Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Karya Seni: Antara Ekspresi Artistik dan Aspirasi Politik

20 Agustus 2021   11:00 Diperbarui: 20 Agustus 2021   10:59 1795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural protokol kesehatan di Medan|dok. suara.com/Muhlis

Karya seni, terlepas dari apapun definisinya, pada dasarnya merupakan ciptaan yang dibuat seseorang atau sekelompok orang, yang diawali oleh kekuatan imajinasi.

Akan disebut karya seni bila akhirnya hal yang diciptakan itu mengandung nilai artistik, seperti indah untuk dilihat, asyik untuk dibaca, atau merdu untuk didengar. 

Tentu faktor selera konsumen karya seni ikut menentukan apakah sebuah karya seni diterima masyarakat secara luas, atau hanya dihargai oleh kominitas tertentu saja. 

Jadi, lukisan abstrak yang dipuji oleh pakar seni rupa, bisa saja tidak disukai oleh orang awam. Demikian pula novel-novel yang "berat", bisa jadi memenangkan penghargaan internasional, tapi tidak laris di pasaran.

Belum lagi kalau kita membicarakan cabang seni yang lain, seperti musik, tari, drama, film, dan sebagainya. Selalu ada semacam pertentangan nilai antara "seni untuk seni" atau "seni untuk rakyat".

Tapi, bagi sebagian seniman, tidak mempedulikan apakah karyanya akan disukai masyarakat atau tidak, karena lebih mementingkan kepuasan pribadinya dalam menciptakan apa yang menurutnya sebagai karya seni.

Bisa pula seniman menciptakan karya seni sebagai ungkapan perasaannya, sehingga suasana hati saat berkarya akan mempengaruhi. 

Tak heran, ada karya seni yang dibaca oleh orang lain sebagai sebuah bentuk protes atau semacam kritik sosial. Termasuk dalam hal ini sebagai kritik kepada penguasa.

Bukankah pada dasarnya seniman juga manusia biasa yang punya aspirasi politik, meskipun mungkin mereka bukan aktivis politik.

Makanya, seniman adakalanya direspon dengan sikap yang mendua oleh pemerintah. Di satu sisi, seniman dirangkul karena diharapkan peranannya dalam melakukan sosialisasi program pemerintah.

Tapi, di sisi lain, pemerintah belum tentu kuat kupingnya menahan ungkapan seniman yang menyuarakan kritik sosial. 

Di zaman Orde Baru misalnya, penyair W.S. Rendra termasuk yang tidak disukai penguasa ketika itu. Pementasan kelompok teaternya atau pembacaan puisi-puisinya, harus melewati perizinan yang berliku.

Polemik tentang karya seni yang lebih mengutamakan aspirasi politik ketimbang ekspresi artistik, telah lama sekali berlangsung. 

Yang menjadi sasaran tembak bukan saja pihak pemerintah (termasuk pihak penjajah Belanda sewaktu RI belum lahir), tapi bisa saja antar sesama seniman yang berlawanan aliran politiknya.

Di era Orde Lama, dua kubu seniman, khususnya sastrawan, saling bertarung, yakni kelompok Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang onderbouw PKI (Partai Komunis Indonesia) dan sastrawan yang tidak sejalan dengan Lekra.

Sastrawan yang melawan Lekra tersebut membentuk Manikebu (Manifes Kebudayaan). Saat lahir Orde Baru, Lekra akhirnya ditumpas dan tidak eksis lagi.

Nah, yang sekarang ramai dibicarakan adalah berkaitan dengan mural yang menggambarkan wajah yang mirip dengan Presiden Joko Widodo.

Contohnya terdapat di Batuceper, Kota Tangerang, Banten, ada mural bergambar mirip Presiden yang pada bagian matanya ditutupi tulisan: "404: Not Found".

Tak berselang lama, gambar tersebut dihapus atau ditimpa dengan cat hitam. Alasannya, wajah Presiden adalah lambang negara.

Tak berhenti di situ, polisi juga mencari orang yang melukis mural tersebut, seperti ditulis oleh kompas.id (20/8/2021).

Seni mural merupakan sesuatu yang gampang ditemui di berbagai belahan dunia, baik di negara maju, maupun negara berkembang seperti Indonesia.

Secara umum, pengertian mural adalah menggambar atau melukis dengan menggunakan tembok atau dinding. Makanya, mural disebut juga dengan seni jalanan.

Mural yang sekarang banyak ditemui tidak melulu kritik terhadap pemerintah, tapi juga ada yang bertujuan mengkampanyekan agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan.

Agar tidak terkesan pemerintah terlalu jauh mengekang kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat, termasuk ekspresi melalui berbagai karya seni, sebaiknya ada penjelasan dari pemerintah.

Untuk mural misalnya, apa kriterianya yang diperbolehkan atau yang dilarang, sebaiknya ada penjelasan resmi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun