Ketujuh, pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang, karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoaks.
Kedelapan, pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses, karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.Â
Kesembilan, pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi, karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.
Melihat begitu banyak pasal karet, wajar bila Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan seperti telah ditulis di bagian awal tulisan ini. Masalahnya, dari siaran berita di beberapa stasiun televisi nasional, terkesan bahwa permintaan untuk merevisi UU ITE, murni sebagai pemikiran dari Presiden, dan belum disambut dengan frekuensi yang sama oleh kementerian terkait.Â
Pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) seperti diberitakan TVRI, Jumat siang (19/2/2021), menyatakan sedang membuat pedoman penafsiran UU ITE yang sekarang berlaku.Â
Jadi, secara tak langsung, pihak Kominfo merasa UU-nya sendiri tidak bermasalah, hanya penfsirannya di lapangan yang belum ada pedomannya, sehingga menjadi multitafsir.Â
Akibatnya, sejak UU tersebut diterapkan, telah memakan lebih dari 200 korban, di antaranya para jurnalis, aktivis, artis, dan warga biasa. Kekaburan batasan antara melakukan kritik dan melakukan penghinaan atau ujaran kebencian, ditengarai sebagai penyebab utamanya.
Namun demikian, mengingat permintaan Presiden harus diartikan sebagai instruksi, maka sekarang Kementerian Kominfo membentuk 2 tim, yakni tim yang melanjutkan membuat pedoman penafsiran UU ITE dan tim yang akan mengkaji dan merevisi UU-ITE.
Di lain pihak, merevisi UU tidak selesai di tingkat pemerintah semata, namun harus pula dibahas dan disetujui DPR RI. Menarik mencermati pendapat seorang anggota DPR, Effendi Simbolon, yang berasal dari PDI Perjuangan (satu partai dengan Presiden Joko Widodo).
Sebagai narasumber wawancara yang ditayangkan langsung oleh TVRI, Effendi terang-terangan tidak mendukung revisi UU ITE. Bahwa ada yang dinilai oleh sebagian pengamat sebagai pasal karet, oleh Effendi ditantang untuk berbicara lebih tegas, karena menurutnya tidak ada pasal karet.Â
Jika ada seseorang yang mengadukan ke pihak berwajib, bukankah nanti pengadilan yang akan membuktikan bersalah atau tidaknya pengaduan itu, begitu kira-kira pemikiran Efendi.