Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

TVRI, dari Media Populer ke Pelayan Pemerintah

25 Mei 2013   15:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:03 1977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1369486973521827058

[caption id="attachment_263511" align="aligncenter" width="393" caption="http://www.rnw.nl/"][/caption]

Apa yang diingat dari TVRI? Saya yang lahir dalam kejayaan Orde Baru dan mulai melek politik 4-5 tahun sebelum Soeharto mengundurkan diri berkesimpulan: TVRI adalah media pemerintah yang mengemban misi propaganda dan penerangan untuk mengarahkan rakyat menerima dan mendukung langkah-langkah pemerintah. Siaran TVRI, yang mulai bersaing dengan televisi swasta sejak tahun 1989, tertatih-tatih di tengah keterbatasan anggaran dan tuntutan kepuasan hiburan dari masyarakat.

Kesimpulan saya itu tentu berbeda jika saya berkesempatan tumbuh dan besar dalam dekade awal Orde Baru. Sebutlah di tahun 1970-1980. Pemerintah Orde Baru memperoleh “warisan” dari Soekarno, media penyiaran televisi yang dicita-citakan sang proklamator itu untuk “alat pembangunan bangsa, revolusi, dan pembentukan manusia sosialis Indonesia.” Tapi Soekarno disingkirkan sebelum berkesempatan menterjemahkan visi itu dalam TVRI.

Sejak awal Orde Baru, pemerintah memberi perbedaan terhadap perlakuan media, khususnya antara radio dan televisi. Untuk radio, sejak pertengahan 1960-an mulai tumbuh siaran radio amatir non-RRI dan akhirnya diterima sebagai media penyiaran sejak Soeharto mengizinkan siaran radio swasta nasional pada tahun 1970. Sekurang-kurangnya, untuk sektor hiburan, masyarakat mempunyai banyak pilihan dibandingkan dengan siaran televisi. Namun untuk televisi, Soeharto hanya mengizinkan TVRI dan memonopoli program siaran publik.  Sejak menjadi penentu politik di negeri ini, Soeharto mengintegrasikan TVRI sebagai alat pemerintah dan menempatkannya sebagai salah satu binaan Departemen Penerangan. Lembaga TVRI segera saja diberi beban untuk “memberi penerangan kepada masyarakat tentang program-program pemerintah demi tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila”, demikian sebagian bunyi Keputusan Menteri Penerangan No. 34/1966.

Di tengah iklim ekonomi yang sulit dan ketergantungan modal pembangunan dari investasi asing, maka terciptalah kondisi yang tidak mendorong lahirnya televisi di luar TVRI. Tetapi siapapun yang menyaksikan Orde Baru sampai 15 tahun pertama dikaitkan dengan televisi, akan mempunyai pendapat berbeda. TVRI jelas media pemerintah, tetapi TVRI tidak bergaya sebagai juru penerang. Ini terjadi dalam tahun 1970-1980.

Dalam masa itu, TVRI tampak diberi kelonggaran sebagai stasiun pemerintah dengan isi yang lebih berorientasi pada penyajian hiburan dan lebih mandiri dengan memperoleh pemasukan daana utama dari iklan. Baru selama 17 tahun sesudahnya, TVRI diposisikan sebagai media propaganda pemerintah untuk mendukung rezim yang berkuasa. Karena berstatus sebagai Yayasan, maka pada 1970-1980, TVRI memeliki kebebasan keuangan karena berhak mengumpulkan dan membelanjakan uang tanpa pertimbangan apapun dari pemerintah. Sebuah data menunjukkan (Ishadi, 1982) bahwa pemasukan dari sektor periklanan mencapai lebih dari 51% pendapatan TVRI. Perusahaan-perusahaan asing yang memproduksi barang-barang konsumsi segera menangkap peluang untuk menjadi motor utama yang menggerakkan dunia periklanan di Indonesia. Jadilah, 73% iklan di TVRI merupakan iklan produk impor sementara hanya 27% yang memperdagangkan barang produk domestik. Perlu dicatat, selain iklan, TVRI masih memperoleh subsidi dari pemerintah dan berhak memungut iuran televisi dari masyarakat. Pegawai TVRI saat itu memperoleh pendapatan di atas rata-rata PNS karena tidak tunduk kepada struktur penggajian pegawai negara.

Tidak pelak, TVRI menjadi media idola masyarakat. Siaran televisi saat itu didominasi oleh tayangan impor. Sampai tahun 1972, lebih dari  1/3 acara TVRI merupakan film dan hampir semua film adalah impor dan menggunakan dialog asing. Waktu siaran terbatas pukul 18.00-22.00. Pada pukul 18.00-19.00 biasanya ada acara film anak impor seperti Daktari, Jungle Jim, Popeye, Batman, Gentle Ben, da sebagainya, kemudian pada pukul 21.00-22.00 akan ditayangkan pula film dewasa impor seperti The Untouchables, Bonanza, Mission Impossible, The Avenger, Ironside, Dr. Kildare, dan sebagainya. Mayoritas film ini adalah film Amerika. TVRI juga bergaya Amerika dan Inggris dengan tayangan film, kuis, tarian, dan musik pop, agama, program memasak, dan peristiwa aktual. Tak berlebihan apabila masa itu TVRI tampil sebagai stasiun yang menghibur dan berorientasi keluar yang tampaknya memperhitungkan minat khalayaknya dengan tanggung jawab sebagai media pemerintah.

Sampai pertengahan tahun 1970-an, menyimak popularitas TVRI, sebuah tim yang dibentuk oleh Menteri Penerangan pada tahun 1973 menyimpulkan supaya daya jangkau siaran televisi diperluas dan untuk itu dipandang perlu Indonesia memiliki sistem satelit komunikasi domestik. Di samping itu, perlu memanjakan investor asing dengan infrastruktur komunikasi yang memadai dan secara politik efektif untuk mewujudkan doktrin Wawasan Nusantara. Sekalipun dinilai sebagai proyek mercusuar, akan tetapi gagasan itu spontan diterima Soeharto dan ia pun memberi nama satelit itu “Palapa.” Satelit ini diluncurkan pada tahun 1976 dan saat itu menempatkan Indonesia sebagai negara ke-4 di dunia yang mengelola satelit domestik setelah Amerika, Uni Soviet, dan Kanada. Satelit itu pun kemudian disewakan kepada negara ASEAN dan negara lain, termasuk Jepang.

Dan bagi TVRI, sekalipun awalnya tidak siap mengoperasikan sistem transmisi penyiaran dengan sateli itu, akan tetapi segera memperoleh manfaat. Dalam 4 tahun sesudahnya, TVRI mampu memperluas layanan televisi hingga hampir 5 kali wilayah yang terjangkau siaran pada 1975/1976. Jika pada 1976 tercatat ada 512 ribu pesawat televisi, pada 1980 jumlah itu sudah melonjak menjadi hampir 2,2  juta. Jika pada 1974, siaran televisi hanya menjangkau 3,16% wilayah Indonesia dan 93% wilayah Jawa,maka pada 1980/1981 sudah menjangkau 60% jumlah penduduk Indonesia dapat menikmati siaran televisi.  Sesudah peluncuran satelit Palapa, jumlah pesawat televisi di luar Jawa terdaftar meningkat 133% di Sumatera Utara, 257% di Sumatera Barat, 235% di Sulawesi, dan 165% di Kalimantan. Sampai tahun 1972, TVRI baru mempunyai 13 satuan transmisi yang menjangkau Jawa dan Sumatera Utara, sehingga baru 24,7% penduduk yang dapat menikmati siaran televisi. Dalam 10 tahun berikutnya, sudah terbangun 172 transmisi dan 64,1% penduduk dapat menikmati siaran televisi.

Siaran televisi tidak sepenuhnya terpusat. Pada tahun 1965 didirikan stasiun lokal di Yogyakarta dan dalam waktu selanjutnya di banyak wilayah lain serta ditopang dengan Stasiun Produksi Keliling (SPK). Stasiun lokal ini diizinkan mengelola siaran tertentu, tetapi dana, peralatan, dan program yang lain harus mengikuti televisi Jakarta. Mereka juga boleh memperoleh iklan lokal tetapi jumlahnya dibatasi. Bagaimanapun, sejak awal stasiun lokal itu memang tidak didirikan oleh Yayasan TVRI di Jakarta. Stasiun Yogyakarta dirintis oleh Direktorat Radio Kementerian Penerangan. Stasiun lokal Medan bahkan merupakan hasil patungan pemerintah daerah Sumatera Utara dan Pertamina. Stasiun lain di Makassar, Balikpapan, dan Palembang mengikuti pola serupa.  Namun kemudian pemerintah melebur stasiun lokal itu ke dalam Yayasan TVRI dan menginduk ke Direktorat Televisi Kementerian Penerangan di Jakarta.

Secara tiba-tiba Presiden Soeharto 5 Januari 1981 di hadapan DPR memberikan pengakuan bahwa ia telah “memberi petunjuk kepada TVRI agar mulai 1 April 1981 nanti tidak lagi menayangkan iklan komersial.” Tidak ada penjelasan resmi mengenai gagasan itu dan bahkan Kementerian Penerangan hanya diberitahu perintah itu satu minggu sebelumnya. Hanya informasi tidak resmi yang berkembang selanjutnya memastikan bahwa ide itu sepenuhnya gagasan Soeharto dan untuk mencegah timbulnya kesenjangan sosial yang mengarah kepada kecemburuan sosial yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Secara politik, larangan itu dikeluarkan tahun 1981, saat di mana Indonesia mulai percaya diri dengan produk domestik dan tidak terlalu memuja modal asing. Lebih-lebih menjelang tahun 1980, Indonesia kembali menikmati “oil boom” akibat sikap anggota OPEC yang menaikkan harga minyak dan diikuti krisis di Iran. Keuntungan ini memperbesar pundi-pundi pemeritnah yang tak terduga memperoleh dana hampir US$ 4 miliar sehingga mampu memotong kekuatan pengendali modal swasta. Jangan lupa, larangan itu juga keluar hanya setahun sebelum Pemilu 1982, di mana Soeharto menganggap perlu memperoleh dukungan penduduk di kawasan pedesaan karena hampir 10 tahun sebelumnya sudah terjadi gerakan demonstrasi yang mendelegitimasi kekuasaan. Pemerintah dengan percaya diri mengintegrasikan TVRI sebagai bagian birokrasi dan akan mampu memberikan dukungan dana operasional.

Ada pula dugaan larangan menyiarkan iklan dan kemudian mengendalikan penuh TVRI itu sebagai strategi Soeharto dalam meredam konflik-konflik internal di lingkungan pemerintahnya. Sebelumnya, pada tahun 1980, para teknokrat di bawah pengaruh Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri/Kepala Bappenas, Prof. Widjojo Nitisastro, mengusulkan untuk membentuk tim yang bertugas untuk mengendalikan pengadaan barang dan peralatan oleh pemerintah dan BUMN.

Widjojo mendesak agar orang dekat Soeharto, Sudharmono (Menteri Sekretaris Negara) menjadi ketua tim itu. Sekalipun Sudharmono awalnya keberatan, akan tetapi dengan argumentasi Widjojo maka Presiden Soeharto menyetujui usul itu dan kemudian (1980-1988) semua pengadaan barang dan peralatan pemerintah senilai Rp 500 juta harus memperoleh rekomendasi tim Sudharmono.

Para teknokrat menggunakan kapasitas Menteri Sekretaris Negara guna meredam ambisi liberal kebijakan ekonomi yang mulai digagas oleh Prof. Habibie (saat itu Menteri Negara Riset dan Teknologi). Dengan dalih penertiban pengadaan tersebut, Sudharmono mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk memotong aliran dana ke Yayasan TVRI dari pendapatan iklan yang tidak dikontrol pemerintah dan disinyalir digunakan oleh Menteri Penerangan Ali Murtopo untuk agenda-agenda tertentu.

Saat menyampaikan larangan iklan TVRI itu, Ali Murtopo sedang berobat ke Amerika dan Sudharmono menjadi Menteri Penerangan  ad interim.  Langkah mengendalikan Ali Murtopo itu berhasil dan sejak 1983 yang bersangkutan tidak dipakai dalam kabinet Soeharto. Jabatan Menteri Penerangan diserahkan ke Harmoko yang menjadi loyalis Soeharto hampir 15 tahun dalam jabatan itu.

Lepas dari argumen politik itu, TVRI harus menelan pil pahit dengan kehilangan banyak sumber pendapatan. Sesuai dengan arahan pemerintah, TVRI (yang sebelumnya cukup mengimpor program asing) harus memproduksi siaran sendiri hampir 80%, yang mayoritas adalah siaran pembangunan seperti “Dari Desa ke Desa” dan acara hiburan seperti “Si Unyil.” Dan sejak itu pula, TVRI kehilangan peminat di banyak pirsawan kawasan perkotaan. Popularitas TVRI jatuh dan tidak pernah bisa dikembalikan lagi hingga sekarang. Sampailah cap negatif kepada TVRI: ia menjadi media yang melayani kebutuhan pemerintah yang berkuasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun