Di antara para penempuh jalan tarekat, guru bukan sekadar pemberi ilmu, tetapi pewaris cahaya. Dan murid sejati bukan hanya penerima ajaran, melainkan pemikul amanah rohani. Dalam hubungan Abu Mahabbah dan Abuya Syekh Sidi Muhammad Asnawi, hubungan itu hidup dan mengakar, bukan hanya dalam zikir dan wirid, tapi dalam kesetiaan yang menembus batas logika duniawi.
Abuya Sidi Asnawi adalah anak sulung dari Syekh Muhammad ‘Aun al-Khalidi dan Asyiah binti Haji Zahidin (Syekh Palangki). Ia lahir di Kuala Baru pada tahun 1922 dan tumbuh dalam lingkungan yang sarat dengan ilmu serta tradisi tarekat. Sejak kecil, ia berguru kepada ayahandanya sendiri, dan pada tahun 1953, melanjutkan pendidikannya ke Dayah Darussalam Al-Waliyah, Labuhanhaji, Aceh Selatan, di mana beliau menuntut ilmu selama enam tahun.
Pada tahun 1961, beliau menikah di Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dengan seorang perempuan bernama Noer Afifah Nawiyah binti Badal, dan dari pernikahan itu dikaruniai dua orang anak bernama Ainal Syafiun dan Aspia Juwita.
Sebagai mursyid tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah al-‘Auniyah, beliau dikenal luas dalam jalur rohani yang dalam dan bersambung.
Pertemuan beliau dengan Abu Mahabbah terjadi dalam suasana yang khas dunia sufi, yaitu dalam ibadah suluk, di Surau Riyadhul Muttaqin, Kuala Baru, tahun 1973. Di tempat sunyi yang jauh dari gemerlap dunia, Abu Mahabbah dibaiat oleh Abuya Sidi, dan menjalani riyadhah yang berat tetapi memurnikan. Tahun-tahun berikutnya, Abu Mahabbah terus melanjutkan suluk, bahkan saat sang guru berhalangan hadir di tahun 1975, ia tetap bersuluk di Dayah Darussalam. Ramadan tahun 1976, ia kembali ke Kuala Baru, membenamkan diri dalam samudra zikir yang tak bertepi.
Puncak dari perjalanan itu adalah ketika ijazah kemursyidan diberikan langsung oleh Abuya Sidi kepada Abu Mahabbah pada tahun 1984, di Masjid Baiturrahman Rantau Gedang–Teluk Rumbia, disaksikan oleh setidaknya 13 khalifah, termasuk mertua beliau sendiri. Bukan sembarang pengangkatan, tetapi pengakuan dari seorang mursyid besar kepada murid yang telah matang secara rohaniah.
Namun, yang lebih menyentuh dari semua itu adalah kedekatan batin yang melebihi formalitas. Pernah suatu malam, ketika Abu Mahabbah masih menjabat sebagai imam chik dan sedang berada di acara pesta yang diisi dengan pembacaan Dalaiul Khairat di kampung. Di tengah semarak acara itu, datanglah seorang lelaki tua, ayah dari Ustaz Cut Ka’oy, yang baru pulang dari mencari ikan di Kuala Baru. Lelaki tua itu membawa pesan dari Abuya Sidi, yang saat itu berada di Kuala Baru. Pesannya jelas: suruh Teungku Fulan datang.
Mendengar itu, beliau berdiri dari tempat duduknya, lalu menyampaikan pamit kepada ahlibait dan para tetua yang hadir.
Malam itu juga, Abu Mahabbah mengayuh biduknya seorang diri, menembus dingin dan gelapnya sungai menuju Kuala Baru.
Saat sampai dan bertanya, “Ada apa, Abu?” sang guru hanya menjawab, “Tidak ada. Pijit saya.”