IMRON masih tak terima kabar yang menyatakan sahabatnya Dedi Haryanto meninggal dunia. Dia menapik semua isi berita yang masuk di grup Telegram. Â Sekalipun foto almarhum telah di share di grup tersebut.
"Jangan bercanda dengan maut seseorang. Yang menentukan maut seseorang hanya Gusti Allah. Dedy saudara kita, jangan dibuat isu seperti ini, " tulisnya di grup.
Bagi Imron, pria asal Sukadana, Â Lampung itu tak pernah mati. Dedy adalah semangat. Bintang terang dalam kegelapan. Tidak pernah sekalipun mengeluh ataupun bersedih. Cara berpikirnya melebihi rekan-rekan di kampus.
Buatnya becanda rekan-rekan kampusnya itu garing. Menodai nilai-nilai persekawanan, merusak persaudaraan, menginjak-injak persahabatan.
Imron baru mau menerima kepergian Yanto saat Hadji menulis kalimat pada laman facebook:
Selamat jalan sahabat, Â engkau lebih dari saudara bagiku, terimakasih atas canda, tawa, kegembiraan yang kau berikan selama ini. Semoga kelak kita berkumpul di surga Allah SWT. Amin
Imron secara tak sengaja membaca tulisan tersebut. Air mata tak bisa lagi dibendung. Ia menangis tersedu-sedu.
Rasanya belum lama, ia kehilang sahabat, Yaumil Fadhil. Sekarang kabar duka kembali menghampiri. Yanto telah menyusul Fadhil di surga. Seperti sair lagu Iwan Fals: satu persatu sahabat pergi dan tak kembali.
Imron menulis pesan pribadi di media sosial telegram kepada Hadji, Tom dan Hendry.
"Kapan kita ke Lampung, " tanyanya.
Jawaban yang diberikan ketiga sahabatnya itu variatif. Tom menyarankan di hari ke tujuh. Hadji mengusulkan di hari ke 100 agar bisa mengumpulkan uang terlebih dahulu. Sedangkan Hendry meminta kita berdoa dan membacakan Surat Yasin yang diniatkan untuk almarhum.
Imron tak bisa berbuat banyak karena memang tingkat ekonomi kita berbeda-beda. Â Tom menjadi pewarta di media online yang tak terlalu besar. Hadji baru saja mendapat pesangon dari tempat kerjanya yang tutup. Itupun dengan angka minimal.