Transformasi digital di Indonesia memang sudah jadi pembicaraan di mana-mana. Semua ingin cepat, semua ingin efisien, semua ingin digital. Tapi, seperti biasa, di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Negara sudah mengeluarkan Perpres No 82 Tahun 2023. Saya membaca dokumen itu, isinya jelas: negara ingin semua layanan digital terintegrasi, tidak lagi jalan sendiri-sendiri.Â
Tapi, kemarin saya membaca data Kominfo (2024), ternyata jumlah aplikasi layanan publik kita sudah lebih dari 27.000. Banyak sekali. Tidak heran masyarakat bingung. Mau urus KTP, aplikasi A. Mau urus BPJS, aplikasi B. Mau urus izin usaha, aplikasi C, D, E, sampai Z. Padahal, semangat Perpres itu satu: satu data, satu pintu, satu layanan.
Masalahnya bukan di niat. Negara sudah punya niat. Masalahnya ada di ego sektoral. Setiap kementerian dan lembaga merasa aplikasinya paling penting. Ini bukan rahasia. Saya pernah membaca headline Kompas (2023): "Tumpang Tindih Aplikasi Hambat Layanan Publik Digital." Semua tahu, tapi semua juga belum rela melepas "kekuasaan" aplikasi masing-masing.
Dari sisi hukum, fondasi kita sebenarnya sudah ada. Ada Undang-Undang ITE, ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, ada sandbox OJK untuk fintech.Â
Tapi aturan-aturan itu kadang seperti lampu lalu lintas di simpang padat: satu hijau, satu merah, satu kuning berkedip.Â
Saya pernah membaca dokumen resmi Kementerian PANRB (2024) yang mengakui, harmonisasi regulasi memang masih jadi pekerjaan besar. Satu aturan baru lahir, yang lama tidak dicabut. Akhirnya, pelaku usaha bingung.Â
Ikut yang mana? Maka, lahirlah ide Pusat Inovasi Digital---semacam dapur besar yang menguji semua resep aturan sebelum benar-benar dihidangkan.
Pusat Inovasi Digital. Nama yang terdengar modern, tapi jangan-jangan hanya jadi jargon baru di tengah tumpukan aplikasi lama. Saya membaca Perpres No 82 Tahun 2023, negara memang sudah menegaskan perlunya percepatan transformasi digital dan keterpaduan layanan digital nasional.Â
Tapi, di lapangan, aplikasi pemerintah masih seperti pasar malam: ramai, tumpang tindih, dan kadang membingungkan. Data Kominfo tahun lalu bilang, jumlah aplikasi layanan publik sudah lebih dari 27.000. Terlalu banyak untuk negara yang ingin serba efisien (lihat Kominfo, 2024).
Lalu, apa sebenarnya posisi Pusat Inovasi Digital dari sisi hukum dan kebijakan? Saya pernah membaca analisis yang menarik di jurnal Puskapkum (2023). Di sana dijelaskan, salah satu tantangan terbesar digitalisasi di Indonesia adalah ketidaksiapan perangkat hukum yang benar-benar adaptif dengan karakter digital yang disruptif.Â
Hukum kita masih sering mengejar, bukan mengantisipasi. Padahal, karakter digital itu selalu bergerak lebih cepat---dan sering melahirkan praktik disruptif yang tidak bisa dijawab dengan aturan lama. Di sinilah pentingnya PID: bukan sekadar tempat ngumpulnya programmer, tapi laboratorium kebijakan hukum digital yang punya visi disruptif.Â
PID harus bisa jadi dapur tempat aturan-aturan baru diuji, disesuaikan dengan realitas digital, dan siap menghadapi perubahan yang serba cepat.
Saya juga membaca Peraturan OJK No 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan. Di sana, OJK menekankan pentingnya keseimbangan antara inovasi dan mitigasi risiko, perlindungan konsumen, serta koordinasi pengaturan antarotoritas. Pengawasan berbasis risiko dan tata kelola yang andal jadi prinsip utama.Â
Ini menarik, karena PID seharusnya mengambil peran serupa: jadi clearing house, memastikan inovasi digital tidak liar tanpa pengawasan, tapi juga tidak mati karena aturan yang terlalu kaku (lihat POJK 3/2024).
Kebijakan digital nasional juga bicara soal integrasi. Pemerintah sudah membentuk INA Digital, di bawah PERURI, untuk mengoordinasikan keterpaduan layanan digital yang selama ini tercecer di ribuan aplikasi kementerian dan daerah.Â
Tugasnya jelas: memastikan layanan digital pemerintah benar-benar terpadu dan mudah diakses masyarakat, tanpa proses berbelit, sesuai arahan Presiden (lihat Menpan.go.id, 2024). Ini bukan sekadar soal teknologi, tapi soal keberanian membongkar ego sektoral yang selama ini jadi tembok besar.
Implementasi Perpres ini jelas bukan urusan seremoni. Komunikasi lintas instansi harus benar-benar jalan. Forum diskusi jangan cuma jadi ajang selfie. Tim Koordinasi SPBE Nasional memang sudah ada. Tugasnya: selaraskan kebijakan, kawal implementasi, laporkan progres. Tapi saya membaca laporan evaluasi SPBE (2024), koordinasi sering macet di tengah jalan.Â
Ego sektoral lagi-lagi jadi penghambat.
Rasionalisasi aplikasi ini jadi PR abadi. Pemerintah sudah mulai integrasi lewat INA Digital. Tapi, saya membaca laporan tahunan BSSN (2024), keamanan siber masih jadi titik rawan. Tahun lalu, lebih dari 300 juta serangan siber ke sistem pemerintah. Perlindungan data pribadi juga masih bocor di sana-sini.Â
Standar keamanan seperti ISO 27001 memang sudah jadi patokan, tapi penegakannya masih banyak bolong.
Strategi keamanan siber nasional sebenarnya sudah lengkap di atas kertas. Penguatan tata kelola, kolaborasi lintas sektor, kerja sama pelatihan dengan Google dan Microsoft---semua sudah ada. Saya membaca laporan Kominfo (2024), pelatihan dan kerja sama internasional terus digalakkan. Tapi, masalahnya tetap sama: konsistensi. Banyak kebijakan bagus, tapi pelaksanaannya sering cuma setengah hati.
Negara perlu belajar dari luar. Singapura, misalnya, punya satu otoritas keamanan siber. Komandonya jelas. Indonesia? BSSN sudah di rel yang sama, tapi masih butuh dorongan politik yang lebih kuat.Â
Evaluasi berkala harus jadi budaya, bukan sekadar formalitas.
Akhirnya, PID bukan hanya soal ruang fisik atau proyek teknologi. Ia adalah simbol keberanian negara untuk hadir di tengah perubahan. Negara harus berani menguji, mengoreksi, dan memperbaiki aturannya sendiri.Â
Kalau PID benar-benar dijalankan dengan visi hukum yang disruptif dan kebijakan yang adaptif, Indonesia tidak akan lagi jadi penonton di tengah revolusi digital.Â
Tapi kalau hanya jadi label, ya, kita tahu sendiri akhirnya akan ke mana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI