Akhirnya batas psikologis itu tembus juga, ketika Senin (7/5) kemaren kurs rupiah pada  pasar spot ditutup dengan Rp 14.001 per dollar Amerika Serkat (AS) atau melemah 0, 4% ketimbang kurs saat penutupan perdagangan Jumat (4/5) yang lalu.Â
Beberapa pengamat menghubungkan pelemahan rupiah tersebut karena pengumuman Biro Pusat Statistik (BPS) pada Senin siang kemaren terkait pertumbuhan ekonomi kuartal 1 2018. Analisis memprediksi pertumbuhan sebesar 5,19% tapi kenyataannya sesuai perhitungan BPS hanya 5,06%.
Keputusan pemerintah untuk tetap cuti bersama yang panjang dalam rangka libur Idul Fitri yang akan datang, bisa jadi juga menjadi salah satu faktor yang ikut memperlemah rupiah. Hal ini berkaitan dengan dugaan turunnya produktivitas karena cuti panjang tersebut, padahal akhir Juni adalah batas akhir pengukuran kinerja sektor usaha periode semester I 2018.
Namun demikian, mengacu pada imbauan Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga resmi yang berfungsi mengendalikan nilai tukar rupiah, masyarakat diminta tidak panik. Sebelumnya, sebagaimana berita yang ditayangkan Kompas.com (4/5) BI meminta masyarakat tidak terlalu mengkhawatirkan kalaupun nilai tukar rupiah sampai melewati level Rp 14.000 per dollar AS.
Kenapa BI berani mengatakan demikian? Tentu di samping BI punya cadangan devisa yang memadai di kisaran 120 miliar dollar AS, juga karena BI sudah melihat hasil stress test yang wajib dibuat oleh bank-bank di negara kita. Â Dalam tes yang bersifat simulasi tersebut sengaja dibuat asumsi yang ekstrim, misalnya bagaimana kalau kurs rupiah menembus Rp 20.000 per dollar AS
Nah, ternyata dengan kurs yang Rp 20.000 sekalipun, meskipun akan menaikkan non performing loan (NPL) perbankan nasional, bank-bank secara umum masih kokoh, dalam arti tidak mengalami kebangkrutan. Ini karena ditopang oleh capital adecuacy ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal rata-rata perbankan nasional yang lumayan besar di kisaran 21%.Â
Padahal CAR minimal sesuai regulasi hanya 8%, ditambah buffer dalam mengantisipasi kondisi makro dan buffer khusus bagi bank-bank sistemik (bank berukuran besar yang bila collapse bisa berdampak signifikan bagi perekonomian nasional), angka  17-18% masih cukup memadai.
Masalahnya adalah bagaimana masyarakat bisa mempercayai himbauan BI? Bila ada "provokator" yang mulai memborong dollar, bisa dipastikan orang lain akan panik dan ramai-ramai menyerbu dollar juga. Inilah yang akan cepat membuat rupiah terjun bebas.
Maka kita berharap semoga tidak ada spekulator yang menangguk di air keruh. Dalam arti setiap pembeli dollar bertindak rasional sesuai dengan kebutuhannya. Bila sisi psikologis masa sengaja dibikin panik, maka stress test di atas tidak lagi menolong.