Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan kelompok atau kategori usaha yang paling banyak pelakunya di negara kita. Soalnya, yang tergolong perusahaan besar di Indonesia relatif sedikit.
Namun demikian, justru perusahaan besar yang sedikit itulah yang menguasai pasar, dalam arti produk yang sangat laris secara nasional, rata-rata diproduksi oleh perusahaan besar.
Adapun produk yang dibuat dan dijual oleh UMKM, produksinya sangat terbatas dan hanya dikenal oleh warga lokal di sekitar pelaku usaha berdomisili atau menjual barangnya.
Tapi, dalam masa tertentu seperti saat krisis moneter 1998 dan juga saat pandemi yang baru saja kita alami, perusahaan besar banyak yang menurun tajam kinerjanya.
Bahkan, tidak sekadar menurun, tak sedikit pula yang mengalami kebangkrutan, sehingga mau tak mau terpaksa melakukan PHK terhadap para karyawannya.
Justru, UMKM yang memang bisa beroperasi secara fleksibel, mampu menjadi penyelamat. Tak heran, sebagian dari mereka yang terkena PHK, banting setir jadi pelaku UMKM.
Artinya, meskipun secara volume usaha, rata-rata pelaku UMKM punya nilai bisnis yang kecil, tapi diakumulasikan secara nasional, jumlahnya signifikan juga.
Hebatnya UMKM Â adalah seperti yang disebut di atas, yakni menampung puluhan juta tenaga kerja di seluruh penjuru tanah air.
Namun, berbicara tentang UMKM sebetulnya ruang lingkupnya amat luas, mulai dari pedagang asongan yang dikejar-kejar Satpol PP hingga para content creator yang sudah lihai memanfaatkan teknologi informasi.
Banyak aspek yang harus diperhatikan pelaku UMKM agar bisa eksis dan berkembang. Apalagi, menurut para pakar, masa resesi sudah di depan mata.
Salah satu hal penting yang perlu dilakuakan UMKM hadapi resesi tersebut adalah harus cermat dalam menghitung harga pokok.Â
Dengan mengetahui harga pokok yang akurat, tentu memudahkan pelaku usaha dalam menetapkan harga jual ke konsumen.
Paling tidak ada 3 pola perhitungan harga pokok yang tergantung pada jenis usaha, yakni usaha di bidang jasa, bidang perdagangan, dan bidang industri. Mari kita lihat satu persatu.
Pertama, untuk bidang jasa, cara menghitungnya lebih mudah, karena tidak ada barang yang dijual.Â
Konsumen membayar untuk keahlian penjual jasa yang diterimanya, seperti jasa pangkas rambut, jasa pengiriman barang, dan sebagainya.
Tapi, justru karena sederhananya cara menghitung, adakalanya pelaku usaha hanya sekadar mengikuti harga pesaingnya atau sengaja sedikit lebih murah.
Padahal, pelaku usaha jasa harus cermat mengalokasikan semua fixed cost (biaya tetap) ke dalam tarif jasanya. Namun, biaya tetap ini yang sering terlupakan karena bukan pengeluaran rutin sehari-hari. Â
Apa contoh biaya tetap tersebut? Ada banyak sekali. Untuk tukang pangkas rambut tentu perlu biaya sewa kios, investasi berupa kursi khusus untuk pelanggan yang mau dipangkas.
Selain itu, ada pembelian berbagai peralatan, kaca, biaya listrik, uang iuran keamanan dan kebersihan bila kiosnya berada di pasar, dan sebagainya.
Jangan sampai saat memperpanjang kontrak kios, atau saatnya membeli baru berbagai furniture, si pelaku usaha tidak punya dana yang cukup.
Makanya, biaya tetap tersebut perlu dialokasikan ke tarif per pelanggan. Misalnya, rata-rata biaya listrik di kios tersebut Rp 300.000 per bulan.
Sedangkan perkiraan jumlah pelanggan rata-rata 10 orang per hari atau 300 orang selama satu bulan. Artinya, alokasi biaya listrik per pelanggan Rp 1.000.
Nah, hitung pula aloksi biaya sewa kios, investasi khusus untuk kursi dan meja bagi pelanggan, biaya berbagai alat pemangkas rambut, dan sebagainya.
Setelah didapat total aloksi biaya per pelanggan, baru ditetapkan berapa keuntungan yang ingin diraih dari seorang pelanggan.
Tentu, kondisi persaingan serta tarif di beberapa pemangkas rambut yang jadi pesaing, perlu pula dipertimbangkan.Â
Persaingan yang ketat karena banyaknya pemangkas rambut pada lokasi yang berdekatan, akan membuat harga cenderung lebih murah.
Namun, kalau yakin punya kualitas yang lebih baik dan pelayanan yang lebih memuaskan, serta menyasar pelanggan kelas menengah ke atas, maka harga bisa lebih mahal.
Kedua, bagaimana kalau pelaku UMKM bergerak di bidang perdagangan, yang membeli barang untuk dijual kembali?
Tentu, bagi pedagang sudah jelas berapa harga pokok barang yang akan dijualnya, yakni sesuai dengan harga yang dibayarnya kepada distributor/supplier, termasuk ongkos kirim dan pajak pembelian.
Tapi, sama halnya dengan usaha di bidang jasa, jangan lupa untuk mengalokasikan biaya tetap (termasuk upah anak buahnya, jika ada).
Sehingga, harga pokoknya adalah sebesar harga pembelian barang yang akan dijual ditambah dengan alokasi biaya tetap.
Ketiga, bagi yang bergerak di bidang industri, harga pokoknya terdiri dari biaya pembelian bahan baku yang nantinya akan diolah atau diproses menjadi barang jadi.
Kemudian tambahkan dengan biaya produksi yang bersifat langsung (besarnya biaya tergantung jumlah produksi, seperti biaya listrik di bengkel kerja, upah buruh, bahan bakar atau pelumas untuk berproduksi, dan pengemasan barang jadi).
Terakhir, tambahkan lagi dengan alokasi biaya tetap (biaya yang tak tergantung dengan jumlah produksi), seperti sewa kantor, biaya listrik di kantor, dan upah pegawai dengan gaji tetap secara bulanan).
Tulisan di atas hanya bersifat garis besar. Perhitungan secara rinci bisa dipelajari dari berbagai buku teks tentang "Akuntansi Biaya" yang dipelajari mahasiswa jurusan Akuntansi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI