Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah Meninggalkan Jejak Digital Setiap Beribadah?

15 Februari 2019   19:17 Diperbarui: 15 Februari 2019   19:20 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang ini ruang khusus untuk privacy masing-masing orang semakin sempit karena apa yang dilakukan seseorang setiap hari bisa dilacak dari jejak digitalnya. Namun tentu juga ada orang yang betul-betul selektif dalam menulis atau mengunggah foto dan video di akun media sosialnya, sehingga tidak gampang melacak jejak digitalnya.

Bayangkan, betapa susahnya seorang mantan bintang film "panas" yang telah menemukan hidayah, sekarang tampil dengan pakaian muslimah, namun aksi masa lalunya masih beredar dan ditonton oleh anak atau keluarganya. Tidak gampang menghapus jejak digital tersebut, yang sekali disebar telah menjadi milik publik.

Namun yang jadi masalah tidak hanya jejak digital yang negatif, namun juga hal yang seharusnya positif. Misalnya seseorang yang selalu mengunggah fotonya saat lagi beribadah. Ini suatu hal yang positif sebetulnya, namun berpotensi menjadi tidak bernilai ibadah bila niatnya untuk pamer atau memancing datangnya "like" dari yang melihat. Hanya saja, soal niat, tentu tidak ada yang tahu selain dari individu yang terlibat dan Tuhan.

Tulisan ini terinspirasi karena di sebuah grup media sosial yang saya ikuti, ada seorang teman yang sangat rajin mengirim fotonya setiap berbuka puasa di hari Senin dan Kamis. Dalam agama Islam, hal itu tergolong sunah, bukan kewajiban seperti halnya berpuasa di bulan suci Ramadhan, tapi lebih baik bila dilakukan. 

Ada lagi teman lain yang setiap jam 3 pagi mengirim foto, gambar, atau sekadar tulisan, yang mengajak anggota grup untuk melaksanakan salat tahajud. Ini juga ibadah sunah, beda dengan salat subuh yang hukumnya wajib. Tentu saja ajakan berbuat baik adalah suatu hal yang positif. Tapi lagi-lagi, kalau itu secara implisit mengandung niat ingin dipuji sebagai orang yang alim, nilainya akan jatuh.

Saya, jujur saja, belum paham bagaimana sebaiknya merespon kiriman tulisan, foto, atau video seperti itu. Soalnya, banyak anggota lain yang memberi tanggapan dengan masing-masing juga mengatakan bahwa mereka juga berpuasa, atau mereka juga sudah bangun dan akan melakukan salat tahajud.

Atau ada juga yang berkomentar bahwa ia belum sempat berpuasa Senin-Kamis, tapi ia bertekad akan memulai, sambil berterima kasih telah diingatkan temannya yang mengirim tulisan atau foto.

Akhirnya di grup medsos tersebut seperti ada perlombaan pamer ibadah. Ini yang saya kurang sependapat, sehingga memilih untuk diam. Padahal bila saya tetap seperti selama ini, bisa-bisa saya dicitrakan sebagai yang orang yang kurang peduli dengan ibadah.

Tapi ya, sampai saya dapat pencerahan yang menyatakan sikap saya itu kurang tepat, saya memutuskan untuk tetap tidak memberi respon. Tentu saya harus siap menerima konsekuensinya, misalnya dianggap tidak alim itu tadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun