Sudah menjadi keluhan umum bahwa banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak siap kerja. Dunia industri menuntut keterampilan praktis, kemampuan berkolaborasi, dan kecepatan beradaptasi, sementara kampus masih berkutat pada teori, diskusi kelas, dan tugas akademik. Perbedaan irama ini melahirkan generasi sarjana yang disebut "gagap industri"---berilmu di atas kertas, tapi canggung di lapangan. Pandangan ini kini menjadi semacam konsensus: pendidikan tinggi dianggap tertinggal dari kebutuhan pasar. Maka muncullah berbagai dorongan agar universitas lebih "relevan," dengan menyesuaikan kurikulumnya pada tuntutan industri dan menyiapkan lulusan yang siap kerja sejak hari pertama.
Namun di tengah derasnya arus tuntutan itu, ada pertanyaan yang mungkin tak nyaman diucapkan: apakah benar tujuan utama perguruan tinggi adalah mencetak tenaga siap pakai untuk industri? Apakah pendidikan harus tunduk sepenuhnya pada logika pasar yang selalu berubah, atau justru berdiri sedikit di luar untuk menjaga jarak kritis terhadapnya? Pertanyaan ini penting diajukan bukan untuk menolak praktik dunia kerja, melainkan untuk menimbang apakah adaptasi pendidikan terhadap pasar masih berlandaskan pada cita-cita membentuk manusia berpengetahuan, atau sekadar memproduksi pekerja yang patuh pada sistem.
Mari kita bahas.
Jika kita menengok sejarahnya, universitas sejak awal bukan dirancang sebagai pabrik tenaga kerja. Ia adalah ruang pembentukan nalar, tempat manusia belajar berpikir secara sistematis, menguji ide, dan memahami kompleksitas dunia. Seorang lulusan yang "tidak langsung siap kerja" bukan berarti gagal, melainkan sedang melewati masa transisi dari berpikir konseptual menuju penerapan praktis. John Dewey, filsuf pendidikan asal Amerika Serikat, pernah menulis bahwa pendidikan seharusnya melatih cara berpikir kritis agar manusia mampu menilai dunia, bukan sekadar menyesuaikan diri dengannya. Jika universitas hanya berfungsi mengikuti kebutuhan industri, maka pendidikan kehilangan makna emansipatorisnya---kemampuannya membebaskan pikiran dari rutinitas ekonomi jangka pendek.
Kita juga perlu hati-hati dengan istilah "keterampilan praktis." Industri kerap mendefinisikannya secara sempit: kemampuan teknis yang bisa diukur, diajarkan cepat, dan langsung menghasilkan nilai ekonomi. Padahal, keterampilan yang paling dibutuhkan dalam masyarakat modern justru bersifat reflektif---kemampuan membaca situasi, memahami hubungan sebab-akibat, dan memecahkan masalah baru. Nilai dari kemampuan semacam ini tidak langsung tampak di awal karier, tetapi menjadi fondasi bagi inovasi dan kepemimpinan di masa depan. Banyak penemuan besar, baik dalam teknologi maupun kebijakan publik, lahir dari orang-orang yang awalnya "tidak sesuai kebutuhan pasar" namun memiliki kebebasan berpikir dan daya ingin tahu yang tinggi.
Terlalu menekankan penyesuaian kurikulum pada pasar kerja juga berisiko menjerumuskan pendidikan ke dalam logika utilitarian, yakni menilai segala sesuatu dari manfaat ekonominya semata. Dalam pandangan ini, ilmu sastra, filsafat, atau antropologi akan tampak "tidak berguna" karena tidak langsung menghasilkan pekerjaan tertentu. Padahal disiplin ilmu semacam itulah yang menanamkan kepekaan sosial, empati, dan kemampuan berpikir lintas batas---unsur yang justru membentuk karakter profesional sejati. Pendidikan yang kehilangan ruang refleksi akan melahirkan tenaga kerja yang efisien tapi miskin imajinasi.
Selain itu, pasar kerja sendiri bukan entitas yang netral. Ia bergerak mengikuti kepentingan modal dan teknologi, yang sering kali berubah lebih cepat daripada kemampuan manusia beradaptasi. Jika universitas terus-menerus mengejar relevansi industri, maka ia akan selalu berada satu langkah di belakang. Pendidikan tinggi seharusnya menjadi ruang antisipasi, bukan reaksi. Ia perlu mendidik mahasiswa agar mampu belajar ulang, bukan sekadar menguasai satu keterampilan yang segera usang. Dalam teori lifelong learning (pembelajaran sepanjang hayat), keberhasilan pendidikan bukan diukur dari kesiapan kerja saat lulus, melainkan dari kemampuan seseorang untuk terus belajar sepanjang hidupnya.
Kita mungkin perlu mempertimbangkan bahwa ketidaksesuaian antara kampus dan industri bukan sepenuhnya kegagalan pendidikan, melainkan tanda adanya perbedaan fungsi. Dunia kerja berorientasi pada produksi dan efisiensi, sementara universitas berorientasi pada pencarian makna dan pengetahuan. Keduanya seharusnya saling melengkapi, bukan menundukkan yang satu pada yang lain. Jika universitas sepenuhnya mengikuti industri, maka ia kehilangan perannya sebagai tempat berpikir bebas yang justru menjadi sumber ide baru bagi kemajuan industri itu sendiri.
Mungkin yang kita butuhkan bukan kampus yang "siap kerja," tetapi kampus yang "siap berpikir." Sebab dunia kerja yang terus berubah lebih membutuhkan manusia yang mampu belajar daripada manusia yang sekadar bisa bekerja. Dan mungkin dari sanalah justru lahir daya tahan intelektual bangsa: dari keberanian untuk tidak selalu menjadi yang paling praktis, tetapi tetap berpikir jernih di tengah tuntutan efisiensi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI