Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Betulkah Istri yang Bekerja Cenderung Kurang Menghargai Suaminya?

2 Agustus 2020   10:25 Diperbarui: 2 Agustus 2020   10:56 1598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini lahir dari diskusi panjang saya dengan seorang teman, sebut saja namanya Linda. Usianya beda tipis dengan saya, jadi sudah tidak bisa disebut muda lagi. Justru karena itu, pendapatnya sebagai perempuan yang telah banyak makan asam garam kehidupan, layak saya cermati.

Saya tersentak dengan pernyataannya, bahwa dari apa yang dilihatnya pada rumah tangga teman-temannya, pasangan suami istri yang sama-sama mencari nafkah, si istri  cenderung kurang menghargai suaminya.

Indikator yang digunakan Linda, antara lain melihat cara berkomunikasi antar suami istri. Soalnya, Linda sudah sering melihat dengan mata kepalanya sendiri dan mendengar dengan telinganya sendiri, istri yang berani berkata keras, bahkan kasar, pada suaminya. Dan yang berbuat seperti itu, adalah para istri yang mempunyai penghasilan sendiri dari pekerjaannya.

Maka kalau dari kacamata umum, suami sebagai pihak yang sering bersikap kasar kepada istrinya, dalam beberapa kasus yang dilihat teman saya itu, sang suamilah yang jadi korban ucapan kasar istrinya. Dari cerita Linda, biasanya si suami yang terpaksa mengalah.

Jadi, jika kita berbicara dengan topik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), jangan langsung mengira istri sebagai pihak yang teraniaya, meskipun mayoritas mungkin begitu. Suami yang teraniaya, juga ada. Cerita tentang suami takut istri, bukan sekadar bahan lelucon semata, dalam kenyataannya memang ada.

Baik, sebelum berlanjut, saya perlu sampaikan dulu, siapa sebenarnya teman saya itu. Linda menikah di usia muda, sekitar 19 tahun, tak lama setelah ia tamat SMA. Meskipun pernikahan Linda beraroma perjodohan berdasarkan kesepakatan orang tua kedua mempelai, ternyata ia mampu membina mahligai rumah tangga secara baik, hingga kini.

Tentu ada saja pernik-pernik pertengkaran yang dialami Linda dengan suaminya. Tapi, dari cerita Linda yang betul-betul berperan sebagai ibu rumah tangga, ia tak sekalipun berkata-kata kasar kepada suaminya. Bila ia kesal, ia hanya berani ngambek tanpa bicara sepatah kata pun, selama dua atau tiga jam saja.

Yang saya salut, mudah-mudahan Linda jujur dalam bercerita, ia betul-betul memanjakan suaminya. Misalnya saat makan, si suami tinggal menyuap makanan saja, karena sebelumnya piring sudah diisi dengan nasi dan lauk pauk oleh sang istri. 

Demikian pula kalau suaminya mau berangkat bekerja. Sehabis mandi, suaminya tinggal memakai pakaian saja. Pakaian kerja, termasuk pakaian dalam sudah disiapkan istri. Sampai soal kebersihan ikat pinggang, sepatu, kaus kaki, tas kerja, diurus dengan baik oleh sang istri.

Menurut Linda, suaminya sudah capek selama bekerja di kantor dari pagi hingga hampir waktu magrib. Makanya ketika di rumah, saatnya si suami duduk manis saja, Linda siap melayani. Padahal, karena tidak menggunakan asisten rumah tangga, Linda sebetulnya tak kalah capek mengerjakan berbagai kegiatan sehari-hari di rumahnya. 

Apalagi ketika ketiga anaknya masih bersekolah dulu, Linda juga bertugas melakukan antar jemput. Untung sekarang ini, dua di antaranya sudah berkeluarga. Tapi anak perempuan sulungnya sering dinasehati Linda, karena dilihatnya si anak kurang menghargai suaminya. 

Kebetulan anak perempuannya bekerja sebagai pegawai negeri, sedangkan menantu lelakinya, bekerja di sebuah bengkel motor. Upah di bengkel diduga tidak sebesar gaji pegawai negeri. Hal ini semakin memperkuat hipotesis Linda, bahwa  istri yang bekerja, cenderung berani melawan suaminya. 

Sebetulnya saya tidak percaya sepenuhnya dengan pendapat Linda. Kebetulan pengalaman saya dan saudara-saudara saya sendiri tidak ada yang seperti itu. Namun di lingkungan keluarga besar saya, kebetulan meskipun rata-rata yang menjadi istri juga punya pekerjaan, tapi penghasilannya masih di bawah penghasilan suaminya.

Dugaan saya, jika penghasilan si istri lebih besar, tanpa disadarinya memang akan menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi. Sang istri tidak begitu ketakutan apabila karena sesuatu hal ditinggalkan oleh suaminya.

Adapun istri yang tidak bekerja, atau yang bekerja tapi dengan penghasilan lebih rendah, akan punya ketergantungan pada setoran dari suaminya. Hal inilah yang kemungkinan membuat si istri lebih menghargai si suami.

Tapi apakah betul soal penghargaan bagi pasangan hidup lebih ditentukan oleh faktor ekonomi seperti itu? Kok rasanya alasan tersebut terlalu dangkal. Menurut saya, pada akhirnya terpulang pada karakter dan budi pekerti kedua pihak, ya istrinya, ya suaminya.

Saya sendiri sering menasehati anak gadis dan juga keponakan perempuan saya, agar mereka rajin belajar dan nantinya mempunyai pekerjaan sebelum berumah tangga. Pekerjaan tersebut tidak harus menjadi pegawai yang bekerja di kantor dari pagi hingga sore, tapi bisa juga berwiraswasta yang dapat dilakukan dari rumah.

Namun demikian, saya sama sekali tidak mengharapkan mereka kurang menghargai suaminya kelak, meskipun misalnya penghasilan suaminya lebih kecil. Tidak harus juga seperti Linda yang sangat memanjakan suami, tapi setidaknya, tidak berkata kasar pada suaminya.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun