Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imam di Masjid, Sebaiknya Semua dari Satu Organisasi Saja?

2 Februari 2019   10:20 Diperbarui: 2 Februari 2019   10:48 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KH Said Aqil Siroj (dok. detik.com)

Orang Minang boleh dikatakan semuanya, atau nyaris semuanya, memeluk agama Islam. Dalam menjalankan ritual ibadah sehari-hari, mayoritas orang Minang lebih dekat ke tata cara yang dilakukan keluarga Muhammadiyah ketimbang Nahdlatul Ulama (NU).

Tapi bagi perantau asal Minang seperti saya yang ber-KTP DKI Jakarta, sangat terbiasa salat di masjid yang dipimpin oleh imam dari keluarga besar NU, yang antara lain cirinya waktu salat subuh, membaca doa qunut pada rakaat kedua.

Pun juga saat Salat Jumat, tentu saya familiar dengan ritual azan dua kali, bukan seperti banyak masjid di Sumatera Barat yang hanya sekali. Soalnya di Jakarta memang tidak banyak masjid yang dikelola kelurga besar Muhammadiyah.

Tapi di lingkungan perkantoran, yang menyelenggarakan sendiri Salat Jumat bagi karyawan muslim, dari pengamatan sekilas, banyak yang azannya satu kali, meskipun pengurusnya bercampur, ada yang dari keluarga Muhammadiyah dan banyak pula yang berlatar belakang NU.

Maksud saya, selama ini sebetulnya telah terjalin rasa saling memahami dan menghargai antar dua kelompok besar Islam di tanah air, NU dan Muhammadiyah, serta tidak ada klaim saling menyalahkan satu sama lain.

Nah, belum lama ini, saat acara peringatan hari ulang tahun ke 73 Muslimat NU di Gelora Bung Karno (GBK), ada pernyataan yang berbau kontroversial dari Ketua Umum NU, KH Said Aqil Siroj, yang antara lain mengatakan bahwa imam masjid, khatib, Kantor Urusan Agama (KUA), Menteri Agama, harus dari NU, kalau dipegang selain NU, salah semua.

Pernyataan itu menuai kontroversi dan disesalkan oleh Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas yang juga Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI). Anwar meminta Said Aqil menarik ucapannya dan sekaligus meminta maaf (detik.com, 29/1).

Sejauh ini Said Aqil menolak untuk mencabut pernyataannya. Untung saja karena ada berbagai isu "panas" lainnya, kontroversi seputar pernyataan tersebut tidak sampai berlama-lama menghiasi media massa.

Nah, setelah agak adem, perlu kiranya mencerna pernyataan Said Aqil dengan lebih cermat dan dengan kepala dingin. Perlu dicatat bahwa Said Aqil menyampaikan di acara internal NU, meski bersifat terbuka dan diliput wartawan. Ada baiknya masyarakat mencoba memahami dari perspektif warga NU sendiri.

Boleh jadi Said Aqil geram dengan warga NU yang kurang aktif sehingga di beberapa masjid tertentu  yang berada di lingkungan yang banyak warga NU-nya, diduga "dikuasai" oleh pengurus yang sering mengundang khatib salat Jumat yang khutbahnya berbau politik praktis.

Maka tak salah bila seorang ketua umum mengobarkan semangat anggotanya, memotivasi agar berupaya lebih keras, sehingga NU bisa dominan. Tentu saja dipandang dari sisi perjuangan NU, bila semua imam di masjid adalah dari kalangan NU, kondisinya akan lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun