Dua kampus lain yang menerima ijazah Gontor adalah Universitas Islam Antarbangsa Malaysia (IIUM) sejak tahun 1983, dan University of the Punjab (PU), Lahore, Pakistan, sejak 1991.
Pemerintah Indonesia sendiri baru mengakui ijazah Gontor pada tahun 1998 (Depag) dan 2000 (Diknas). Artinya, pengakuan dari dalam negeri keluar selang 15 tahun setelah negara tetangga Malaysia memberikan pengakuan atas kualitas pendidikan dan pengajaran buatan anak bangsa. Dibandingkan dengan Mesir yang ada nun jauh di sana, jarak waktunya berpaut hingga 41 tahun!
Tapi, meskipun sudah diakui oleh Pemerintah Indonesia, alumni Gontor, sama dengan nasib siswa Indonesia lulusan sekolah internasional, tetap tidak bisa melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi negeri lantaran adanya syarat nilai UN dalam seleksi penerimaan mahasiswa di kampus plat merah. Berbeda dengan sebagian besar perguruan tinggi swasta yang tidak menjadikan Ujian Nasional sebagai simbol kelayakan menjadi mahasiswa.
Jawaban
Jadi, menjawab pertanyaan pertama di atas, Gontor tidak mengikuti Ujian Nasional karena kurikulumnya memang berbeda dengan Kurikulum Nasional. Kalau ada yang mempertanyakan kualitas kurikulum dan sistem pendidikan di pondok ini, silakan tanyakan ke pemerintah Mesir, pemerintah Arab Saudi, kampus IIUM di Malaysia dan kampus PU di Pakistan.
Faktanya, banyak lembaga pendidikan yang berafiliasi ke kurikulum ala Gontor. Selain hampir 200 pesantren yang didirikan oleh alumni Gontor, kurikulum yang dibuat oleh KH Imam Zarkasyi pada tahun 1936 ini juga digunakan oleh lembaga pendidikan lainnya. Bahkan, tidak sedikit pengelola pendidikan yang datang ke Gontor untuk mempelajari sistem pendidikan yang dipraktekkan di sekolah berasrama ini, termasuk lembaga pendidikan menengah dari luar negeri.
Misalnya, mengutip Website Gontor, 63 orang dari Jabatan Pengajaran Selangor, Malaysia, pernah berkunjung ke Gontor untuk melihat langsung pembelajaran dan pengajaran bahasa Arab, November 2012 lalu. "Harapan mereka, agar studi banding kali ini bisa memberi kontribusi yang signifikan dalam menghidupkan bahasa Arab di lembaga mereka secara khususnya dan Malaysia dalam skala besarnya," demikian Website Gontor.
Selanjutnya, menjawab pertanyaan kedua, Pemerintah Indonesia memberikan pengakuan karena Gontor memang sudah layak untuk diakui. Sejujurnya, yang paling berhak menjawab pertanyaan ini adalah orang-orang di Depag dan Diknas yang terlibat langsung dalam proses penerbitan SK akreditasi atas Gontor.
Tapi dari paparan yang saya tulis di sini, pertanyaan kedua sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dibuatkan argumentasinya. Atau, boleh jadi, negara ini terlalu serius memikirkan Ujian Nasional, sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengakui sistem pendidikan dan kurikulum yang dirintis para pendiri Gontor sejak 87 tahun lalu. Entahlah.
Catatan: Terima kasih buat teman-teman Kompasianer dan Gontor yang sudah urun-rembug dalam diskusi ini.
~~ikuti iskandarjet di facebook dan twitter~~ Sebelumnya:
- Di Gontor, Tidak Ada Ujian Nasional! (Bagian 1)
- Di Gontor, Tidak Ada Ujian Nasional! (Bagian 2)
- Galeri Foto di Gontor, Saat Tidak Ada Ujian Nasional (Bagian 3)