Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Patriarki di Kantor, Nakalnya Bapak-bapak dan Kewaspadaan Ibu-ibu

20 September 2020   09:03 Diperbarui: 20 September 2020   09:08 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah terlalu sering saya mendengar nasehat Pak BS, beliau direktur utama selama dua periode sejak 2005 hingga 2015, di perusahaan milik negara tempat saya berkarir ketika itu. Nasehatnya bukan terkait bagaimana meningkatkan produktivitas atau bagaimana menggaet sebanyak mungkin pelanggan, tapi soal mengendalikan syahwat kelelakian.

Tentu bukan tanpa alasan sang dirut menyelipkan nasehat yang bersifat pribadi seperti itu pada saat memberikan kata sambutan di depan para kepala divisi, kepala wilayah, hingga kepala cabang. Soalnya, berdasarkan temuan pihak audit internal perusahaan, setelah kasus perkreditan (BUMN tersebut bergerak di bidang perbankan), kasus terbanyak yang dianggap melanggar disiplin kepegawaian adalah menyangkut urusan syahwat.

Entah sudah berapa banyak pejabat dan karyawan yang terkena hukuman jabatan, baik berupa teguran tertulis, hingga penurunan pangkat, pencopotan jabatan, bahkan hingga pemecatan, gara-gara perbuatan tidak senonohnya yang akhirnya mencemarkan nama baik perusahaan. Ada yang bikin affair dengan karyawati yang menjadi bawahannya, dengan teman kerjanya, dengan rekanan, dengan nasabah, dan sebagainya.

Yang saya ingat dari nasehat sang dirut adalah, beliau sebetulnya akan tutup mata terhadap apapun kasus perselingkuhan para bawahannya itu, sepanjang tidak ada yang merasa dirugikan, sehingga tidak ada yang membuat laporan untuk ditindaklanjuti pihak audit. Jika tidak yakin akan tidak adanya pengaduan pihak lain, lebih baik "beli sate" ketimbang "memelihara kambing".

Tapi, dalam hati saya mengatakan, "beli sate" pun tetap bergelimang dosa dan bisa-bisa juga bergelimang penyakit berbahaya. Sungguh tidak seimbang, demi kenikmatan beberapa menit, risikonya ditanggung di dunia dan akhirat.

Maka tak ada jalan lain, sebetulnya rumusnya sederhana saja. Harus setia dengan pasangan di rumah, kendalikan nafsu, dan perbanyak kegiatan lain seperti beribadah dan olahraga, agar tidak punya waktu untuk melamunkan hal-hal yang jorok.


Namun demikian, saya tidak serta merta mencap jelek para senior saya dan juga beberapa teman kerja saya yang sempat tersesat. Sebagian malah karirnya melesat, tapi saya tidak menyinggung aibnya yang secara moral jelas bukan contoh yang baik. 

Menurut saya, masing-masing orang sudah punya garis tangan dan rezeki tidak akan tertukar. Mereka yang tersesat dan kemudian bertobat, tetap perlu diapresiasi karena lebih baik dari mereka yang terbenam dalam lumpur terus menerus.

Mereka yang tersesat pun bisa dipilah-pilah, ada yang dari sononya sudah nakal, ada yang terbawa-bawa teman lain, dan ada yang memang karena menjalankan tugas. Lho kok ada menjalankan tugas yang menabrak lampu merah begitu?

Ceritanya begini (sebagai salah satu contoh). Ada teman saya, sebut saja namanya Erwin. Ia mendapat tugas untuk mendampingi tim auditor eksternal dari sebuah instansi yang lagi melakukan pemeriksaan tahunan. Erwin yang supel memang dipercaya untuk melakukan lobi-lobi agar temuan audit tidak terlalu berdampak terhadap kinerja perusahaan.

Masalahnya, setelah pemeriksaan selesai dengan hasil sesuai harapan pihak direksi, tim auditor meminta imbalan tidak sekadar amplop (ketika itu KPK baru berdiri dan belum begitu menakutkan), tapi juga minta refreshing di sebuah tempat hiburan malam. Awalnya hanya berkaraoke bersama, tapi akhirnya minta dipesankan 3 orang penari striptis.

Oke, itu mungkin termasuk hal kecil. Ada seorang senior saya yang setiap mendapat kesempatan dinas ke luar Jakarta (tempat saya bekerja punya kantor cabang di semua kabupaten), di malam hari selalu punya ritual khusus dengan kelayapan, ya untuk beli "sate" seperti yang diceritakan sang dirut di atas. Dengan bangganya ia bercerita sudah mencicipi beragam jenis "sate".

Sedangkan yang mempunyai wanita idaman lain (WIL), dari yang sekadar teman tapi mesra (TTM), sampai yang dinikahi secara siri, tidak sulit menemukannya. Di setiap divisi atau di setiap kantor cabang, ada saja yang seperti itu.

Bagaimanapun juga, budaya orang kantoran, sampai sekarang masih bersifat patriarki, yakni dunianya orang laki-laki, meskipun wanita yang jadi pejabat mulai semakin banyak. Makanya, perilaku bapak-bapak yang sengaja mengumbar cerita porno di depan para pekerja wanita, atau yang suka pegang-pegang wanita, baik sekadar memegang tangan, maupun bagian tubuh lainnya, menjadi hal yang biasa.

Berat sebetulnya bagi para karyawati, baik ibu-ibu maupun yang masih lajang, untuk bisa beradaptasi dengan budaya patriarki di suatu instansi atau perusahaan. Apalagi bila sering bekerja lembur hingga malam. 

Namun bagaimanapun juga, wanita di zaman sekarang memang sudah lazim ikut mencari nafkah. Hal ini juga akan menguntungkan agar tidak terlalu bergantung secara ekonomi kepada suami, sehingga bila terjadi perceraian atau suami meninggal dunia, biaya untuk kehidupan sehari-hari masih bisa ditutupi. 

Tentu fenomena perempuan yang ikut bekerja di sektor formal menyebabkan pekerjaan rumah tangga sedikit keteteran. Akhirnya harus punya asisten rumah tangga untuk melakukan berbagai tugas rumah tangga tersebut.

Ada memang jenis pekerjaan yang relatif aman bagi wanita, seperti menjadi guru. Tak heran bila mayoritas guru adalah wanita. Meskipun profesi guru tidak steril dari perselingkuhan, namun karena tidak dominan laki-laki, godaannya tidak sebesar di kantor.

Adapun bagi wanita yang bekerja di kantor, sebaiknya mampu bersikap tegas menolak ajakan lelaki teman kerjanya, atasannya, atau rekanannya, untuk pergi berduaan saja. Bila pergi berdua merupakan bagian dari penugasan yang tak bisa ditolak, harus selalu waspada, agar tidak memberi ruang bagi teman kerja untuk memanfaatkan kesempatan ke hal-hal yang bersifat pribadi. 

Namun demikian, tak dapat dipungkiri, ada juga karyawati yang larut menikmati budaya  patriarki itu. Ada yang bangga menjadi "dayang-dayang" yang selalu mendampingi si bos. Ada malah yang duluan menggoda si bos, agar sering ditraktir, sering diberi bingkisan, sampai yang ingin gampang naik pangkat.

Bekerja menjadi orang kantoran, baik bagi laki-laki maupun wanita, pada dasarnya sesuatu yang baik-baik saja. Soal godaan untuk bermain serong, memang terbuka lebar. Dengan asumsi semua orang kantoran itu adalah orang-orang yang dewasa, pilihan untuk jadi orang lurus, agak mencong, atau mencong banget, terpulang pada masing-masing orang dengan segala konsekuensi yang harus disadarinya.

Yang pasti, yang namanya barang busuk, lama-lama akan tercium juga, hanya tinggal soal waktu. Banyak istri perjabat yang aktif di organisasi semacam darma wanita di kantor suaminya, antara lain bertujuan untuk memantau apakah ada gosip miring tentang suaminya.

Kesimpulannya, adanya perselingkuhan di kantor memang fakta yang tak terbantahkan. Tapi itu bukan contoh yang baik, bagi yang belum terlanjur ikut-ikutan, perkuatlah iman agar tahan godaan.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun