Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cinta Tak Mesti Bersatu, Bukan Ratapan Kasih Tak Sampai

13 September 2020   07:10 Diperbarui: 13 September 2020   07:23 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. pixabay, dimuat tribunnews.com

Tentang cinta yang tak mesti bersatu, barangkali kita harus berterima kasih kepada seorang penyanyi yang penyair, atau penyair yang penyanyi, Ebiet G. Ade. Dia lah yang mempopulerkan kalimat puitis tersebut sebagai sebaris lirik dalam lagunya yang berjudul Lagu Untuk Sebuah Nama.

Selengkapnya kalimat tersebut (dalam satu bait) adalah sebagai berikut. Mengapa dadaku mesti berguncang/Bila kusebutkan namamu/Sedang kau diciptakan bukanlah untukku, itu pasti/Tapi aku tak mau peduli/Sebab cinta bukan mesti bersatu/Biar kucumbui bayangmu/Dan kusandarkan harapanku.

Tentu saja yang paling tahu apa yang dimaksudkan oleh Ebiet, ya Ebiet sendiri. Apa konteksnya saat ia menggubah lagu itu, sekitar 40 tahun yang lalu, yang sangat mungkin berdasarkan pengalaman pribadinya.

Terlepas dari apakah relevan atau tidak, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan cinta yang tak mesti bersatu bukan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Bukan maksudnya menyuruh seseorang bersabar karena ditolak cintanya, sehinga tak perlu mencari dukun untuk bertindak dan tidak perlu sampai melakukan tindak kekerasan terhadap orang yang menolaknya.

Seperti diketahui, masih saja banyak kita jumpai pada berita kriminal di media massa tentang lelaki yang menganiaya perempuan yang dicintainya, karena si perempuan ternyata tidak menaruh hati padanya. Sehingga cinta yang harusnya penuh nuansa kasih sayang, bersedia memberi, bahkan berkorban, menjadi beraroma egois, kejam dan brutal.

Baik, itu  di luar konteks tulisan ini. Bagi orang Minang atau mereka yang menyukai dan mengerti lagu-lagu Minang, ada banyak lagu bertema "kasih tak sampai". Sepasang pria dan wanita sama-sama mencintai, namun takdir berkata lain, jodoh terlepas dari genggaman.

Biasanya, penyebab kegagalan melangkah ke pelaminan, karena ketidaksetujuan orang tua salah satu pihak. Walaupun istilah kawin paksa ala Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih sudah sangat jarang, tapi dengan persuasif, biasanya orang tua bisa membelokkan cinta anaknya dengan menerima pinangan orang lain, sekaligus memutuskan pacarnya.

Contohnya seperti yang dialami seorang teman saya, sebut saja namanya Amran. Kebetulan Amran baru saja mengirim foto undangan pernikahan anaknya dan mengundang saya untuk hadir secara virtual pada acara yang akan berlangsung seminggu lagi. Gara-gara itulah ingatan saya melayang pada pertemuan terakhir saya dengannya, Februari lalu, di sebuah resepsi pernikahan.

Sebelumnya, saya perlu menceritakan kisah pertemanan saya dengan Amran saat duduk di bangku kuliah sekitar 35 tahun lalu. Ia dan saya tinggal berdekatan tempat kos di kawasan Jati, Padang, Sumatera Barat. Teman saya yang lain, seorang cewek bernama Eli, juga kos tak jauh dari tempat kos saya.

Ringkas cerita, Amran dan Eli saling jatuh cinta dan sepertinya begitu lengket, seakan tak terpisahkan. Saya yang lebih dahulu lulus dan bekerja di Jakarta, kaget ketika akhirnya tahu dari teman lain bahwa Amran yang setelah lulus dan bekerja di Padang, menikah dengan gadis se kota asalnya, Pariaman. Lho ada apa dengan Eli?

Ternyata ada masalah adat yang memupuskan harapan dua sejoli itu. Konon ada adat tak tertulis yang umum berlaku di Pariaman, tapi tidak di kota asal Eli, Batusangkar. Lelaki Pariaman yang sudah sarjana dan bekerja di sebuah instansi yang mapan, punya "harga" tertentu yang disebut dengan "uang jemputan" yang harus disediakan keluarga wanita yang akan menjadi istrinya.

Sebetulnya soal uang jemputan itu bisa dirundingkan dengan baik-baik, tapi karena ada ketersinggungan akibat miskomunikasi antar keluarga kedua belah pihak, membuat hubungan Amran-Eli pun kandas. Kabar baiknya, keduanya bisa menerima dengan lapang dada, tidak mau meratapi nasib, dan saling mendoakan yang terbaik buat sang mantan.

Amran tak perlu waktu lama untuk move on, setahun setelah itu, ia menikah dengan gadis sesama asal Pariaman dan bekerja sebagai guru di sebuah SMA negeri di Padang. Eli yang bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta, menikah dengan lelaki asal Jawa Timur yang merupakan rekanan di perusahaan tempatnya bekerja.

Demikian saja sedikit kilas balik berkaitan dengan kisah asmara dua orang teman saya. Kembali ke cerita pertemuan saya yang terakhir dengan Amran, yakni di sebuah resepsi pernikahan di Jakarta. Rupanya setelah ia pensiun tahun lalu, Amran dan istri sering tinggal di Jakarta karena anak sulungnya bekerja, berkeluarga, dan punya rumah di pinggiran Jakarta.

Saya dan Amran datang lebih awal di resepsi tersebut, sehingga kami asyik ngobrol sambil menunggu acara dimulai. Amran datang dengan istrinya, sedangkan saya sendiri saja, karena istri ada keperluan lain. Tak lama kemudian, setelah iring-iringan pengantin naik ke pelaminan, Eli datang dengan suaminya. Saya dan Amran sama-sama menoleh ke arah Eli dan saat Eli pas melewati tempat saya berdiri, saya panggil dan menyalaminya.

Amran hanya menonton adegan saya bertukar sapa dengan Eli, tapi keduanya sempat saling lirik, sebelum saya "memperkenalkan" Amran kepada Eli. Siapa tahu lebih 30 tahun tidak bertemu membuat keduanya pangling. Tapi Eli dengan jujur mengakui bahwa ia sudah menebak dalam hati, pasti lelaki di sebelah saya Amran. Demikian juga Amran sebelumnya sudah berbisik ke saya bertanya, apakah itu Eli?

Sengaja saya perhatikan ekspresi Amran dan Eli yang kemudian terlibat pembicaraan kecil sebentar saja. Jelas ada kegugupan, kejutan, dan perasaan campur aduk di hati mereka berdua. Apalagi mereka harus menenggang perasaan pasangannya, sehingga setelah berbasa basi sebentar, Eli pamit bergerak ke arah lain. 

Tapi setelah itu, mata saya masih memergoki mereka saling mencuri pandang. Ketika 3o menit kemudian, saya lagi menikmati makanan, Eli yang terpisah dari suaminya, mendekati saya dan banyak bertanya tentang perkembangan Amran. Sebaliknya, setelah Eli menjauh ke sudut lain, gantian Amran yang mendekati saya, menanyakan bagaimana perkembangan Eli.

Mungkin saya keliru, kesimpulan saya, perasaan saling mencintai di antara mereka berdua, masih terlihat jelas. Nah, itulah yang saya maksud dengan cinta tak mesti bersatu. Idealnya tentu saja cinta yang bersatu akan jauh lebih syahdu. Namun demikian, tanpa bersatu bukan berarti harus berganti dengan saling tidak bertegur sapa, bahkan ada yang pura-pura tidak kenal. Tidak perlu pula saling menjelekkan satu sama lain.  

Atau dalam kondisi yang sebaliknya, cinta yang tak mesti bersatu tidak perlu menjadikan salah satu pihak atau kedua-duanya saling meratapi nasib, berputus asa, depresi, atau berbagai penyakit mental lainnya. Sangat tidak dianjurkan pula melakukan bunuh diri berdua.

Cinta katanya tidak butuh logika. Tapi justru dengan akal sehat lah, perjalanan cinta yang tak mesti bersatu bisa dihadapi dengan baik-baik saja.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun