Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jabatan Idaman, Jalur Politik Vs Jalur Prestasi

19 Januari 2020   00:07 Diperbarui: 19 Januari 2020   16:54 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi naik jabatan | Photo: Getty Images

Artinya atasan tidak kita minta mencari solusi, tapi kita yang menyodorkan solusi, kalau perlu dalam beberapa alternatif. Atasan akan senang karena tinggal memilih dan memutuskan alternatif mana yang disetujuinya.

Dengan demikian, kita sudah masuk kriteria sebagai karyawan unggulan. Memang belum jadi jaminan akan dipromosikan, namun paling tidak sudah masuk radar dari Divisi Human Capital (Sumber Daya Manusia), divisi yang paling berwenang mengusulkan promosi karyawan kepada Direksi.

Bahkan bisa jadi bila kita "berkotek" dengan pas di depan Direksi, maka Direksi sendiri yang kepincut, dan menginstruksikan kepada Divisi Human Capital untuk memproses promosi kita.

Tapi yang saya paparkan di atas, merupakan gambaran ideal, yang kenyataannya bisa tidak seperti itu. Maksudnya, yang menjadi lawan kita yang juga bertelur dan berkotek itu, mungkin ada beberapa orang.

Jangan kaget bila tiba-tiba jabatan yang kita incar diberikan kepada karyawan yang menghasilkan telur tidak sebanyak kita, dan mungkin berkoteknya juga biasa-biasa saja.

Gampang sebetulnya mendeteksi seseorang yang naik hanya karena faktor nepotisme semata. Biasanya saat direktur (atau bahkan mungkin menteri) yang menjadi cantelannya sudah habis periode jabatannya, habis pulalah si saingan kita itu.

Namun kalau yang terlibat nepotisme itu juga termasuk yang bertelur dan berkotek, biasanya ia akan tetap selamat, karena pintar menyesuaikan diri dengan Direksi yang baru.

Maka mau tak mau, kriteria nepotisme harus ikut dipertimbangkan. Tapi agar tidak terkesan negatif, saya lebih suka menggantinya dengan istilah politicking alias berpolitik. Bukan ikut partai politik, namun semacam cara untuk mendekatkan diri pada orang-orang yang punya posisi menentukan.

Ikut main golf, atau ikut komunitas tertentu yang anggotanya adalah para petinggi perusahaan  atau petinggi di instansi pemerintah, adalah salah satu cara berpolitik yang saya maksudkan. Bisa pula dengan aktif bergaul dengan pengurus partai koalisi yang berkuasa.

Tapi jangan salah mengerti dengan judul tulisan saya, yang seolah-olah mempertentangkan politik dan prestasi. Karena sebetulnya menurut saya keduanya saling melengkapi, bukan saling meniadakan.

Nah, dalam hal ini saya ingin menyarankan bahwa syarat mutlak yang harus dipenuhi terlebih dahulu adalah berprestasi. Baru setelah itu, kalau masih belum "nendang'', perlu berpolitik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun