Mohon tunggu...
Isidorus Lilijawa
Isidorus Lilijawa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Meneropong posibilitas...

Dum spiro spero

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketika Bupati Marahi Menteri

3 Juni 2021   07:27 Diperbarui: 3 Juni 2021   08:47 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasar Bukan NTT

Diskursus publik menyoroti juga 'keberanian' Bupati Alor menelanjangi staf Kemensos bahkan hingga mengalamatkan amarahnya pada Menteri Sosial. Jika kita dengar narasi di video yg viral itu, tambahan kata-kata kasar seperti 'bodok', makian *uki m*i, ancaman melempar kursi, adalah benar-benar luapan amarah yg luar biasa. 

Bupati tidak lagi berada dalam area 'keras' tetapi sudah menyeberangi zona 'kasar'. Ada yg memberikan apresiasi, sejatinya pemimpin mesti seperti itu: berani, tegas dan bisa keluarkan ancaman dan kata-kata kotor. Ada juga yg melegitimasi tindakan semacam itu sebagai made in NTT, kekhasan NTT yg tidak neko-neko, apa adanya.

Saya tidak sepakat. Kita orang NTT apalagi para pemimpin di NTT harus keras dalam prinsip tetapi mesti tetap lembut dalam cara penyampaian (fortiter in re, suaviter in modo). 

Tegas tidak selalu berarti keras. Orang NTT bukan orang kasar yg gampang mencaci maki apalagi terhadap tamu. Kita orang NTT boleh keras, blak-blakan, bicara apa adanya tetapi bukan kasar. Kita butuh pemimpin yg berani tetapi bukan pemimpin tukang ancam. Kita butuh pemimpin tegas tetapi bukan pemimpin bertipe kasar. Kita butuh pemimpin yg prinsipil namun bukan pemimpin yg suka menggunakan kata-kata kotor dan jorok di depan publik. 

Pemimpin di NTT boleh dan harus keras pada rakyatnya tetapi tidak boleh kasar pada rakyatnya. Pemimpin di NTT boleh tegas pada tamunya tetapi pantang 'menjorokinya' dgn caci maki. Anda tidak lebih hebat dari yg anda kasari. Anda tidak lebih sempurna dari yg anda caci maki. Karena itu, berpikirlah sebelum bicara. Jangan kecepatan bicara dan akselerasi emosi melonjak beberapa meter di depan kecepatan berpikir anda, wahai pemimpin.

Berani Tak Cukup, Beretiket Penting

Cukup banyak reaksi publik yg kontra terhadap aksi sang Bupati. Beberapa argumentasi: tindakan itu memalukan orang NTT, tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin, pemimpin tidak beretika, sombong, merendahkan orang lain, tindakan yg tidak patut ditiru. 

Publik cukup heran, apakah tidak ada cara yg lebih santun dan bermartabat yg seharusnya dilakukan sang Bupati untuk menyikapi persoalan itu? Mengapa tidak secara 'gentle' sang Bupati langsung bertemu Menteri Sosial dan memarahi sang Menteri face to face? Apakah ada nyali? Ataukah sekadar mau 'unjuk rasa' di hadapan para staf yg memang juga turun ke lapangan karena 'ikut perintah'?

Keberanian Bupati Alor sirna dan gugur karena serentak kehilangan etika. Tidak wajar dan tidak pantas seorang Bupati mengeluarkan ancaman dan kata-kata kotor di hadapan tamunya. Mungkin saja Bupati di posisi benar. Tetapi dgn melakukan hal-hal yg tidak pantas itu, disposisinya menjadi tidak benar. Ini seperti meraih tujuan tapi halalkan cara. 

Saya kadang-kadang membatin, apakah marah, ancam, caci maki ini adalah pola lama sehingga tidak menemukan pola baru yg lebih santun, bermartabat dan humanis?

Bupati Alor mungkin saja bakal dikenang sebagai Bupati yg bisa memarahi Menteri. Tetapi pengenangan itu sekaligus menelanjangi dirinya sendiri oleh ketakpantasan-ketakpantasan yang pantang dilakukan seorang pemimpin. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun