Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Selain Sektor Pendidikan, Wanita Mendominasi Sektor Kesehatan

5 April 2021   12:06 Diperbarui: 5 April 2021   12:09 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita pandemi Covid-19 dari berbagai penjuru tanah air yang ditayangkan di layar kaca, telah membuka mata saya, bahwa ternyata Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan di kabupaten/kota, termasuk juga di level provinsi, sebagian besar dijabat oleh wanita.

Sebelum ada pandemi, berita yang menjadikan pejabat dari instansi kesehatan di daerah-daerah sebagai sumber liputan, relatif jarang mengemuka. Tapi, setahun terakhir ini, wajah kepala dinas kesehatan, dari ujung barat di Aceh, hingga ujung timur di Papua, cukup sering menghiasi layar kaca.

Tidak hanya kepala dinas, tapi pejabat di bawahnya, seperti kepala seksi atau kepala puskesmas, juga lumayan banyak yang dijabat oleh wanita. Demikian pula di tingkat pusat, banyak personil Satgas Pengendalian Covid-19 yang diisi para wanita.

Dan, itu tadi, saya baru menyadari bahwa wanita di Indonesia, paling tidak dilihat dari sisi sumber daya manusia yang terlibat menangani masalah kesehatan, sudah lumayan maju.

Perlu diketahui, para kepala dinas itu boleh dikatakan semuanya dokter. Artinya, tentu mereka sebelumnya telah menyelesaikan kuliah di fakultas kedokteran.

Lalu saya teringat tulisan seorang dokter senior yang megasuh rubrik konsultasi kesehatan di harian Kompas, yang rutin muncul setiap Sabtu. Kata dokter tersebut, sejak belasan tahun terakhir,  ada kecenderungan yang kuliah di fakultas kedokteran didominasi oleh wanita.

Di keluarga besar saya sendiri, (kakak, adik, termasuk ipar dan keponakan), ada 1 orang dokter spesialis, 4 orang dokter umum, dan 1 orang dokter gigi. Dari 6 orang dokter tersebut, hanya 1 orang yang laki-laki.

dok. mcw.edu, dimuat idntimes.com
dok. mcw.edu, dimuat idntimes.com
Kecendrungan wanita lebih banyak kuliah di fakultas kedokteran, tidak hanya dialami Indonesia. Tapi, di luar negeri pun terjadi hal serupa. Jadi, ini bukan fenomena yang khas Indonesia.

Padahal, tugas sebagai dokter relatif membutuhkan fisik yang kuat, terutama bila ditempatkan di daerah yang relatif terisolir. Atau, kalau istilah sekarang disebut dengan kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar).

Tapi, stigma bahwa fisik wanita kurang mendukung untuk bekerja di pelosok, tidak bisa diterima begitu saja. Justru banyak dokter wanita yang baru lulus yang betah ditempatkan di daerah seperti itu.

Di luar dugaan, sebagian dokter pria malah berusaha dengan berbagai cara menembus birokrasi, agar ditempatkan di tempat yang lebih ramai. Dulu, konon perlu kasak-kusuk agar seorang dokter yang ASN bisa ditugaskan di daerah yang sudah relatif maju.

Nah, kenapa demikian banyak pejabat di Kementerian Kesehatan atau Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten dan Kota, yang dijabat oleh perempuan, sudah terjawab. Hal ini karena mayoritas personilnya memang perempuan.

Tapi, karena Menteri Kesehatan sudah empat kali dijabat oleh wanita, yakni Siti Fadilah Supari, Endang Rahayu Sedyaningsih, Nafsiah Mboi, dan Nila Moeloek, jelas menunjukkan kapasitas dokter wanita memang hebat.

Atau, apakah Presiden yang mengangkatnya karena "terpaksa" memilih wanita, sehubungan dengan kuota menteri wanita harus minimal sekian persen dari keseluruhan menteri?

Kalaupun memang begitu, jangan sampai mengurangi apresiasi kita pada sepak terjang para dokter wanita. Inilah buktinya, di zaman sekarang pendidikan perempuan semakin maju.

Dengan banyaknya wanita yang berkiprah sebagai dokter, semakin lengkaplah sektor jasa kesehatan didominasi oleh kaum hawa ini. Sebelumnya, profesi perawat, apoteker, atau profesi lain yang menjadi bagian dari pelayanan jasa kesehatan, telah lebih dahulu dirajai wanita.

Sebelum itu lagi, perempuan menjadi mayoritas dalam profesi guru atau pendidik. Cobalah berkunjung ke sekolah-sekolah (kalau sudah mulai belajar pakai sistem tatap muka), dapat dipastikan jumlah ibu guru lebih banyak dari bapak guru.

Maka, tak dapat dipungkiri, dilihat dari sisi itu, telah banyak kemajuan yang diraih perempuan Indonesia. Sudah hal lazim sekarang ini, para wanita mempunyai gelar kesarjanaan. Bukankah para guru saat ini kebanyakan sudah lulus S-1?

Namun demikian, di lain pihak, masih saja kita membaca berita tentang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, menderita kekurangan gizi, dipaksa orang tua untuk menikah di usia dini, atau dikebiri hak-haknya sebagai asisten rumah tangga atau tenaga kerja wanita (TKW).

Mudah-mudahan dengan banyaknya wanita yang memegang jabatan, jumlah wanita yang secara sosial dan ekonomi nasibnya tersisihkan, bisa semakin berkurang.

Dengan demikian, cita-cita pahlawan nasional Raden Adjeng Kartini, yang menjadi pelopor kebangkitan perempuan Indonesia (ketika masih disebut sebagai pribumi di masa kolonial Belanda), bisa tercapai sepenuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun