknaan di atas, yakni karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain, para ahli tafsir berperspektif feminis, bersifat relatif dan tergantung kepada kualitas masing-masing individu dan bukan karena sifat gendernya. Fazlur-Rahman menafsirkan bahwa "kelebihan" tersebut bukanlah bersifat hakiki, melainkan fungsional. Artinya jika seorang istri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri, baik karena warisan maupun karena usahanya sendiri dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan laki-laki akan berkurang, karena sebagai manusia tidak memiliki keunggulan atas perempuan. Amina Wadud Muhsin juga menyatakan bahwa laki-laki qowwammun atas perempuan tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat kepada setiap laki-laki secara otomatis, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional selama yang bersangkutan memiliki kriteria Alquran, yakni memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Kriteria tersebut juga bisa dimiliki oleh perempuan, sehingga perempuan pun memiliki kelebihan.

Menurut Asghar Ali Engineer, pernyataan Alquran karena Allah telah memberikan kelebihan (kekuatan) pada yang satu atas yang lain sesungguhnya merupakan pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, kaum perempuan pada saat itu sangat rendah dan pekerjaan domestic dianggap kewajiban perempuan. Sementara laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka memberi nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan. Oleh karenanya, pernyataan tersebut bersifat kontekstual dan bukan normative. Seandainya Alquran menghendaki laki-laki harus menjadi qowwam atas perempuan, ia akan menggunakan pernyataan normatif dan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan semua keadaan.

Selain itu, perlu dilihat juga konteks kelahiran ayat tersebut. Pertama, ayat ini turun dalam konteks hubungan suami Istri dan bukan dalam konteks kepemimpinan. Kedua, melarang perempuan menjadi pemimpin atas dasar ayat ini adalah keangkuhan yang bertentangan dengan konsep dasar tuhan menciptakan manusia. Bahwa manusia, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mengemban amanat menjadi khalifah di muka bumi dan mengelola bumi secara bertanggung jawab dengan menggunakan akal yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia.

Kemudian penolakan terhadap kepemimpinan perempuan juga didasarkan oleh hadis, "tidak akan berjaya suatu kaum/masyarakat jika kepemimpinannya diserahkan kepada perempuan (Lan yufliha qaumun imra'atan)", yang kemudian diteliti oleh Fatimah Mernissi secara cermat bahwa: pertama, hadis itu diucapkan Nabi Muhammad untuk menggambarkan negeri Persia yang mendekati ambang kehancuran dengan dipimpin oleh seorang perempuan yang tidak mempunyai kualitas yang memadai. Kedua, hadis ini dikemukakan kembali oleh perawinya, Abu Bakrah, ketika ia melihat perpecahan di kalangan umat Islam karena peristiwa Perang Siffin antara Khalifah Ali dan Siti Aisyah. Baginya, memihak pada salah satu diantaranya bukan merupakan pilihan yang bijaksana, dan menggunakan ucapan Nabi 23 tahun semenjak ia meninggal. Ketiga, hadis itu hanya diriwayatkan oleh satu orang yaitu Abu Bakrah, berdasarkan ahli hadis, jika sebuah hadis hanya diriwayatkan oleh satu orang (Ahad), maka diragukan keotentikannya.

Untuk itu perlu ditelisik lebih dalam bahwa ajaran Islam tidak membatasi perempuan untuk menjadi pemimpin, walaupun memang jumlah pemimpin perempuan sangatlah terbatas. Hal tesebut terjadi karena hambatan seperti pemahaman yang salah kaprah mengenai ajaran Islam seperti di atas. Tantangan lain adalah adanya ego kolektif masyarakat muslim yang melanggengkan nilai-nilai patriarki, sehingga narasi agama digunakan sebagai tameng dan dimanipulasi untuk melegitimasi kepentingan ego tersebut.

Penulis buku memberikan cara-cara yang dapat digunakan untuk membentuk pemimpin perempuan sebanyak mungkin dalam berbagai ranah kehidupan. Pertama, semenjak kecil ditanamkan, pola pendidikan watak kepemimpinan, perempuan atau laki-laki tidak dibeda-bedakan. Kedua, anak perempuan dan laki-laki berhak mengakses apa saja sepanjang membuat diri mereka berkembang. Ketiga, memberikan kebebasan untuk memilih sesuai pilihan nuraninya. Keempat, melatih perempuan jatuh bangun dengan pilihannya, karena proses itu akan muncul pendewasaan hidup dan "otonomi diri". Dan kelima, menghindari perangkengan perempuan dalam sangkar emas atas nama "perlindungan", karena bisa menjebak perempuan menjadi kerdil dan gagap berhadapan dengan realitas kehidupan nyata.

Pada bab kedua, yaitu pembahasan tentang islam dan seksualitas perempuan, yang menurut saya sebagai reviewer berisi bahasan-bahasan yang sangat mendalam dan menarik terutama pada topik poligami. Penulis buku dapat memotret dengan sangat baik bagaimana kelamnya sejarah poligami dari mulai masa bangsa Arab pra Islam hingga sekarang di Indonesia. Para perempuan, diperlakukan layaknya seonggok daging yang digunakan hanya untuk pemuasan kebutuhan seksual dengan dalih-dalih ayat agama.

Dalam topik poligami, penulis dari buku ini menjelaskan bahwa praktik-praktik poligami ini merupakan sebuah tradisi dari masyarakat Arab dan Timur tengah yang sangat kental. Penulis buku membagi topik poligami ini menjadi beberapa bagian.

Pada bagian sistem perkawinan dalam tradisi Arab pra-islam, dijelaskan bahwa terdapat dua pandangan mengenai sistem perkawinan dalam struktur masyarakat Arab pra-Islam. Pertama, matrilineal, yaitu bentuk perkawinan yang mengacu pada garis ibu sebagai rangkaian asal leluhur mereka. Kemudian praktik perkawinan poliandri atau perempuan yang memiliki suami lebih dari satu orang yang merupakan hal yang lazim pada masyarakat Arab pra-Islam. Dan pandangan kedua yang mengatakan bahwa jauh sebelum munculnya islam, praktik poligami yang tak terbatas telah mengakar kuat pada masyarakat jazirah Arab. Bagaimana pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan, bahkan ratusan istri. Beberapa sahabat Nabi pun pernah melakukan praktik poligami tak terbatas ini yang kemudia diperintahkan oleh Rasul untuk menceraikannya dan menyisakannya hingga tinggal empat.

Pada masa Islam awal, ayat poligami dalam Alquran turun pada tahun 5 Hijriyah atau 625 M. Islam mengalami kekalahan dan para prajurit muslim gugur meninggalkan istri-istri serta anak-anak yang kemudian menjadi janda dan yatim. Timbulnya persoalan ini turunnlah surah An-Nisa ayat 3 yang mendorong seorang laki-laki untuk mengawini para perempuan janda tadi dengan tidak lebih dari empat orang.

Hal ini yang sering disorot oleh masyarakat Barat ketika Islam menganjurkan untuk berpoligami. Jika mereka melihatnya dengan lebih luas mengenai latar belakang turunnya ayat tersebut, tidak hanya pada masyarakat sekarang yang cenderung melakukan poligami hanya untuk memenuhi hasrat seksualnya, niscaya mereka akan paham bahwa institusi tersebut lahir karena situasi dan kondisi pada saat itu.

Alquran sendiri meragukan dalam surah An-Nisa ayat 129 dengan tegas: "kamu takkan dapat berlaku adil terhadap perempuan, meskipun kamu berhasrat demikian". Hal ini terbukti karena hampir tidak ada motif seorang laki-laki yang melakukan poligami dengan motivasi seperti yang tertera pada masa ketika surah An-Nisa ayat 3 diturunkan. Rata-rata motif utama dari laki-laki yang melakukan poligami adalah: Pertama, keserakahan seksual. Dapat dilihat biasanya istri kedua dan berikutnya cenderung lebih muda. Kedua, struktur masyarakat yang feodal. Perempuan dikawinkan kepada bangsawan agar terangkat status sosialnya dalam masyarakat. Ketiga, motif ekonomi. Berhubungan dengan kemiskinan yang banyak dialami perempuan.

Untuk itu, menurut pengulas pun alasan untuk berpoligami pada masa sekarang sangatlah jauh dengan poligami yang diperbolehkan oleh Alquran. Bahkan dengan argumentasi kemandulan yang dialami perempuan sekalipun, menurut pengulas dan penulis dari buku ini,  hal itu bukan sebuah alasan untuk menduakan seorang perempuan. Masih ada jalan lain yang dapat ditempuh seperti bayi tabung, atau mengadopsi anak-anak yatim. Ia cenderung bertentangan dengan semangat Alquran dalam memerangi hawa nafsu. Untuk itu perlu diketahui motif dari orang yang ingin melakukan poligami. Apakah tujuannya benar untuk membebaskan perempuan, keadilan ekonomi, keberpihakan terhadap anak yatim dan perempuan lemah benar-benar berasal dari hati nurani yang terdalam? Karena pada dasarnya pria yang berpoligami itu hanya, (1) mencari variasi pengalaman seksual, (2) kebosanan dalam hubungan suami istri, (3) mencari kesenangan, dan (4) ingin membuktikan bahwa dirinya masih kuat dan menarik. Selain itu juga keinginan untuk memiliki lebih banyak anak agar dapat meningkatkan nilai prestise dan status di dalam masyarakat.

Selain itu, poligami pun berdampak buruk pada anak-anak. Anak akan menjadi korban jika kehidupan dalam keluarga tak seimbang. Orang tua yang sering bertikai akan menghambat perkembangan kepribadian anak. Bisa jadi seorang ibu yang merasa dibohongi akan bersekutu dengan anaknya untuk melawan bapaknya. Kemudian, anak dengan ayah yang berpoligami akan kebingunan kemana ia akan loyal karena ibunya lebih dari satu. Bentuk lain adalah stigma anak istri tua dan anak istri muda. Anak dari istri yang muda dianggap lebih lemah posisinya ketimbang anak dari istri pertama, terutama dalam pembagian harta gono-gini sepeninggal suaminya.

Topik poligami pada bab 2 ini dijelaskan dengan sangat rinci dan baik. Tulisan ini sangat menambah informasi dan wawasan pengulas mengenai poligami, bahwa perempuan cenderung selalu berada dalam posisi yang inferior terhadap laki-laki. Wawasan ini juga dapat menjadi bekal pengulas jika berhadapan dengan seseorang yang pro terhadap poligami tanpa ada alasan yang kuat dengan memakai embel-embel agama untuk melegitimasinya.

 Pada bab terakhir yaitu tentang perempuan, Islam, dan Negara merupakan gambaran yang sangat baik mengenai gerakan perempuan dalam pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Dituliskan bahwa dengan seiring berjalannya waktu, pemikiran-pemikiran progresif untuk menggerakkan dan menaikkan derajat perempuan di Indonesia mulai bermunculan seiring dengan ide gerakan kebangkitan nasional.

Dalam kongres Perempuan 1928, organisasi Walfadjri melontarkan pemikiran yang sangat maju pada masanya, yakni tentang perlunya pembaruan hukum-hukum perkawinan dalam Islam, misal tentang hak cerai bagi perempuan, usia nikah perempuan, perlindungan laki-laki terhadap keluarga, dan sebagainya. Organisasi ini juga membela para perempuan yang berambut pendek yang pada masa itu tidak lazim bagi perempuan muslim karena dipandang mirip dengan laki-laki.

Masih dalam kurun waktu yang sama, Agus Salim, dalam kongres Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1925 di Yogyakarta menyampaikan ceramah berjudul "tentang pemakaian kerudung dan pemisahan perempuan". Dalam isi ceramahnya ia menyampaikan bahwa masyarakat Islam mempunyai kecenderungan memisahkan perempuan di wilayah publik dan menempatkannya di pojok-pojok ruangan, misalnya di masjid-masjid atau dalam rapat-rapat dengan kain putih yang disebut hijab. Tindakan itu mereka anggap sebagai ajaran Islam, padahal menurut Salim, praktik tersebut adalah tradisi Arab dimana praktik yang sama dilakukan oleh agama Nasrani maupun Yahudi. Karena itu, menurutnya, umat Islam hendaknya mempelajari Islam secara benar agar memahami makna yang terkandung didalamnya.

Dalam perkembangan berikutnya, yakni akhir 1980-an dan awal tahun 1990-an, pemikiran pembaruan Islam tidak berhenti dalam dataran wacana, melainkan terimplementasi dalam bentuk gerakan sosial. Dari pendekatan transformasi sosial yang dikembangkan oleh Masdar F. Masudi P3M lahirlah tokoh-tokoh pesantren yang menjadi pionir ditengah-tengah masyarakatnya dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Sebut saja Kiai Hussein Muhammad, pengurus Pondok Pesantren Daarut Tauhid yang mengembangkan pemberdayaan perempuan di pesantrennya.

Pesantren lain yang mengembangkan pemberdayaan perempuan adalah Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. Melalui Ida Nurhalida Ilyas, puteri K.H Muhammad Ilyas Ruhiat, mantan Rais Am syuriah PBNU (1994-1999), pesantren ini menekankan pendidikannya dengan perspektif keadilan gender.

Perspektif keadilan gender yang diadopsi oleh kelompok perempuan dalam lembaga-lembaga swadaya dan organisasi berbasis massa Islam tersebut memungkinkan mereka bersentuhan dan bekerja sama dengan gerakan perempuan sekuler. Isu yang diangkat adalah subordinasi, marginalisasi, dan pemiskinan terhadap perempuan yang harus diperjuangkan bersama dan harus didesakkan solusinya menjadi kebijakan negara.

Pada topik ini juga dijelaskan dengan baik oleh penulis bagaimana setelah Soeharto lengser, berbagai isu yang telah diperjuangkan sejak tahun 1980-an, mulai diakomodasi dengna dibentuknya Komnas Peremuan, dan ketika saat Abdurrahman Wahid terpilih, berbagai isu yang diperjuangkan gerakan perempuan mulai diadopsi menjadi kebijakan negara. Salah satu perubahan kebijakan tersebut adalah adanya perubahan kata "peranan wanita" menjadi "pemberdayaan perempuan". Perubahan tersebut merupakan konsekuensi dari dipergunakannya perspektif gender yang menitikberatkan pada pendeketan pemberdayaan dengan menggali aspirasi-aspirasi dari bawah dan bukan menjalankan program yang dirumuskan dari atas. Perubahan di atas diikuti dengan perubahan nama kementerian perempuan dari  "Menteri Peranan Wanita" menjadi "Menteri Pemberdayaan Perempuan".

Sebagai penutup, pengulas akan memberikan beberapa penilaian terhadap buku ini. Dari segi bobot bahasa yang digunakan, pengulas memberikan nilai yang sangat baik. Penggunaan bahasa sangatlah mudah untuk dipahami tanpa ada ejaan-ejaan tertentu. Bobot materipun demikian, buku ini sangatlah ringan untuk dibaca dalam waktu senggang. Ringan dibaca bukan berarti minim akan informasi didalamnya. Dengan jumlah 200 halaman, menurut saya sebagai pengulas, buku ini dapat memberikan wawasan yang cukup luas mengenai kedudukan perempuan di dalam masyarakat Indonesia dan bagaimana usaha-usaha untuk memberikan keseimbangan kedudukan terhadap perempuan baik dalam beragama, berkehidupan, dan bernegara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun