Mohon tunggu...
Isharyanto Solo
Isharyanto Solo Mohon Tunggu... Penulis

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rantai dingin pangan sebagai Infrastruktur Kesejahteraan

15 Oktober 2025   15:45 Diperbarui: 15 Oktober 2025   15:45 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Persoalan kebijakan pangan di Indonesia sering tampak paradoksal: ketika sawah melimpah, pasar justru kekurangan. Sebagian besar hasil panen rusak di perjalanan sebelum mencapai konsumen. Tomat membusuk di gudang, daging kehilangan suhu aman di truk, ikan busuk di pelabuhan---semuanya karena rantai dingin tidak bekerja. Persoalan pangan di negeri ini bukan kekurangan produksi, melainkan kegagalan menjaga nilai dari apa yang telah diproduksi. Sistem pangan kita rapuh bukan karena petani malas, tetapi karena negara belum melihat infrastruktur penyimpanan dan distribusi sebagai bagian dari jaminan kesejahteraan publik. Di dunia yang diatur oleh suhu, ketiadaan pendingin berarti ketiadaan keadilan. Dan jika negara hanya menilai keberhasilan pangan dari berapa ton hasil panen, ia menutup mata terhadap berapa banyak yang busuk sebelum sempat dimakan.

Peter Allen dalam Together at the Table: Sustainability and Sustenance in the American Agrifood System menulis bahwa pangan adalah cermin dari tatanan sosial. Bagi Allen, sistem pangan yang berkelanjutan hanya mungkin bila produksi, distribusi, dan konsumsi disusun sebagai ekosistem moral---bukan sekadar mekanisme ekonomi. Gagasan ini berkelindan dengan Michael Altieri dalam Ecological Impacts of Industrial Agriculture and the Possibilities for Truly Sustainable Farming, yang menolak gagasan efisiensi buta dalam pertanian industri. Altieri menegaskan bahwa sistem pangan yang sehat harus kembali ke akar ekologisnya: menghubungkan manusia dengan tanah, teknologi dengan keanekaragaman hayati, dan pasar dengan nilai-nilai lokal. Bila dua pemikiran itu diletakkan di atas konteks Indonesia, maka rantai dingin tidak lagi sekadar teknologi penyimpanan, melainkan instrumen etis untuk menjembatani hasil kerja petani dengan hak gizi masyarakat. Ia menjadi cara paling nyata untuk memanusiakan pangan.

Pandangan serupa kini mewarnai arah kebijakan pangan global. Laporan Initiatives in this thematic action area include actions on agroecology mencatat langkah banyak negara yang menata ulang sistem pangannya agar lebih tangguh dan berkeadilan. Belgia, Brazil, Uruguay, Tanzania, dan Zimbabwe telah mengembangkan kebijakan agroekologi nasional yang memadukan produksi lokal dengan konservasi tanah, air, dan energi. Burkina Faso dan Swiss merancang strategi agroekologi jangka panjang, sedangkan Uruguay mengintegrasikan rencana aksi yang menautkan pertanian regeneratif dengan distribusi berbasis komunitas. Ethiopia, Israel, dan Peru memperkuat lahan melalui pertanian regeneratif, sementara Denmark menjadikan One Health Strategy sebagai kebijakan nasional yang menghubungkan pangan, lingkungan, dan kesehatan publik. 

Di Asia, Jepang dan Korea Selatan memperbaiki efisiensi pupuk dan memperluas penggunaan bahan organik sebagaimana dilakukan Bangladesh dan Bhutan. Setengah dari negara-negara dalam laporan tersebut kini secara terbuka mengakui bahwa ketahanan pangan adalah bagian dari adaptasi terhadap perubahan iklim---menyentuh restorasi lahan, pengelolaan air, hingga kesehatan tanah. Arah ini jelas: pangan bukan semata hasil pertanian, tetapi sistem kehidupan yang harus dijaga stabilitas ekologinya.

Ketika praktik global bergerak ke arah integrasi semacam itu, persoalan di Indonesia tampak lebih mendasar: bukan pada produktivitas, melainkan pada desain kelembagaan. Banyak kebijakan pangan berhenti di permukaan karena gagal menciptakan insentif yang membuat sistem bekerja. Douglas North dalam Institutions, Institutional Change, and Economic Performance menyebut bahwa institusi bukan hanya soal aturan, melainkan sistem insentif yang membentuk perilaku. Aturan yang baik tanpa insentif yang tepat hanya melahirkan kebiasaan buruk yang dilembagakan. Dalam konteks pangan, sistem pengadaan berbasis radius dengan pembayaran digital tertutup dapat menjadi bentuk konkret dari gagasan North: uang publik mengalir langsung ke pemasok lokal, tanpa perantara, dengan catatan mutu dan transaksi yang dapat dilacak. 

Model ini menggabungkan efisiensi fiskal dengan moralitas distribusi---memastikan bahwa belanja negara ikut menumbuhkan ekonomi rakyat. Jepang dan Korea Selatan sudah mempraktikkan logika serupa melalui reformasi subsidi yang mengarahkan dana langsung ke petani kecil, mengurangi kebocoran sekaligus memperkuat kemandirian lokal. Di sinilah efisiensi berubah makna: bukan sekadar penghematan, tetapi pembebasan nilai ekonomi dari rantai panjang yang tidak produktif.

Paul Burch dan Geoffrey Lawrence dalam Supermarkets and Agri-food Supply Chains: Transformations in the Production and Consumption of Foods menggambarkan situasi ini sebagai bagian dari third food regime---fase baru dalam politik pangan global, di mana kekuasaan tidak lagi sepenuhnya di tangan korporasi, tetapi mulai ditentukan oleh arah kebijakan publik. Negara yang cerdas bukan lagi sekadar wasit, melainkan kurator ekosistem pangan. Dengan menata ulang distribusi dan memperpendek rantai pasok melalui sistem lokal seperti kontrak radius, negara sebenarnya sedang membangun bentuk baru kedaulatan pangan mikro. Rantai dingin dalam kerangka ini menjadi medium antara ekonomi dan etika, antara kebijakan fiskal dan keberlanjutan ekologis. Ia menyalurkan gizi, menstabilkan harga, dan menjaga uang berputar di sekitar sumber produksi rakyat. Dengan cara itu, kebijakan pangan menjadi politik kesejahteraan dalam bentuk paling konkret.

Tracy Lang dan Martin Heasman dalam Food Wars: The Global Battle for Mouths, Minds and Markets menulis bahwa konflik pangan dunia sesungguhnya adalah pertarungan ideologis: antara mereka yang melihat pangan sebagai komoditas dan mereka yang menganggapnya sebagai hak sosial. 

Bila Indonesia terus menempatkan pangan sebagai komoditas, maka rantai dingin hanya akan menjadi proyek industri baru, melanjutkan ketimpangan yang sama dengan kemasan yang lebih modern. Namun jika pangan dipahami sebagai hak sosial, maka rantai dingin berfungsi sebagai penyeimbang: memastikan yang ditanam rakyat kecil tetap sampai ke meja masyarakat luas dalam keadaan layak. Di sinilah kebijakan pangan bergeser dari urusan produksi menuju keadilan. Keberhasilan tidak lagi diukur dari berapa banyak yang dihasilkan, melainkan dari seberapa kecil yang terbuang dan seberapa merata gizi yang tersedia.

Contoh konkret dapat dilihat pada Uruguay dan Swiss. Kedua negara tersebut tidak memisahkan kebijakan pangan dari kebijakan sosial. Mereka menganggap fasilitas pendingin, kendaraan berpendingin, dan sistem penyimpanan berenergi rendah sebagai bagian dari perlindungan sosial dasar, sama pentingnya dengan pendidikan atau kesehatan. Pendekatan ini sejalan dengan arah agroekologi global yang menekankan ketahanan ekosistem sebagai syarat ketahanan pangan. Indonesia dapat meniru langkah itu dengan membangun rantai dingin berbasis wilayah---melibatkan pemerintah daerah, koperasi, dan perusahaan logistik lokal---dengan dukungan pembiayaan campuran antara dana publik dan insentif fiskal. Program pengadaan pangan untuk sekolah dan panti sosial seharusnya diarahkan untuk memperkuat jaringan penyimpanan dan transportasi, bukan sekadar belanja bahan. Dengan langkah semacam itu, kebijakan pangan akan berubah dari sekadar transaksi menjadi investasi sosial jangka panjang.

Maka menjadikan rantai dingin sebagai infrastruktur kesejahteraan berarti mengubah cara kita memahami pangan itu sendiri. Ia bukan lagi sekadar barang yang harus tersedia, melainkan hak yang harus dijaga dari pembusukan, ketimpangan, dan ketidakadilan. Ia mengikat kembali teknologi, ekonomi, dan etika publik dalam satu sistem yang menyehatkan. Dalam dunia kebijakan yang kerap kehilangan arah moral, rantai dingin memberi pelajaran sederhana: bahwa menjaga suhu bisa berarti menjaga nilai hidup. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun