Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Terlalu Banyak Grup WhatsApp Gara-gara "Grup dalam Grup"

23 Januari 2021   06:32 Diperbarui: 23 Januari 2021   10:17 1829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: pixabay.com)

Kehebohan para pengguna aplikasi WhatsApp (WA) yang bingung apakah mau berlanjut memakai aplikasi itu atau menghentikannya dan beralih ke aplikasi lain yang serupa, mulai mereda. Pihak pegelola WA sudah mengumumkan menunda rencana berbagi data dengan aplikasi Facebook (FB) yang menjadi sumber kehebohan itu.

Bagi saya sendiri, memang dengan sadar memilih untuk melanjutkan menggunakan WA, karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap aplikasi yang menurut saya paling praktis itu. Tentu saja saya akan lebih berhati-hati untuk tidak serampangan memposting hal yang harus saya rahasiakan.

Ketergantungan saya tersebut terutama berkaitan dengan keikutsertaan saya di banyak grup WA. Saya hitung-hitung, ada sekitar 25 grup WA yang saya ikuti, meskipun sebagian di antaranya, saya adalah anggota pasif. 

Ada keinginan saya untuk cabut dari beberapa grup, sebagian di antaranya sudah saya lakukan (kalau ini dihitung, grup WA saya jadi sekitar 30-an grup), sebagian lagi saya masih merasa sungkan.

Kalau saya kelompokkan, grup-grup tersebut terdiri dari grup dinas, grup sosial, dan grup keluarga. Soal reuni teman sekolah atau kuliah, kelompok pengajian, warga satu komplek, komunitas penggemar sesuatu, dan grup perantau satu kota asal, saya kelompokkan sebagai grup sosial.

Lalu, yang saya maksud dengan grup dinas, definisinya juga cukup longgar. Umpamanya di kantor ada sebuah proyek yang melibatkan personil lintas divisi, agar memudahkan koordinasi, dibuatlah grup WA. Tentu yang terpenting adalah grup yang beranggotakan semua personil di suatu unit kerja tertentu, dari bos sampai yang kroco. 

Di grup tersebutlah bos sering memberi instruksi, yang mau tak mau harus dijawab "siap, bapak". Instruksi datang tidak mengenal waktu, bisa di luar jam kerja, bahkan di hari libur, meskipun nanti ditagihnya pada hari kerja setelah libur.

Saya lama ditempatkan di Divisi Akuntansi pada sebuah perusahaan milik negara. Ketika akhirnya dipindahkan ke Divisi Manajemen Risiko, otomatis bertambah lagi gup WA saya dengan grup divisi baru. Saya memang cabut dari grup pekerja divisi yang lama, tapi kemudian masuk ke grup Alumni Divisi Akuntansi. 

Ada juga grup Keluarga Besar Divisi Akuntansi yang beranggotakan para pekerja yang sekarang di divisi tersebut dan para alumni. Ada lagi, teman-teman sesama divisi yang satu geng sekitar 10 orang saja. Nah, makanya jumlah grup WA yang berkaitan dengan orang kantor yang saya ikuti lumayan banyak.

Yang jelas, jika dalam grup ada atasan langsung, grup akan sepi, ibaratnya betul-betul untuk dinas tanpa ada yang becanda. Tapi, jika tak ada bos di grup itu, bersliweran postingan berbagai topik, dari yang porno hingga yang religius, dari yang lucu hingga cerita duka.

Bila ada anggota yang ulang tahun, menikah atau menikahkan anaknya, dirawat di rumah sakit, meninggal dunia, maka postingan copy & paste (salin dan tempel) akan menjadi-jadi. Anggota yang jarang nongol, akan nongol.

Grup WA yang berkaitan dengan keluarga juga mirip saja dalam arti relatif banyak. Soalnya, ada fenomena "grup dalam grup", atau dalam sebuah grup besar, beberapa orang di antaranya membentuk grup baru dengan anggota sangat terbatas. 

Ada grup keluarga inti, yang hanya saya dan kakak-adik. Ada keluarga inti yang diperluas dengan memasukkan anak, keponakan dan ipar. Ada lagi grup yang sangat besar, karena termasuk pula para sepupu, om, tante, dan famili lainnya.

Juga ada grup keluarga yang hanya merupakan famili dari pihak ayah saya, ada juga yang dari pihak ibu saya, dan tentu juga ada yang gabungan. Makanya, tidak saja "grup dalam grup", tapi banyak pula yang beririsan. Hal ini tak terelakkan, karena ada informasi yang ditujukan untuk ramai-ramai dan ada yang relevan untuk sebagian orang.

dok. Reuters/Dado Ruvic, melalui kontan.co.id
dok. Reuters/Dado Ruvic, melalui kontan.co.id
Anggota grup harus berhati-hati, jangan menyampaikan komentar di grup yang keliru. Memang bisa dihapus, tapi bila terlanjur dibaca sebagian anggota yang tidak berkepentingan, maka informasi (dalam beberapa hal juga berupa kritik tajam, kecaman, dan gunjingan) yang bersifat rahasia, akan gampang tersebar. 

Baik, kembali ke grup yang berkaitan dengan tugas kantor, saya masih ikut beberapa grup dadakan yang sebetulnya bersifat temporer, tapi tidak kunjung dibubarkan. Ini yang sempat saya singgung sebelumnya, bahwa saya ingin cabut, tapi sungkan. Jadilah saya anggota pasif tanpa memberikan komen dan juga tidak menanggapi komen orang lain.

Contohnya, tahun 2016 saya ikut pelatihan bidang manajemen risiko di Cambridge, Inggris, selama satu minggu. Pesertanya terdiri dari pekerja dari beberapa perusahaan, kebanyakan perusahaan milik negara. Begitulah, betapa gampangnya membuat grup WA, tapi agak sulit membubarkannya.

Tak heran, beberapa grup yang saya ikuti sebetulnya berstatus mati suri. Di antaranya adalah grup yang dibentuk oleh seorang teman kuliah yang megajak saya dan beberapa teman untuk jalan-jalan ke Vietnam tahun 2018. Jalan-jalannya hingga sekarang tidak terwujud dan tak ada lagi perbincangan di grup.

Apapun juga, terlepas dari masalah berbagi data dengan FB, WA telah banyak membantu saya dalam pelaksanaan tugas kantor. Juga untuk bersosialisasi dengan famili dan teman-teman. 

Dengan berbagai pertimbangan, terutama mengingat keberadaan grup WA yang saya ikuti, maka saya memutuskan untuk tetap setia bersama WA, sambil wait and see, apa yang akan terjadi nantinya.

Sebetulnya, bagi seseorang yang memilih berhenti menggunakan WA, lalu memilih aplikasi lain, pada prinsipnya sama, jangan sembarangan mengumbar hal yang sensitif atau bersifat sangat pribadi di media sosial apapun juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun