Sampai sekarang sistem demokrasi dinilai masih yang paling baik dalam membentuk pemerintahan di suatu negara. Oleh karena itu, di mata internasional, negara yang level demokrasinya lebih tinggi, lebih dihargai ketimbang negara kaya tapi kurang demokratis.
Makanya jangan heran, hampir semua negara mengakui dirinya sendiri sebagai penganut paham demokrasi. Hanya saja harus diakui, kadar demokratisasi di setiap negara yang mengaku menerapkan sistem demokrasi itu berbeda-beda.
Sebagai contoh, Indonesia sejak merdeka sudah menerapkan sistem demokrasi yang berbeda-beda, mulai dari demokrasi terpimpin di era Bung Karno, demokrasi Panca Sila ala Pak Harto, dan sekarang demokrasi di era reformasi.
Secara konsep, tak dapat disangkal bahwa demokrasi kita sekarang ini lebih tinggi kadarnya ketimbang sebelum reformasi. Bayangkan, sekaranglah rakyat yang bebas menentukan presiden dan kepala daerah. Tapi sekali lagi itu secara konsep. Praktiknya bagaimana? Apakah banyak ditemukan penyimpangan?
Justru saat ini pula mulai ada yang berpendapat bahwa demokrasi yang kita terapkan telah melahirkan peluang besar terjadinya perselingkuhan atas nama demokrasi.
Sebagai contoh, figur yang jelas-jelas pernah terjerat kasus korupsi ternyata bisa bertarung lagi di pilkada. Eh gak taunya mantan koruptor itu menang, dilantik jadi kepala daerah, lalu menjadi tersangka kasus korupsi lagi.
Begitulah kalau demokrasi hanya sekadar menjadi alat untuk melegitimasi orang-orang yang integritasnya diragukan bisa masuk ke lingkaran pemerintah.Â
Betapa berbahayanya jika yang terpilih bukan orang yang dapat dipercaya, karena di tangannyalah kewenangan buat mengambil keputusan, membuat kebijakan, mengeluarkan berbagai perizinan, mengocok ulang para pejabat di bawahnya, dan sebagainya.
Demokrasi kita akhirnya lebih mementingkan formalitas administratif, bukan substansinya. Malah akibatnya muncul berbagai kasus perselingkuhan atas nama demokrasi seperti contoh di atas.
Kenapa disebut perselingkuhan? Karena politik uang yang menjadi alat, terjadi atas dasar suka sama suka, antara calon yang dipilih dengan masyarakat yang punya hak pilih.
Kalau ada yang memaksa, itu namanya pemerkosaan. Tapi karena tak ada yang merasa diperkosa, ya para petualang demokrasi aman-aman saja berselingkuh.Â
Makanya jika hansip susah menangkap peselingkuh, begutu pula Bawaslu yang sulit untuk mengusut pihak yang terlibat politik uang. Konon hal ini seperti kentut, ada baunya tapi tak kelihatan barangnya.
Berikutnya, pada perkembangan terbaru, ada pengamat yang menduga level demokrasi kita akan semakin turun, bila saja jadi dilakukan amandemen atas UUD 1945.Â
Apalagi kalau amandemen tersebut berujung pada perubahan persyaratan dan tata cara pemilihan Presiden. Siapa tahu, nanti seorang Presiden bisa diangkat tiga kali 5 tahun, atau Presiden tidak lagi dipilih rakyat tapi oleh MPR.Â
Harapan kita, dalam merumuskan suatu peraturan, harus dipikir matang-matang agar tertutup celah bagi para peselingkuh demokrasi. Umpamanya kembali ke kasus kepala daerah, alangkah baiknya ditutup rapat-rapat bahwa calon yang pernah terjerat kasus korupsi harus dianulir pencalonannya.
Berselingkuh tak mungkin dilakukan secara bertepuk sebelah tangan. Maka di pihak lain, edukasi kepada masyarakat harus pula terus menerus digaungkan agar tidak tergoda dengan politik uang.Â
Toh akhirnya yang rugi para pemilih itu sendiri. Uang yang didapat dari "serangan fajar" tidaklah seberapa, tapi kerugian jangka panjangnya luar biasa.