Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Belanja Spontan, Nikmat yang Membawa Sengsara

19 September 2016   08:21 Diperbarui: 20 September 2016   01:42 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Setiap saya melewati jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki di Jalan Sudirman, Jakarta, saya selalu melirik kemajuan pekerjaan proyek kereta api bawah tanah yang lagi dikebut siang malam. Kalau kita menyusuri trotoar, proyek tersebut tidak akan terlihat karena di sisi kiri dan kanannya ditutup oleh papan panjang. Tapi dari atas, semua terlihat jelas.

Saya membayangkan, tentu kalau sudah jadi, seperti yang terlihat di Singapura, nantinya di stasiun bawah tanah ribuan penumpang akan keluar masuk melalui beberapa gerbang. Ada gerbang yang langsung punya akses ke basement dari mal besar yang lazimnya ditempati oleh supermarket yang juga punya nama besar.

Kalau begitu apa yang akan terjadi?  Naluri belanja masyarakat akan semakin terasah. Katakanlah ada seorang karyawati yang usai jam kantor bergegas ke stasiun untuk langsung pulang ke rumahnya. Namun untuk sampai ke stasiun, ia harus melewati supermarket di sebuah mal. Seketika ia ingat bahwa roti tawar di rumah sudah habis, padahal roti ini wajib ada untuk sarapan suami, anak-anak dan ia sendiri.

Dengan ringan ia melangkah masuk supermarket. Dalam hatinya toh gak bakal lama, paling sepuluh menit. Namun apa yang terjadi? Di pintu masuk secara  spontan si ibu langsung mengambil dan mendorong troli belanja (padahal kalau hanya satu bungkus roti tawar jelas tidak perlu troli).

Lorong supermarket memang ditata secara sistematis. Saat si ibu melewati lorong demi lorong, matanya tergoda untuk melirik aneka barang yang tersusun rapi di rak-rak di kiri dan kanan lorong. Naluri keibuannya muncul untuk memungut beberapa barang yang menarik perhatiannya. 

Bisa jadi si ibu memungut barang dan menarok di troli karena tertarik dengan kemasannya, karena lagi ada diskon, ada hadiahnya, atau karena melihat barang tersebut sama dengan yang ada di rumah tetangga. Bisa pula karena penasaran menjajal produk baru yang gencar iklannya.


Tanpa terasa troli si ibu sudah penuh isinya. Saatnya ke kasir. Eh, ternyata antriannya lumayan panjang, ada sekitar empat orang di depan si ibu. Mumpung ngantri, si ibu larak-lirik lagi barang lain yang dipajang dekat meja kasir. Alhasil beberapa batang coklat dan beberapa bungkus permen berpindah ke troli si ibu.

Ada perasaan nikmat saat si ibu memberikan kartu kreditnya sebagai alat pembayaran kepada si kasir. Akhirnya tangan si ibu penuh dengan beberapa kantong belanjaan. Tapi jangan khawatir, meski dengan bawaan yang banyak, si ibu tetap nyaman naik kereta api. Saat itu tentu jumlah kereta relatif banyak dengan interval waktu kedatangan semakin pendek. Artinya penumpang tidak bakal berdesak-desakan.

Ringkas cerita sampailah si ibu di rumah. Setelah makan malam dan mengganti pakaiannya dengan daster, barulah ia membongkar kantong belanja. Seketika itu pula "kewarasan" si ibu muncul lagi. Si ibu menyadari bahwa sebahagian barang yang dibelinya itu sebetulnya tidak diperlukan. Sebagian lagi justru masih banyak persediaannya. Yang bikin si ibu sangat kecewa, roti tawar yang betul-betul mendesak kebutuhannya, malah kelupaan.

Apakah "kewarasan" tersebut akan bersifat permanen? Belum tentu. Biasanya bila ibu-ibu yang  telah terjangkiti penyakit kecanduan belanja, sangat gampang lenyap "kewarasan"-nya. Jenis begini, biasanya sangat menikmati tatapan kagum orang lain sesama pebelanja di supermarket, saat di meja kasir ia menumpahkan barang yang banyak dari troli.

Celakanya, bila barang tersebut dibayar dengan kartu kredit, dalam perspektif akuntansi, kondisi tersebut disebut sebagai kerugian berganda.  Terhadap barang yang dibeli disebut sebagai aktiva. Hanya karena barang tersebut tidak terpakai, nilainya sebagai aktiva akan menyusut. Inilah kerugian pertama. Adapun kerugian kedua, karena dibayar secara kredit, maka hal ini masuk pos pasiva alias kewajiban yang harus dibayar. Semakin lama kewajiban tersebut baru terbayar, semakin bertambah pasivanya. Ingat kartu kredit memakai sistem bunga berbunga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun