Mohon tunggu...
Iwan Dani
Iwan Dani Mohon Tunggu... Freelancer - Music for humanity

Untuk segala sesuatu ada waktunya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Musik Kontemporer dan Tanggung Jawab Etikal dalam Perspektif Agamben tentang Kontemporer

15 November 2019   14:08 Diperbarui: 15 November 2019   14:21 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tony Maryana dan 3 orang rekannya duduk bersila. Mereka masing-masing memegang telpon genggam (handphone/smartphone) yang terhubung ke laptop dan tersambung pada alat elektronik seperti sound generator atau sound mixer. Jika Tony Maryana dan ketiga rekannya itu  melakukan sesuatu dengan telpon genggamnya seperti : mengusap-usap layarnya, berbicara (atau meniup ?) melalui mikrofonnya atau bahkan menggoyang-goyangkannya maka akan muncul bunyi tertentu yang keluar dari perangkat sound generator. Alhasil mereka menyajikan kepada para penonton sensasi bunyi yang dikeluarkan secara elektronik dari tindakan yang mereka lakukan terhadap telpon genggam.

Bunyi yang muncul seperti dengingan atau ciutan dan sesekali muncul suara rekaman manusia. Sajian ini oleh Maryana diberi judul : 'Eh, Sound ? Khlithih bunyi smartphone' dan ditampilkan pada October Meeting 2017. October Meeting adalah sebuah event musik kontemporer tahunan yang diselenggarakan di Yogyakarta oleh organisasi Art Music Today[i].

Bagi orang awam, rangkaian bunyi yang disajikan Maryana tidaklah seperti musik, setidaknya musik seperti yang ada dalam bayangan mereka. Di sana tidak ditemukan melodi, ritme (irama/rhythm), dinamika apalagi harmoni yang membangun musik yang mereka kenal. Namun sajian Maryana disebut musik kontemporer oleh para seniman musik dan penggagas acara October Meeting. Erie Setiawan (2019, wawancara) mengakui bahwa sulit untuk menjelaskan apa itu musik kontemporer. Dia hanya bisa dikenali melalui ciri-cirinya yang 'melawan' teori-teori musik yang sudah matang dan mapan seperti diterabasnya pentingnya melodi dan harmoni atau dinamika, timbre dan ritme. Hal ini menimbulkan pertanyaan : jadi, kalau sudah tidak ada lagi melodi, harmoni, ritme apakah musik itu ?

Barangkali musik cukup didefinisikan sebagai 'upaya manusia dalam mengorganisasi bunyi' sebagaimana diungkapkan John Cage (Cage 1961,3) :

If the word "music" is sacred and reserved for eighteenth and nineteenth century instruments, we can substitute a more meaningfull term : organization of sound.

 Persoalannya bukan pada definisi musik. Kita bisa menerima penjelasan sederhana Cage tentang musik. Dan memang seperti itulah adanya. Jika musik dibedah sampai ke elemen dasarnya, maka dia hanya terdiri dari 2 elemen saja : bunyi[ii] dan senyap (sound and silence) (Cage 1961). Namun apakah setiap bunyi yang kita dengar adalah musik ? Bagaimana dengan deburan ombak di pantai atau suara angin mendesir di pegunungan atau bahkan suara deru kendaraan di jalanan, apakah mereka adalah musik ?

 Suka Hardjana menegaskan bahwa semua musik adalah ciptaan manusia. Bahkan Tuhan pun tidak menciptakan musik, Tuhan menciptakan manusia (Hardjana 2018, h.98). Bunyi dan senyap diorganisasi atau disusun oleh seseorang. Inilah yang disebut mengkomposisi musik. Bunyi yang menjadi unsur musik bisa dihasilkan dari berbagai sumber bunyi, contohnya adalah : instrumen musik (gitar, piano, violin, drum dll.), suara manusia atau bahkan tubuh manusia (jentikan pada jari, tepuk tangan, siulan dll) atau bunyi yang disintesa secara elektronik seperti pada pertunjukan Tony Maryana di atas. Orang yang membuat komposisi bunyi ini disebut komposer.

 Musik sebagaimana karya seni lainnya tidak lepas dari persoalan estetika, masalah keindahan. Ketika berbicara soal estetik, musik tidak lagi sesederhana definisinya. Karena setiap musik memberikan sensasi yang berbeda pada setiap manusia yang mendengarkannya. Dalam kenyataan hidup kita sehari-hari kita menemukan fakta ada begitu banyak jenis musik : musik klasik barat, musik karawitan Jawa, musik dangdut, keroncong, jazz, rock dll. Faktual juga bahwa setiap musik ada penggemarnya sendiri-sendiri.

Seorang penyuka musik jazz belum tentu suka dengan musik dangdut atau musik rock. Seorang penggemar klasik barat akan mengatakan bahwa musik karya Mozart sangat indah. Namun tidak bagi seorang penggemar musik tradisional Batak. Seorang teman lulusan ISI Yogyakarta jurusan Seni Pertunjukan Musik yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Utara pernah bercerita bahwa pada suatu ketika dia mengajak orangtuanya yang orang Batak asli datang ke kampusnya untuk menonton konser musik klasik di mana dia ambil bagian sebagai pemain. Namun baru satu repertoire ditampilkan, orang tua teman saya itu langsung keluar ruang konser. Ketika selesai konser, teman saya itu menemui orang tuanya dan bertanya kenapa keluar sebelum konser berakhir lalu orang tuanya menjawab "Ah, musik apa itu? Gak ada penyanyinya.."

 Dari kumpulan fakta itu kemudian muncul pertanyaan : apa yang menyebabkan musik bisa menimbulkan reaksi yang berbeda pada manusia? Apakah ada yang disebut musik yang indah secara universal yang disukai oleh semua manusia di bumi ini ?

 Sekelumit Tentang Estetika Musik Menurut Adorno

 Sesungguhnya diskusi tentang estetika musik sudah terjadi sejak beradad-abad yang lalu dan melibatkan para filsuf mulai dari era Yunani kuno seperti Plato, Aristoteles, Plotinus hingga Emmanuel Kant dan dari Theodor Adorno hingga Guy Sircello. Wacana  estetika sebagaimana sains terus mengalami perubahan dan pembaruan sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Di dalam tulisan ini saya tidak akan membahas terlalu dalam mengenai persoalan ini. Yang akan saya ungkapkan adalah pemikiran estetika di era post-modern yang melandasi estetika musik kontemporer khususnya teori estetika menurut Theodor Adorno.

 Theodor W. Adorno adalah seorang filsuf yang barang kali paling banyak menulis soal hubungan musik dengan filosofi (Bowie 2017, 309). Dia juga dikenal sebagai salah satu filsuf dan kritikus sosial Jerman paling penting setelah Perang Dunia II (Zuidervaart, 2015). Pemikiran Adorno tentang seni secara umum bersumber pada rekonstruksinya atas gerakan modern (Zuidervaart, 2015). Dalam konteks modernitas, Adorno sangat menentang segala bentuk komodifikasi (terhadap seni dan budaya) dan meyakini bahwa komodifikasi  merusak hidup manusia di dalam masyarakat (Fuch, 2016). Di era pasca Perang Dunia II, Adorno menilai bahwa peran musik secara sosial telah cenderung menjadi komoditas yang secara organisasi ada dalam monopoli industri (Fuch, 2016).

 Adorno adalah seorang anti kapitalis yang radikal yang menentang kapitalisasi musik dan kebudayaan. Adorno menulis :

Keuntungan [dari praktek kapitalis] menjadikan [karya seni] tidak lagi murni/nir-fungsi[iii] (functionless) sehingga mendegradasinya ke dalam ketidakadaan-rasa dan kehilangan-keterhubungan. (Adorno dalam Fuch 2016, h. 80)

Karya seni bagi Adorno adalah satuan sosial (social nomad). Sebagai satuan sosial, terjadi polaritas atau dialektika di dalam karya seni yakni antara 'makna' dan fungsi. Yang dimaksud 'makna'[iv] dari karya seni adalah pemaknaan yang signifikansi terhadap kebudayaan (culture). Sedangkan yang dimaksud fungsi adalah fungsi yang dikenakan kepada seni seperti fungsi politis atau fungsi ekonomi.

Agar karya seni tidak kehilangan kebenarannya maka karya seni harus tidak memiliki fungsi : 'Fungsi sosial bisa dikenakan pada karya seni adalah nir-fungsi (tanpa fungsi)' (Insofar as a social function can be predicated for artworks, it is their functionlessness). (Adorno 1997, h. 227). Di dalam dunia kapitalis, karya seni sudah menjadi instrumen ekonomi atau sebaliknya di lingkungan komunisme seperti di Rusia, karya seni menjadi instrumen politis. Pada kedua kondisi itulah karya seni kehilangan makna. Kondisi tanpa fungsi dari seni bagi Adorno adalah kebebasan dari kapitalisme dan sistem kelas.

Adorno percaya bahwa seni merefleksikan kebenaran yang ada di dalam masyarakat, dipahami dalam kerangka sosial-ekonomi-politik-teknologi ibarat refleksi materialis (seperti konsep tiruan alam/mimesis-nya Plato) dari konten-kebenaran seni. Jika masyarakat gagal (contohnya : peradilan yang korup) maka seni akan merefleksikan juga kegagalan itu demikian sebaliknya jika masyarakat maju (Kelly, 2007).

Penegasan mengenai konten-kebenaran (truth content) menjelaskan pendapat Adorno mengenai karakter "tiruan" dari seni (yakni seni sebagai ilusi). Seni merepresentasikan ilusi, namun ilusi itu dibarengi dengan konten-kebenaran karena seni merefleksikan  tidak hanya apa yang tidak dilakukan masyarakat namun juga apa yang dapat dan seharusnya (Kelly, 2007). Ketika konten-kebenaran menjadai pusat dari konsep estetika Adorno, seni dikatakan merefleksikan tiruan dari keindahan, yakni kehilangan keindahan itu atau keindahan yang suatu waktu akan dikembalikan kepada msyarakat. Artistik dan keindahan natural saling terhubung karena keduanya merefleksikan kemungkinan historikal yang wajib kita wujudkan.

Memahami Musik Kontemporer

Sejenak kita kembali ke pokok pembicaraan kita : musik kontemporer. Pertanyaan : 'Apa itu musik kontemporer ?' barangkali dirasakan sebagai pertanyaan yang klise. Dan jawabannya pun sudah mudah ditebak : musik kontemporer adalah musik masa kini, musik yang digemari anak-anak muda jaman sekarang. Jawaban standar seperti ini akan sulit menjelaskan apakah musik Tony Maryana itu termasuk musik kontemporer ? Atau apakah musik Franki Raden yang menggabungkan alat musik tradisional dan alat musik barat dalam sebuah komposisi musik adalah musik kontemporer ? Manakah yang kontemporer : lagu "Lagi Syantik" -nya Siti Badriah[v] atau "Semut Ireng[vi]" karya Slamet Abdul Sjukur ?

Kekontemporeran seni musik sebagaimana terjadi dalam seni lainnya (seni tari, seni rupa dan teater) dipahami dengan cara berbeda-benda. Sal Murgiyanto menyimpulkan dalam essainya: tidak ada model tunggal kontemporer (Murgiyanto, 2015). Meski demikian, saya mengajukan pemahaman kontemporer berdasarkan kontribusi Giorgio Agamben yang menurut saya sejalan dengan teori estetika Adorno yang nantinya akan bermuara pada 'tanggung jawab etikal' dari musik sebagaimana diusulkan oleh Jeff R. Warren.

Dalam esainya "What is Contemporery?" Agamben menguraikan pengertian kontemporer sebagai berikut :

  • Kekontemporeran (contemporariness) adalah relasi tunggal seseorang dengan waktunya sendiri yang melekat padanya namun secara bersamaan menjaga jarak dengannya. Dengan kata lain kekontemporeran adalah relasi dengan waktu dan melekat padanya lewat keterputusan dan anakronisme.
  • Melalui perenungan atas puisi karya Osip Mandelstam 'The Century' yang ditulis tahun 1923, Agamben menawarkan pengertian kedua : Kontemporer adalah dia yang memegang dengan teguh pandangannya pada waktu miliknya, bukan untuk memahami sisi terangnya namun lebih ke sisi kegelapannya. Bagi orang yang mengalami kekontemporeran, segala zaman adalah suram. Kontemporer adalah orang yang tahu cara melihat dalam kesuraman, orang yang bisa menulis dengan pna-nya dalam kesuraman saat ini.  Agamben kemudian mengajukan thesis yang didukung oleh penemuan para neuropsikolog bahwa melihat dalam kegelapan adalah sebuah kegiatan aktif dan merupakan kemampuan singular. Kontemporer adalah seseorang yang mampu melihat berkas kegelapan di zamannya.
  • Dengan ilustrasi 'memandang bintang di langit dalam kegelapan malam', Agamben mengatakan bahwa di tengah kegelapan ada cahaya yang berusaha menerobos ke arah kita namun tidak bisa. Kontemporer adalah memahami di dalam kegelapan, cahaya itu berusaha menggapai kita namun tidak bisa.
  • Kaitan masa lampau dengan kontemporer dijelaskan Agamben seperti ini : 'Kekontemporeran dipahatkan pada masa kini dengan menandai yang lainnya sebagai usang. Orang yang dapat memahami tanda dan pengenal segala yang usang dari yang paling modern dan kekinian adalah kontemporer.' Selaras dengan penyataan di atas 'kontemporer juga bisa berarti kembali ke masa kini di mana kita belum pernah ke sana.'
  • Dalam kaitannya dengan sejarah, Agamben mengatakan : 'Kontemporer adalah dia yang bisa melihat sejarah dengan hal yang tak terduga, mencupliknya sesuai dengan keperluan yang tidak muncul dari keinginannya namun dari kebutuhan mendesak yang tidak bisa dia respon.'

Inti pemikiran Agamben tentang kontemporer bisa dirangkai sebagai berikut:

Kita disebut kontemporer jika kita menyadari keberadaan kita pada masa kini namun mampu menjaga jarak dengannya sehingga tidak larut di dalamnya bahkan sebaliknya kita dengan kecerdasan kita bisa melihat sesuatu di dalam kegelapan zaman atau dalam kepingan sejarah dan membawanya ke dalam ruang waktu kita sekarang.

Di bawah naungan pengertian Agamben itu, saya mencoba memberi contoh penerapannya sebagai berikut :

  • Pada tahun 1924 seorang musisi bernama Wage Rudolf Supratman menggubah lagu "Indonesia Raya" di tengah kegelapan zaman penjajahan Belanda. Namun dia melihat ada cahaya dalam kegelapan, cahaya harapan akan kemerdekaan Indonesia dan menuangkan gagasanya dalam sebuah lagu. W.R. Supratman adalah kontemporer.
  • Titiek Adji Rachman, Lies Soetisnowati Adji Rachman, Susy Nander, dan Ani Kusuma bertemu pada tahun 1964 dan membentuk band perempuan pertama di Indonesia : Dara Puspita[vii]. Mereka menerobos kegelapan belantika musik Indonesia ketika saat itu didominasi pria. Dara Puspita adalah kontemporer.
  • Renungkanlah lirik lagu ini :

            Untukmu yang duduk sambil diskusi. Untukmu yang biasa bersafari. Di sana, di gedung DPR. Wakil rakyat kumpulan orang hebat. Bukan kumpulan teman teman dekat. Apalagi sanak famili. Di hati dan lidahmu kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu jangan takut karang menghadang. Bicaralah yang lantang jangan hanya diam. Di kantong safarimu kami titipkan. Masa depan kami dan negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke. Saudara dipilih bukan dilotre. Meski kami tak kenal siapa saudara. Kami tak sudi memilih para juara. Juara diam, juara he'eh, juara ha ha ha...... Untukmu yang duduk sambil diskusi. Untukmu yang biasa bersafari. Di sana, di gedung DPR. Di hati dan lidahmu kami berharap. Suara kami tolong dengar lalu sampaikan. Jangan ragu jangan takut karang menghadang. Bicaralah yang lantang jangan hanya diam. Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara. Hanya tahu nyanyian lagu "setuju......"

 Itu adalah lirik lagu "Surat Buat Wakil Rakyat" yang dibuat Iwan Fals sekitar tahun 1980 di era rezim Order Baru Soeharto. Lagu itu mengkritik tingkah laku anggota DPR yang hanya menjadi tukang stempelnya Pemerintahan Soeharto. Ini adalah kegelapan yang diangkat Iwan Fals. Iwan Fals adalah kontemporer.

  • Ketika kita melihat seorang pianis di depan piano dan membaca sebuah partitur di depannya namun sama sekali tidak membunyikan pianonya selama 4 menit 33 detik. Apakah yang dilakukan sang pianis adalah pertunjukan musik ? Itulah yang dilakukan John Cage dalam karyanya "4:33". Di dalam komposisinya hanya ada diam (silence). John Cage mengingatkan dunia bahwa kita ada dalam lautan derau (noise), melalui karyanya Cage berpesan agar kita menikmati silence dan memperhatikan derau. John Cage adalah kontemporer.
  • Slamet Abdul Sjukur mengambil penggalan kidung Jawa Kuno "Semut Ireng Anak-anak Sapi[viii]" yang dia kenal semasa kecil dan mengkomposisi ulang dengan terang masa kini. Slamet Abdul Sjukur adalah kontemporer.

Pengertian kontemporer menurut Agamben agaknya sejalan dengan teori estetika Adorno. Kebenaran sosial itulah yang menjadi tolak ukur apresiasi kita terhadap seni kontemporer. Estetika seni kontemporer tidak terletak pada bentuk penyajian seni. Dalam bingkai seni musik, estetika itu tidak terletak pada sensasi nyaman ketika didengarkan namun pada pesan yang ingin disampaikan komposer kepada masyarakat melalui organisasi bunyi dan senyap yang dia buat.

Musik dan Tanggung Jawab Etikal (Etical Responsibility)

Musik di era modern ini sesungguhnya ada dalam kondisi yang memprihatinkan. Sebagaimana kritik Adorno, musik di era modern ini telah terperosok menjadi komoditas industri hiburan belaka. Mungkin itulah yang terjadi sekarang ini. Masyarakat memandang musik hanyalah sekedar komoditas. Masyarakat sekarang cenderung hidup tanpa makna atau menghindari makna. "Di mana ada musik, di situ ada uang", keluh Attali (1977).

Padahal menurut Attali kita lebih bisa memahami masyarakat melalui musik ketimbang sains.

Attali mengatakan :

 Hari ini, pandangan kita meredup dan tak bisa lagi menerawang masa depan karena pandangan kita dibangun atas dasar abstraksi, omong kosong dan kesunyian. Sekarang kita harus belajar menilai masyarakat dari bunyinya, dari seninya, dan dari festivalnya ketimbang dari angka-angka statistik. Dengan mendengarkan derau (noise), kita bisa paham lebih baik ke mana bebodohan manusia dan kalkulasinya menggiring kita." (Attali 1977, h.3) 

Pada bagian lain, Attali menuliskan :

 Musik adalah cerminan masyarakat.... Musik lebih dari obyek studi: dia adalah cara untuk memahami dunia. Sebuah alat untuk mengerti. (Attali 2007, p.4)

 Berangkat dari kegelisahan bagi Adorno maupun Attali, kita akan menuju pada pemikiran Jeff R. Warren (2014) yang tertuang dalam bukunya "Music and Ethical Responsibility".

Argumen yang dikemukakan oleh Warren dalam bukunya adalah demikian : "Pengalaman musikal melibatkan perjumpaan dengan orang lain (the others) dan tanggung jawab etikal muncul akibat perjumpaan itu." (Warren 2014, h.1). Dasar argumen yang digunakan Warren adalah teori Ethical Responsibilty yang digagas filsuf Emmanuel Levinas. Oleh karena itu sejenak kita melihat terlebih dahulu apa yang diajukan oleh Levinas tentang ethical responsibilities (tanggung jawab etikal).

Emmanuel Levinas adalah seorang filsuf Perancis keturunan Yahudi. Lahir pada tahun 1906 di Lithuania. Selama Perang Dunia I, keluarganya terpaksa mengungsi ke Ukraina namun akhirnya pindah kembali ke Lithuania. Pada tahun 1923, Levinas melanjutkan pendidikan di Universitas Strasbourg, Prancis dan akhirnya memutuskan menjadi warga negara Prancis pada tahun 1939.

Pada Perang Dunia II, Prancis menyatakan perang terhadap Jerman sehingga Jerman menyerbu Prancis pada tahun 1940. Levinas menjadi salah satu dari jutaan orang keturunan Yahudi yang ditahan dan disiksa pasukan Nazi Jerman di kamp konsentrasi. Selama di kamp konsentrasi, dia menyaksikan betapa para tahanan keturunan Yahudi diperlakukan dengan bengis dan kejam oleh pasukan Nazi termasuk seluruh keluarganya di Lithuania menjadi korban kekejaman Nazi. Pengalaman traumatik ini sangat membekas di dalam diri Levinas dan menjadi landasan pemikiran Levinas tentang "The Other" (Sobon, 2018).

 Levinas mengemukakan kritik tajam atas tradisi filsafat Barat. Menurut Levinas filsafat Barat lebih berpangkal pada ego sebagai pusat. Titik pangkal filsafat Barat terpancang kuat sejak Ren Descrates memberikan pernyataan yang sangat terkenal : cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Dalam pemahaman ini, Ego, yakni diriku, tidak hanya menjadi subyek dari cogito namun menjadi pusat dan akhir dari dunia. Keberadaan segala sesuatu di luar "aku" menjadi tidak berarti ketika "aku" berpikir mereka tidak ada. Inilah totalitas filsafat Barat yang selalu menempatkan ego sebagai pusat. (Sobon, 2018)

Levinas mencoba mendobrak totalitas dengan konsepnya tentang "Yang Tak Terhingga" (Infinity). "Yang Tak Terhingga" itu adalah the Other ("Orang Lain"). Inti dari konsep ini adalah, ketika "aku" berjumpa dengan "Orang Lain" muka-dengan-muka (face to face) maka runtuhlah totalitas "aku" di hadapan "Orang Lain" yang tak terhingga itu.

If totality can not be constituted it is because Infinity does not permit itself to be integrated. It is not the insufficiency of the I that prevents totalization, but The Infinity of the Other. (Levinas, 1979 h.80)

 Levinas memandang perjumpaan "aku" dengan Orang Lain yang Tak Terhingga itu membuat "aku" menjadi tak berdaya. Ketika "aku" berjumpa dengan "wajah" orang lain maka "aku" menjadi hamba baginya karena "aku" melihat dia yang transenden menyerupai Tuhan. Oleh karena itu setiap perjumpaan dengan "Yang Lain" akan menimbulkan tanggung jawab etikal. Tanggung jawab etikal yang dimaksud di sini sebuah tanggung jawab yang otomatis muncul. Bahwa "aku" bertanggung jawab atas keselamatan "Orang Lain" yang wajahnya kujumpai.

Berangkat dari pemikiran Levinas tentang tanggung jawab etikal, Jeff Warren (2014) mengajukan sebuah thesis bahwa musik juga memiliki tanggung jawab etikal. Argumen yang dia ajukan adalah demikian : 

  • Musik adalah ciptaan manusia oleh karena itu ketika musik "didengar" atau "dialami" oleh seseorang, yakni "Orang Lain", maka terciptalah perjumpaan "face to face" sebagaimana layaknya "aku" berjumpa muka dengan muka dengan orang lain.
  • Sejalan dengan pemikiran Levinas maka perjumpaan itu menimbulkan tanggung jawab etikal yang harus dipenuhi "musik" kepada "Orang Lain" yang menjadi pendengarnya.

Bagaimana tanggung jawab etikal itu bisa muncul dalam musik ? Untuk menjelaskan ini Warren melakukan pendekatan melalui pemaknaan musik (musical meaning) yakni dengan cara bagaimana musik bermakna bagi kita.

Menurut Warren, pemaknaan musik berakar pada "pengalaman musikal" (musical experience).

"Pengalaman musikal" adalah pengalaman yang kita dapatkan ketika kita : mendengarkan musik, memainkan musik, menari dengan musik atau menciptakan musik. Pemaknaan musik seseorang berbeda dengan orang lain. Walaupun misalnya ada dua orang yang mendengarkan sebuah lagu yang sama secara bersamaan belum tentu mereka menangkap makna yang sama karena pemaknaan musik ditentukan oleh pengalaman hidup mereka sebelumnya yang mempengaruhi pengalaman musikal mereka.

Pemaknaan musik juga sifatnya interpesonal. Karena pemaknaan musik berakar pada pengalaman musikal dan pengalaman musikal kita dipengaruhi oleh orang lain maka di situlah muncul implikasi etikal. Ketika pemaknaan musik diartikulasikan kepada orang lain saat itu pula terjadi kontak dengan orang lain. Dengan demikian setiap pemaknaan musik adalah interpersonal. Relasi interpersonal adalah basis dari tanggung jawab etikal sepanjang dipahami sebagai tanggung jawab yang timbul dari perjumpaan dengan orang lain.

Muara dari pemikiran Warren adalah bagaimana relasi antar manusia menjadi pusat dari pengalaman musikal. Pengalaman musikal tidak bisa dilepaskan dari keberadaan orang lain. Warren mengkritisi budaya industri yang menjadikan musik hanyalah sebuah komoditas.

"Sebagai komoditas, musik direndahkan menjadi sekedar barang yang bisa dibeli dan dijual. Perusahaan musik tidak peduli dengan cara bagaimana orang mengalami musik tetapi hanya peduli bagaimana orang membeli musik" (Warren, 2014, hal. 184)

 Warren berulangkali menegaskan bahwa pengalaman musikal selalu melibatkan relasi dengan orang lain. Orang yang kita jumpai melalui musik itu tidak bisa kita abaikan, mereka adalah individu yang perlu kita respon. Perjumpaan dengan orang lain membawa tanggung jawab pada saya untuk tidak melukai orang lain bahkan harus melindunginya itulah tanggung jawab etikal saya.

Bagaimana aplikasi tanggung jawab etikal itu di dalam musik? Di dalam seni, perikemanusiaan adalah pusat. Karena musik diejawantahkan sebagai kehadiran manusia maka setiap peristiwa dalam pengalaman bermusik seharusnya tetap memperhatikan aspek kemanusiaan ini. Ketika komposer membuat komposisi musik, mereka memiliki tanggung jawab etikal kepada para pendengarnya. Pemain musik yang memiliki tanggung jawab etikal kepada komposer, rekannya pemusik dan kepada pedengarnya. Para pendengar juga memiliki tanggung jawab etikal kepada para pemain musik, pencipta musik dan pendengar yang lain.

Kesimpulan

Sudah sedemikian jauh pembahasan kita tentang musik kontemporer. Saatnya kita menarik kesimpulan dengan semua ini.

Kita memahami musik kontemporer tidak hanya melalui bentuk penyajiannya saja, atau orang sering menyebutnya genre. Agamben menawarkan hal yang berbeda dari kekontemporeran. Kontemporer adalah ketika kita mampu membawa cahaya di tengah kekinian yang suram. Sejalan dengan Agamben, Adorno dan Jacques Attali mengingatkan bahwa musik yang sudah menjadi komoditas jualan semata sebenarnya sudah kehilangan fungsi sosialnya. Dan Warren melalui Levinas juga menegaskan kembali bahwa musik memiliki tanggung jawab etikal kepada siapa saja yang mengalami pengalaman musikal. Manusia adalah pusat musik. Aspek kemanusiaan ini tidak bisa diabaikan. Setiap orang yang terlibat dalam memberikan pengalaman musik kepada orang lain memiliki tanggung jawab etikal yang tidak bisa dilepaskan dari dirinya.

Daftar Referensi 

Jurnal/Esai :

  • Agamben, Giorgio. 2009. What is Contemporary?. Stanford University Press.  
  • Murgiyanto, Sal. 2015. Menyoal Makna : Tidak Ada Model Tunggal Kontemporer.
  • Sobon, Komas. 2018. Konsep Tanggng Jawab dalam Filsafat Levinas. Jurnal Filsafat Vol 28, No. 1.

Buku :

  • Adorno, Theodor W. 1997. Aesthetic Theory. Continuum.
  • Attali, Jacques. 1977. Noise: The Political Economy of Music.Univ. of Minnesota Press.
  • Bowie, Andrew. 2017. Music, Philosophy and Modernity. Cambrige University Press.
  • Cage, John. 1961. Silence. Wesleyan University Press.
  • Fuchs, Christian.2016. Critical Theory of Communication. London: University of Westminster Press. DOI: http://dx.doi.org/10.16997/book1.c. License: CC-BY-NC-ND 4.0
  • Hardjana, Suka. 2018. Estetika Musik : Sebuah Pengantar. Art Music Today.
  • Kelly, Michael. 2007. Art: Key Contemporary Thinkers / Edited by  Diarmuid Costello dan Jonathan Vickery (Editor). Berg New York. Halaman 99-102.
  • Levinas, Emmanuel. 1979. Totality and Infinity. Martinus Nijhoff Publishers.
  • Warren, Jeff. R.  2014. Music and Ethical Responsibility. Cambridge University Press.

Website :

Wawancara :

  • Setiawan, Erie. 2019. Koordinator Art Music Today; tanggal wawancara 23 Maret 2019 di Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun