Mohon tunggu...
Isharyanto Ciptowiyono
Isharyanto Ciptowiyono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Silat Indonesia:Teknologi dan Emansipasi

25 Mei 2013   22:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:01 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Boleh dikata, sebagian besar cersil selalu menampilkan pendekar wanita yang tidak kalah tinggi teknologi bersilatnya dibanding para pendekar laki-laki. Dalam cersil tidak ada kamus pendekar laki-laki pasti menang berkelahi melawan wanita, dan lebih dari itu perkelahian seolah merupakan sesuatu yang given dalam kehidupan persilatan. Perbincangan yang mengarah pada perbedaan laki-laki ataupun perempuan hampir tidak muncul. Yang menjadi tolok ukur "eksistensial" adalah tingkat kesaktian (kualifikasi teknis). Padahal, kesaktian bisa dipelajari. Dengan demikian, tidak mengherankan jika seorang pendekar wanita sakti mampu mengatasi seandainya ia dikeroyok oleh sejumlah pria. Suatu hal yang mungkin hampir tidak terjadi di dunia nonpersilatan.

Beberapa cersil memang pernah menceritakan bahwa ada teknologi silat tertentu yang lebih cocok untuk laki-laki dan ada pula yang lebih cocok untuk wanita. Beberapa teknologi silat yang dikembangkan oleh perguruan Go Bi Pai (Guru dan muridnya seluruhnya wanita) tidak cocok untuk laki-laki. Akan tetapi, pembedaan itu bukan karena terjadinya ketimpangan jender. Hal tersebut terjadi dengan mempertimbangkan watak silat itu sendiri. Paling tidak teknologi silat itu diciptakan oleh wanita tanpa dikondisikan oleh prasangka-prasangka jender yang tidak berlaku dalam dunia persilatan. Namun, bukan berarti teknologi silat itu tidak bisa dipelajari oleh laki-laki. Akan tetapi, sangat mungkin jika identifikasi jender merupakan sesuatu yang dianggap signifikan, maka jenis dan karakter silat wanita itu akan berpengaruh terhadap prilaku pendekar laki- laki. Sebaliknya, ada pula teknologi silat yang secara spesifik hanya untuk laki- laki, tetapi bukan berarti wanita tidak bisa mempelajarinya.

Sangat mungkin teknologi silat, pada tingkat tertentu, sangat netral, tergantung manusia seperti apa yang menjadi pendekar itu. Suma Ong (Ong Cu), cucu pendekar sakti Suma Han (dalam kisah Kisah Sepasang Rajawali karya Kho Ping Hoo) adalah orang yang berwatak belas asih, penyayang, dan sama sekali tidak pendendam. Padahal, hampir semua ilmu dan teknologi silat yang dimilikinya berasal dari teknologi hitam, yakni aliran teknologi silat yang berorientasi menyerang dan membunuh. Hal tersebut terjadi karena dua gurunya adalah datuk-datuk dari aliran hitam. Ong Cu tetap bertahan menjadi pendekar yang baik. Dalam masyarakat persilatan, kalangan pendekar secara terus menerus terikat dengan aturan main dalam logika masyarakat persilatan sehingga kapan pun dan dimana pun ia harus siap menerima ancaman untuk selalu bertarung hidup mati sesuai dengan norma dan sistem nilai masyarakat persilatan. Suma Han bersama dua orang istrinya, Lulu dan Nirahai (dalam kisah Para Pendekar Pulau Es), akhirnya harus mati dikeroyok datuk-datuk kalangan hitam pada usia di atas 90 tahun. Padahal Suma Han sudah menyepi dan hidup tenang di Pulau Es lebih dari 30 tahun.






HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun