Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tiga Jenis Pembukuan dan Pajak Orang Tajir

8 Juli 2021   13:37 Diperbarui: 8 Juli 2021   14:10 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. online-pajak.com

Tak ada orang yang bisa menghindar dari pajak. Dalam kata sambutannya pada sebuah acara sosialisasi perpajakan, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengibaratkan pembayaran pajak bak kematian yang tak dapat dihindari.

Ada banyak jenis pajak yang berlaku di Indonesia. Bisa jadi seseorang tidak terkena pajak penghasilan karena penghasilannya masih di bawah batas mininal yang dikenakan pajak.

Namun, untuk jenis pajak lainnya, sering tanpa disadari seseorang telah terkena  pajak. Contohnya sewaktu berbelanja, ada yang namanya pajak pertambahan nilai yang dibebankan pada pihak pembeli.

Tulisan berikut ini lebih terfokus membahas pajak penghasilan berkaitan dengan berita adanya rencana pemerintah untuk menaikkan tarif pajak bagi kelompok orang tajir, atau mereka yang penghasilannya jauh di atas rata-rata masyarakat banyak.

Rencana pemerintah tersebut disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat kerja membahas Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (RUU KUP) bersama Komisi XI DPR RI, Senin (28/6/2021).

Seperti yang ditulis Kompas.com (28/6/2021), orang superkaya dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar akan mengalami kenaikan tarif pajak sebesar 35 persen.

Dilihat dari sisi keadilan pajak, persentase tarif yang lebih besar terhadap orang tajir, tentu dapat dipahami. Dengan catatan, dari pajak yang dikumpulkan pemerintah, nantinya lebih banyak disalurkan untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah.

Masalahnya bukan kepada besaran tarif pajak, tapi lebih kepada kepatuhan wajib pajak untuk membayar secara tepat waktu dan tepat jumlah.

Meskipun belum didukung data kuantitatif, jika melihat berita di media massa, justu yang ngemplang utang pajak kebanyakan dari kelompok orang tajir atau dari perusahaan kelas menengah ke atas.

Ironisnya, niat curang wajib pajak di atas semakin klop dengan adanya oknum aparat perpajakan yang mau diajak "main mata". Tentu, si oknum akan mendapat bagian, hanya saja tidak akan sebesar jumlah utang pajak yang seharusnya dibayar si orang tajir.

Mereka yang bermain mata itu tetap membayar pajak ke kas negara, tapi dengan dasar laporan penghasilan yang telah diturunkan, menjadi jauh lebih kecil dari penghasilan sesungguhnya.

Kalau mendengar cerita selentingan dari orang yang memahami akuntansi atau pembukuan, konon katanya sudah biasa bagi seseorang atau bagi sebuah perusahaan untuk melaporkan pendapatan yang lebih rendah dari yang sesungguhnya, agar pajaknya lebih kecil.

Tudingan bahwa ada perusahaan yang membuat dua atau tiga jenis pembukuan, bisa jadi bukan isapan jempol belaka, meskipun untuk pembuktiannya perlu penelitian lebih dalam. Ketiga jenis pembukuan tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, pembukuan yang sesuai kenyataan alias yang asli, apa adanya. Catatan ini menjadi pegangan pihak manajemen dan pemilik perusahaan untuk mengevaluasi kemajuan perusahaan serta menyusun strategi ke depan.

Kedua, pembukuan yang dipercantik. Pendapatannya dibesar-besarkan, atau istilah akuntansinya overstated. Sedangkan untuk biaya dikecil-kecilkan atau understated.

Pembukuan versi cantik ini sering juga disebut dengan window dressing, biasanya ditujukan buat pihak bank, agar perusahaan dipercaya menerima kucuran kredit yang lebih banyak. Atau, dalam rangka ikut beauty contest memenangkan tender suatu proyek.

Ketiga, pembukuan yang diperjelek, tentu dengan cara kebalikan dari versi kedua, yakni dengan understated pendapatan dan overstated biaya. Nah, inilah yang menjadi dasar laporan ke instansi perpajakan.

Kembali ke soal tarif pajak untuk kelompok superkaya, akan lebih efektif bila juga diikuti oleh tingkat kepatuhan wajib pajak yang lebih baik, dan juga kemampuan pihak perpajakan dalam mendeteksi kecurangan dalam pelaporan oleh wajib pajak.

Tapi, khusus tentang besaran tarif persentase pengenaan pajak, selama ini memang terlihat kurang mendukung prinsip keadilan pajak. Soalnya, berapapun penghasilan seseorang, asal di atas Rp 500 juta per tahun, sama-sama terkena 30 persen. 

Jumlah Rp 500 juta per tahun tersebut, untuk saat ini setara gaji dan bonus seorang kepala cabang di sebuah perusahaan berskala nasional. Dan ini disamakan tarif pajaknya dengan penghasilan seorang direktur perusahaan besar yang penghasilannya di atas Rp 10 miliar per tahun. 

Selengkapnya tentang ketentuan tarif pajak penghasilan orang pribadi,  sampai saat ini ada empat lapis tarif, yakni sebagai berikut ini.

Pertama, untuk penghasilan sampai dengan Rp 50 juta dalam satu tahun, dikenakan pajak 5 persen.

Kedua, untuk penghasilan di atas Rp 50 juta sampai Rp 250 juta dalam satu tahun, dikenakan pajak 15 persen.

Ketiga, untuk penghasilan di atas Rp 250 juta sampai Rp 500 juta dalam satu tahun, dikenakan pajak 25 persen.

Keempat, untuk penghasilan di atas Rp 500 juta sampai berapa pun juga, dikenakan pajak 30 persen.

Nah, rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani, akan dibuat lapis kelima, yakni untuk penghasilan di atas Rp  5 miliar dalam satu tahun, dikenakan pajak 35 persen.

Apakah rencana tersebut akan berlaku segera? Kita tunggu saja perkembangan lebih lanjut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun