Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Meraih Puncak Karier, Ingin Buru-buru atau Menunggu "Injury Time"?

27 Februari 2020   08:09 Diperbarui: 27 Februari 2020   09:25 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Faktualnews.co

Tidak bisa dipungkiri, selain berbekal prestasi, berkarir di perusahaan yang dimiliki oleh negara, bila ingin sampai ke puncak karir, perlu pula punya modal yang bersifat politis.

Maksudnya bukan harus ikut menjadi anggota atau pengurus di sebuah partai politik. Tapi pergaulannya yang perlu luas dan membina jaringan dengan para pengambil keputusan, dalam hal ini adalah Kementerian BUMN atau instansi lain yang bisikannya didengar oleh pihak pengambil keputusan.

Akan lebih bagus kalau punya jalur ke RI-1 atau RI-2. Tapi sekali lagi, harus punya prestasi dulu, gak bisa miskin prestasi dan hanya mengandalkan orang kuat. Karena nepotisme tidak lagi diterapkan.

Nah di antara sekian banyak yang berprestasi, yang tentu telah memenuhi persyaratan untuk jadi anggota direksi, yang dikenal secara baik  oleh pengambil keputusan akan lebih berpeluang meraih puncak karir. 

Seseorang yang berprestasi kinclong, bila kurang gaul dan merasa para pengambil keputusan pasti akan mendeteksi prestasinya, ya boleh-boleh saja punya rasa percaya diri seperti itu.

Namun pada akhirnya para pengambil keputusan memerlukan tingkat keyakinan terhadap seseorang. Keyakinan  ini akan lebih mudah terbentuk jika pengambil keputusan dan orang di lingkarannya pernah berinteraksi langsung dengan mereka yang dinominasikan.

Dalam hal terjadi pergantian menteri, lazimnya juga berlanjut dengan pergantian personil di bawahnya. Untuk Kementerian BUMN, wajar pula pergantian menteri merembet pada pergantian pengurus banyak BUMN. Ada yang terpental dan ada "kartu mati" yang hidup lagi.

Pendek kata, tanpa perlu menyebutkan di BUMN mana, ada direktur yang baru terpilih saat menteri yang lama akan berakhir masa jabatannya, sudah harus lengser lima bulan kemudian saat menteri yang baru menilai perlu ada penyegaran.

Nah yang jadi pokok bahasan tulisan ini, di antara yang terpental itu ada yang usianya masih sangat muda yang dulu agaknya dimaksud sebagai wakil generasi milenial di jajaran manajemen puncak.

Ketika si anak muda tiba-tiba melejit, berbagai komentar muncul di belakang layar. Intinya meragukan kompetensi rising star ini dan menduga sebagai bentuk lain dari nepotisme.

Apalagi sebelum jadi direktur, si anak muda ini jabatannya masih dua level di bawah direktur. Padahal lazimnya yang jadi feeder adalah mereka yang sudah satu level di bawah direktur, yang istilahnya di banyak BUMN adalah kepala divisi di kantor pusat atau kepala wilayah yang membawahi belasan sampai puluhan kantor cabang.

Berkebalikan dengan nasib si anak muda yang cepat melejit dan cepat jatuh, dulu banyak juga yang baru dapat kursi direktur di saat usianya sudah tinggal menunggu hari untuk pensiun. Eh bagitu jadi direktur bisa bertahan demikian lama.

Perlu diketahui, seseorang yang terpilih jadi direktur di sebuah BUMN harus langsung pensiun sebagai karyawan. Artinya begitu berakhir karirnya sebagai seorang direktur, yang bersangkutan tidak mungkin aktif kembali di perusahaan tempat dulu ia bekerja. 

Bila bernasib baik, memang seorang mantan direktur BUMN bisa saja kebagian posisi direktur atau komisaris di anak perusahaan BUMN. Ada pula yang laku dilamar oleh perusahaan swasta. 

Tapi bagi yang belum kebagian jabatan baru, dan masih berminat untuk bekerja sebagai seorang profesional (bukan berwirausaha), terpaksa mengajukan lamaran ke berbagai perusahaan yang dirasa cocok dengan kemampuannya.

Makanya ketika si anak muda langsung tersingkir ketika baru mencicipi empuknya kursi direktur, ada pula yang mengomentari betapa kasihannya. Si anak muda dianggap menjadi korban dari dinamika yang bersifat politis.

Sebuah pertanyaan iseng saja, kira-kira lebih enak mana, meraih puncak karir di usia yang masih muda dibandingkan usia rata-rata orang lain saat meraih posisi itu, atau saat sudah kenyang meniti karir dan hampir mendekati masa pensiun?

Kenapa disebut pertanyaan iseng, karena sebetulnya mau kapanpun tergapai, cepat atau lambat, tidak masalah. Toh ini jauh lebih baik karena hanya segelintir orang yang mampu mendapatkannya. 

Baik, anggap saja ini sekadar omong-omong di warung kopi sambil menunggu hujan reda, kita jawab saja pertanyaan yang juga menjadi judul tulisan ini.

Tentu pendapat kita bisa berbeda. Bagi yang berpendapat lebih cepat mencapai puncak lebih baik, sah-sah saja. Alasannya kalau ada kesempatan, hajar bleh! Kesempatan tidak datang dua kali. 

Perkara setelah ganti menteri tergusur lagi, ya gak apa-apa. Dengan usia muda banyak kemungkinan untuk berkarir di tempat lain, walaupun dengan posisi tidak sebergengsi sebelumnya.

Bagaimanapun, dalam curriculum vitae, pengalaman kerja seorang yang pernah menjabat sebagai direktur BUMN, tentu jadi credit point tersendiri.

Sedangkan bagi yang memilih "biar lambat asal selamat sampai di puncak", juga tidak salah. Tipe begini punya keuntungan karena punya waktu banyak untuk menikmati perjalanan menuju puncak.

Mentalnya lebih tangguh dan pengalamannya sangat bervariasi. Tudingan orang lain yang meragukan kemampuannya juga berkurang lantaran jam terbangnya yang tinggi.

Masalahnya, susah menebak apa yang akan terjadi di injury time. Kalau masih tidak dapat kesempatan untuk menduduki jabatan direktur, ya wassalam, karena statusnya segera akan berganti sebagai pensiunan.

Jadi, yang cepat atau yang lambat, asal sampai ke puncak, sama-sama enak, ketimbang yang gak pernah sampai ke puncak. Tapi ingat, semakin tinggi posisi seseorang, semakin kencang terpaan angin. 

Bila lagi asyik-asyiknya melihat pemandangan dari puncak, tiba-tiba terjatuh karena hempasan angin kencang itu tadi, rasanya pasti lebih pedih dibandingkan yang jatuh dari posisi yang lebih rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun