Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Membangun Kultur Wirausaha Tak Bisa Sekejap Saja

13 November 2020   00:01 Diperbarui: 14 November 2020   07:53 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi fokus menjalani bisnis. (sumber: pixabay.com/geralt)

Bahkan, di level atas pun, para pengusaha yang sudah mapan, ikut-ikutan mendegradasi jiwa wirausahanya, dengan ramai-ramai terjun ke dunia politik. Ada kesan, pengusaha yang sukses memerlukan "kolaborasi" yang baik dengan aparat pemerintah, agar semakin berkembang. Jadi, pengusaha yang jadi politisi, besar kemungkinan akan membuat kebijakan yang menguntungkan bisnis yang dipegangnya.

Pemerintah sendiri sudah punya berbagai program untuk meningkatkan usaha mikro dan kecil. Ada program pendampingan dari Kementerian UMKM dan Koperasi, yang sayangnya belum efektif karena staf pendamping adalah para PNS yang menguasai teori, tapi belum tentu paham praktik.

Sekarang, maksudnya sejak pandemi Covid-19, pemerintah juga memberikan pelatihan bagi pemegang kartu prakerja. Kemudian, pelaku usaha mikro dan kecil yang terdampak pandemi juga mendapat bantuan langsung tunai (BTL).

Ada pula yang namanya sistem inkubator, program bapak angkat, dan berbagai program yang diinisiasi oleh pihak korporasi melalui Corporate Social Responsibility (CSR)-nya.

Masalahnya, pandangan masyarakat terhadap pengusaha kecil cenderung masih merendahkan. Meskipun bila ada pelaku usaha kecil yang naik kelas jadi level menengah, paling tidak, terlihat dari penampilan dan kekayaannya, baru masyarakat tidak lagi memandang dengan sebelah mata. 

Tingkat pendidikan yang semakin tinggi ternyata lebih banyak menghasilkan barisan panjang pencari kerja. Maka, istilah pengangguran intelektual pun semakin sering mengemuka bagi para sarjana yang memilih menganggur ketimbang memulai usaha sendiri.

Jadi, dalam rangka membangun kultur wirausaha, yang harus diakui tidak bisa dalam sekejap saja, yang paling tepat memang melalui dunia pendidikan. Kepada para generasi penerus sebaiknya ditanamkan nilai-nilai kewirausahaan sejak sekolah menengah dan akan lebih intens pada saat kuliah.

Materi kewirausahaan tidak hanya diberikan pada mahasiswa fakultas ekonomi, tapi relevan bagi semua fakultas. Bukankah apapun juga bisa dibisniskan? Ada bisnis rumah sakit bagi mahasiswa kedokteran, law firm bagi mahasiswa ilmu hukum, biro arsitek bagi mahasiswa arsitektur, dan sebagainya. Bahkan, mahasiswa ilmu agama pun bisa diberikan materi bisnis syariah.

Kemudian, media massa perlu mengangkat kisah sukses para pelaku bisnis. Tidak hanya membagikan kiat sukses, tapi juga lengkap mengisahkan jatuh bangunnya. Tak ada wirausaha yang langsung besar, harus dari skala kecil, kecuali usaha warisan keluarga yang sudah kaya.

Berita positifnya, melihat perkembangan terkini, perdagangan online sudah semakin marak dan bisnis startup juga berhasil menarik perhatian anak muda. Mudah-mudahan inilah awal kebangkitan jiwa wirausaha, ketika lulusan perguruan tinggi terutama di kota besar, mulai tidak lagi sekadar berburu pekerjaan, justru menciptakan pekerjaan untuk dirinya sendiri, dan bahkan untuk orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun