Sebetulnya, Kementerian BUMN memang sudah merencanakan pendirian superholding sewaktu Rini Soemarno menjadi Menteri BUMN. Bahkan waktu itu sudah dibuat roadmap-nya, dimulai dengan pembentukan holding untuk beberapa BUMN yang sejenis bidang usahanya. Beberapa holding sudah terbentuk seperti di sektor perkebunan, semen, pupuk, perhutani, tambang, dan migas.Â
Sekiranya konsep Rini masih dipakai, setelah semua sektor membentuk holding, nantinya akan dibentuk superholding yang kira-kira seperti Temasek di Singapura atau Khazanah di Malaysia. Dengan demikian, fungsi Kementerian BUMN pun akan diambil alih oleh superholding tersebut.
Jadi, hirarkinya kurang lebih seperti ini; superholding membawahi beberapa holding, di mana setiap holding membawahi beberapa BUMN yang bidang bisnisnya mirip atau bersisian.
Tentu saja dengan terbentuknya superholding dan bubarnya Kementerian BUMN, proses pengambilan keputusan akan lebih cepat, tidak lagi terkesan birokratis, dan faktor yang dipertimbangkan semata-mata faktor bisnis, bukan politis dan administratif.
Memang begitulah konsep idealnya, bahwa BUMN sebagai sebuah perusahaan tentu harus mengedepankan kinerjanya secara bisnis. Hal ini bukan berarti melupakan tanggung jawab sosialnya, karena selalu ada aksi berupa corporate social responsibilities di setiap BUMN.
Nah, apakah Erick Thohir masih akan meneruskan konsep superholding atau memodifikasinya atau malah membuangnya, ini yang perlu disampaikan oleh pihak Kementerian BUMN.
Kesimpulannya, gaya Ahok memang sudah dari sononya keras. Tapi bagi yang tidak setuju, jangan buru-buru langsung menghajar balik Ahok. Substansinya yang perlu dicermati, bukan ketersinggungan gara-gara gaya bicara Ahok.
Apakah Ahok harus dicopot dari posisi Komut Pertamina? Rasanya lebih baik diberikan waktu yang cukup bagi Ahok untuk menunjukkan kemampuannya. Mudah-mudahan saja tata kelola di perusahaan minyak kebanggaan Indonesia itu, bisa menjadi lebih baik.