Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Jeritan Sopir Angkutan dan Larangan Mudik Lokal yang Membingungkan

2 Mei 2021   10:00 Diperbarui: 2 Mei 2021   10:27 1503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil travel gelap yang terjaring Polda Metro Jaya tahun lalu (dok. humas polda metro jaya. dimuat beritasatu.com)

Bahwa ada larangan mudik pada perayaan idulfitri tahun ini, tidak saja bagi pegawai negeri, tapi berlaku juga bagi masyarakat umum, sudah sama-sama kita ketahui.

Mendengar kata mudik tersebut, biasanya yang terbayang adalah pergerakan manusia dari kota besar, contohnya Jakarta dan sekitarnya, menuju berbagai kawasan di Pulau Jawa, Sumatera, dan kawasan lain di seluruh nusantara.

Namun, untuk tahun ini, pergerakan massal seperti yang dibayangkan di atas, tidak akan terlihat. Ini sudah tahun kedua adanya larangan mudik demi mengendalikan pandemi Covid-19.

Tapi, dalam pikiran banyak orang, bisa jadi tidak ada larangan untuk melakukan bepergian dalam rangka berlebaran untuk jarak tempuh yang relatif dekat.

Masalahnya, tentang ketentuan mudik lokal, dalam arti pergerakan antar kota atau kabupaten dalam provinsi yang sama, tampaknya di masing-masing provinsi berbeda-beda peraturannya.

Kebetulan di sebuah grup WA yang berisikan saudara-saudara saya serta anggota famili lainnya, terjadi diskusi yang simpang siur terkait mudik lokal ini dan cenderung membingungkan.

Awalnya, banyak di antara kami yang sudah merencanakan berlebaran di Payakumbuh, kota kelahiran saya dan sekarang kakak tertua saya tinggal di sana.

Setelah adanya larangan mudik, saya dan famili lain yang tinggal di Jabodetabek memutuskan membatalkan rencana tersebut. Tapi famili lain yang tinggal di Riau dan Sumatera Utara tetap merasa masih berpeluang untuk pulang kampung.

Soalnya, untuk ke Payakumbuh, meskipun sudah beda provinsi dengan Pekanbaru, jaraknya hanya 188 km atau dapat ditempuh dalam waktu sekitar 4 jam perjalanan dengan kendaraan pribadi atau naik travel.

Namun, mencermati berita yang beredar, ditafsirkan bahwa lintas antar provinsi tidak diperkenankan oleh pemerintah. Maka, buyarlah rencana keluarga yang di Riau dan Sumut untuk ke Sumbar.

Nah, sekarang yang sesama tinggal di Sumbar, kebetulan famili saya ada yang tinggal di Padang, Sawahlunto dan Padangpanjang. Semuanya kompak ingin berlebaran di Payakumbuh, karena penafsiran mereka mengatakan tak ada larangan bepergian antar kota di Sumbar.

Tapi, yang tinggal di Riau, ternyata berbeda perlakuannya. Saudara saya tersebar di Pekanbaru, Duri, dan Dumai. Ternyata, tulis adik saya yang tinggal di Duri, ia tak bisa berlebaran ke tempat kakak di Dumai. 

Padahal, sejak lintas Pekanbaru-Duri-Dumai terhubung lewat tol yang belum lama diresmikan Presiden Joko Widodo, waktu tempuh dari Pekanbaru ke Dumai hanya sekitar 2,5 jam. Apalagi dari Duri ke Dumai, tidak sampai 1 jam.

Untuk mengkonfirmasi ini saya mencari berita daring. Dan memang ada saya temui berita yang relevan, antara lain di detik.com (28/4/2021). Disebutkan bahwa polisi menyekat akses ke Pekanbaru, sehingga warga dari luar kota Pekanbaru yang mau membeli baju baru disuruh putar balik.

Di Medan, ada kerabat saya yang anaknya bekerja di Tanjung Balai. Beberapa hari terakhir ini, kerabat saya itu resah sekali karena dari berita yang diterimanya, jalur Tanjung Balai-Medan tertutup pada periode larangan mudik.

Saya pernah menonton siaran berita televisi, untuk kota Medan dibolehkan mudik lokal yang hanya selingkup Medan, Deli Serdang, Binjai dan Karo. Artinya, Tanjung Balai yang berjarak tempuh sekitar 4 jam dari pusat kota Medan tidak diperkenankan.

Sungguh tidak terbayang sama kerabat saya itu, bagaimana caranya anak bujangnya akan berlebaran seorang diri di tempat kos di Tanjung Balai. Hingga kini, KTP si anak masih KTP Medan dan ikut kartu keluarga orang tuanya.

Terlepas dari jeritan hati kerabat saya itu, masih dari Sumatera Utara, kebetulan dari sebuah postingan di media sosial, saya membaca jeritan hati sopir angkutan di Padang Sidimpuan.

Intinya, atas nama para sopir, si penulis memohon kepada gubernur, bupati, dan walikota agar tidak menutup pintu keluar masuk provinsi. Soalnya, ini sama saja dengan menutup mata pencaharian mereka.

Para sopir tersebut tidak saja butuh uang untuk anak istrinya agar bisa makan sehari-hari, tapi juga untuk cicilan kredit mobil yang dioperasikannya. Sopir angkutan ini merupakan salah satu kelompok masyarakat yang tidak menerima tunjangan hari raya (THR).

Dengan kalimat yang agak keras, terbaca di tulisannya seperti berikut: "Kenapa harus kami yang dikorbankan karena ketakutan kalian yang tidak kami takuti. Yang kami takuti apabila anak dan istri kami mati kelaparan, siapakah yang bertanggung jawab?"

Mungkin kalau dibilang para sopir tak takut dengan Covid-19, perlu dipertanyakan juga. Tapi, bayangkan kalau kita di posisi mereka, betapa pedihnya menghadapi lebaran tanpa penghasilan?

Atau, mungkin pemerintah sudah bergerak memberikan bantuan sosial, sehingga para sopir angkutan, dan juga banyak profesi lain yang kehilangan pendapatan tanpa menerima THR, masih bisa tersenyum di hari lebaran.

Tapi, sosialisasi dari pemerintah di masing-masing daerah, terkait aturan larangan mudik, harus lebih digencarkan, agar penafsiran masyarakat tidak simpang siur dan bisa mematuhinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun