Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fillippe, Supir Brasil yang Suka Indonesia

6 Juli 2014   16:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:16 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14046141161818067551

Pesawat sudah mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional Antônio Carlos Jobim. Tapi jam di ponsel belum kunjung berubah otomatis ke waktu lokal. Saya coba lagi mencocokkan jam dengan waktu yang tertera di layar: 14.25.

Yup, ada jeda waktu cukup lama antara Indonesia dan Brasil. Negara terbesar di benua Amerika Latin ini tertinggal 10 jam dari negara kita. Hari ini, Sabtu, 5 Juli 2014, udara di kota Rio cerah, suhunya mirip seperti Jakarta dalam cuaca normal.

Tapi sebenarnya bukan soal perbedaan waktu yang saya pikirkan. Saya cukup khawatir saat mas Adi dari Harian Kompas memberitahukan bahwa tidak ada yang datang ke bandara untuk menjemput. Jadi saya diminta untuk naik taksi langsung ke lokasi tempat tinggal seperti tertera di SMS.

Kesan pertama saya saat tiba di negara ini, Brasil kurang lebih sama dengan Indonesia. Sama-sama masih menyandang negara berkembang. Bandara internasional Rio tidak lebih megah dari Bandara Soekarno-Hatta. Sehingga yang ada di pikiran saya adalah, bandara ini juga dipenuhi dengan taksi dan angkutan liar yang hobi nembak harga.

Wah, berabe juga nih. Atau kalau pun dapat taksi argo, bisa-bisa saya diajak tawaf keliling kota sehingga argonya membengkak.

Masalah lainnya, jujur saya tidak punya bekal bahasa Portugis sama sekali. Dan untuk ukuran kota wisata, belum banyak penduduk lokal yang berbicara bahasa Inggris. Itu yang membuat saya khawatir. Tapi dalam obrolan lebih lanjut via SMS, mas Adi meyakinkan bahwa di sini hanya ada satu merek taksi. “Semua warna kuning dan pake argo,” jelasnya.

Begitu melewati pemeriksaan bagasi, saya sempat merapat ke loket taksi-bayar-di muka untuk tanya-tanya harga. Maksudnya untuk mengetahui patokan harga dari bandara ke Rua Cisconde de Santa Isabel. “88 Reas,” kata wanita penjaga kios sambil memperlihatkan angka di kalkulator. Maklum, bicaranya pakai bahasa isyarat.

Saat keluar bandara, seorang pria menawarkan jasa taksi, tapi saya tidak mau ambil risiko dan menolaknya. Lalu di ujung sana ada rombongan supir taksi bersiap menyambut. Bismillah, saya langsung menyerahkan barang-barang ke si supir berperawakan tinggi besar.

Dan saya beruntung sekali. Fillippe, sang supir taksi, adalah warga Brasil yang pernah tinggal beberapa bulan di Jakarta sekitar tahun 2006 saat dia masih bekerja di kapal pesiar. “Oh, I had many friend from Indonesia. In Jakarta and Bali,” katanya, mengawali perbincangan hangat sepanjang perjalanan.

[caption id="attachment_314221" align="aligncenter" width="504" caption="Fillippe selalu memantau perkembangan Piala Dunia dan menyaksikan pertandingan dari ponsel mungil yang dipasang di mobilnya. (iskandarjet)"][/caption]

Dia pun menceritakan pengalaman dan kesan terhadap Indonesia. Mulai dari keindahan Bali, sampai kemacetan parah yang dia alami selama tinggal di Jakarta. “Dan sekarang malah bertambah parah,” timpal saya. Fillipe lalu menguji hapalan kosakata Indonesianya. Seperti nasi goreng, jendela, saya cinta kamu, dan lainnya.

Saya mendadak lupa sedang berada di Brasil dengan segala pemberitaan kriminalitasnya. Paling tidak, pengalaman pertama tiba di Rio sungguh berkesan. Atas keramahan Filippe sepanjang perjalanan dari bandara ke apartemen di kawasan Vila Isabel.

Tak terasa, setelah menempuh perjalanan satu jam, pria yang sudah memiliki seorang putra itu menepikan kendaraannya di deretan apartemen. Setelah dia mencocokkan nomor apartemen dengan SMS di ponsel, dengan menurunkan barang-barang bawaan saya.

Saya pun mengucapkan terima kasih, melebihkan bayaran argo, lalu tak lupa meminta nomor teleponnya (tapi sayang gak kepikiran foto bareng).


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun