Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Buah Tangan untuk Para Pejabat Berlabuh di KPK

12 Maret 2018   09:16 Diperbarui: 12 Maret 2018   09:43 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedang hadiah dari Raja Salman bin Abdul Aziz Al-Saud kepada Kapolri Tito Karnavian (dok. tribunnews.com)

Apa yang anda rasakan bila barang yang anda hadiahkan kepada seseorang, ternyata oleh si penerima diserahkan pada orang lain. Pasti kecewa, bukan? Tujuan memberi hadiah jadi hilang. Kalau kita memberi hadiah pakaian atau asesorisnya, tentu kita ingin hal itu dipakai oleh si penerima. Kalau berupa barang pajangan, tentu kita ingin si penerima memajangnya di ruang kerjanya atau di rumahnya.

Kenapa si penerima tidak memakainya? Bisa jadi karena ia tidak menyukainya. Bisa juga ada orang lain yang lebih membutuhkan sehingga oleh si penerima diserahkan kepada orang lain itu. Nah, kalau si penerima adalah seorang pejabat negara atau pegawai negeri, boleh jadi ia menyukai hadiah yang diterimanya, namun hal ini disebut sebagai gratifikasi yang wajib dilaporkan dan diserahkan  ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Meskipun saat ini bila kita memberikan hadiah ke seorang pejabat, besar kemungkinan tidak akan dimanfaatkan oleh si pejabat tersebut, ternyata masih belum menyurutkan niat bagi si pemberi hadiah. Buktinya makin banyak saja KPK menerima barang gratifikasi. Mungkin bukan makin banyak, lebih tepatnya adalah kesadaran melaporkannya yang semakin meningkat.

Kalau ditelusuri pada era sebelum ada KPK, praktik gratifikasi jelas lebih parah. Kebetulan saya pernah bertugas di salah satu BUMN yang tergolong besar. Dari cerita para senior, dulu seorang kepala cabang saja (ini sebetulnya masih pejabat level menengah, karena masih ada kepala wilayah dan direktur yang menjadi atasannya) konon sudah sedemikian "sakti".

Bila sang kepala cabang terlontar dari mulutnya, atau sengaja melontarkan, bahwa ia akan membangun rumah, maka tak lama kemudian rumah itu segara terwujud. Banyak rekanan yang dengan "baik hati" menyumbang semen, batu bata, keramik, genteng, atau material lainnya untuk membangun sebuah rumah.

Bila seorang kepala wilayah mengadakan resepsi pernikahan anaknya, maka para rekanan dan juga para kepala cabang yang jadi anak buahnya akan dengan senang hati bergotong royong untuk menyukseskan acara. Sudah begitu, di saat resepsi masih memberikan amplop yang berisi setumpuk uang kertas dollar AS pecahan terbesar.

"Tak ada makan siang yang gratis", kata pepatah Inggris. Jelas bahwa bagi rekanan terkandung harapan agar proyek-proyeknya tetap berlanjut, atau semakin bertambah, dari sang kepala wilayah. Sedangkan bagi kepala cabang terkandung niat agar mereka cepat dipromosikan atau dimutasikan ke cabang yang lebih "gemuk". 

Hanya ada beda dilihat dari sumber dana untuk hadiah ke pejabat. Bagi rekanan tentu dipotong dari laba perusahaannya, yang nanti terkompensasi dengan "ketiban" proyek besar dari BUMN tempat kepala wilayah bekerja. Bisa pula dengan menurunkan kualitas proyek yang dikerjakannya atau menurunkan  mutu barang yang dijualnya ke BUMN tersebut.

Adapun bagi kepala cabang, dananya pasti bukan dari gaji mereka, karena gajinya pun saat itu relatif tidak besar. Tentu mereka menggunakan kas perusahaan juga, tapi dalam pembukuan ditulis seolah-olah sebagai biaya promosi, biaya representasi, atau berbagai pos lainnya yang bisa "dimainkan".

Itulah sekelumit cerita dari zaman old. Cerita zaman nowantara lain dapat disimak dari liputan koran Kompas, Sabtu (10/3) yang lalu, di bawah judul "Buah Tangan untuk Para Pejabat". Diuraikan bahwa Presiden Joko Widodo telah banyak melaporkan hadiah yang diterimanya, seperti dua ekor kuda dari Nusa Tenggara Timur, seperangkat tea set dan lukisan dari Rusia, serta jam tangan merek Graff berharga Rp 2 miliar. 

Selama menjabat Presiden, nilai pemberian yang dilaporkan Presiden Jokowi ke KPK mencapai Rp 58 miliar. Namun ada satu barang, yakni piringan hitam album Metallica: Master of Puppets, dibeli oleh Presiden seharga Rp 11 juta ke KPK pada tangal 31 Januari lalu. Dengan demikian barang pemberian Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen yang dilaporkan Presiden ke KPK pada 7 Desember 2017 itu, telah sah menjadi milik Presiden.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun