Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seniman Tidak Perlu Ilmu Matematika?

1 Maret 2018   13:57 Diperbarui: 2 Maret 2018   01:18 1706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah dikirimi video melalui media sosial yang mengisahkan seorang kepala sekolah di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pak kepala sekolah ini berkirim surat kepada para orang tua murid sehabis pembagian rapor. Sayang video tersebut telah saya hapus, tapi seingat saya surat dimaksud bertujuan untuk memotivasi orang tua agar tidak terlalu kecewa bila anaknya mendapat nilai rendah untuk beberapa mata pelajaran.

Lebih lanjut sang kepsek menjelaskan bahwa setiap anak mempunyai bakat atau potensi yang bisa dikembangkan untuk bekal di masa depan. Sebagai contoh seorang seniman tidak perlu bagus dalam ilmu matematika, olahragawan tidak perlu jago kimia, atau seorang pedagang tidak perlu pintar biologi.

Dalam hati saya sependapat dengan pak kepsek di atas. Hanya saja yang saya praktikkan tidak begitu. Kebetulan sejak pensiun dari sebuah perusahaan milik negara, saya mengisi waktu dengan mengajar Pengantar Akuntansi di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Mata kuliah ini diberikan pada semester I dan II.

Karena mahasiswa yang saya ajar adalah mereka yang baru saja lulus dari berbagai SMA, baik jurusan IPA atau IPS, maupun lulusan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan MAN (Madrasah Aliyah Negeri), maka tentu saja daya serapnya amat bervariasi. Ada yang cepat menangkap pelajaran, banyak pula yang gak mudeng meskipun telah diulang-ulang penjelasannya.

Agar mereka bersemangat belajar, saya sengaja mengatakan kurang lebih seperti ini: "Apapun profesi anda nanti, tidak ada yang bisa menghindar dari akuntansi, jadi jangan anggap ilmu ini hanya sekadar cari nilai buat kelulusan, tapi akan terpakai seumur hidup anda".

Saya merasa ucapan saya itu tidak berlebihan. Soalnya akuntansi berkaitan dengan pencatatan. Adakah suatu pekerjaan yang tidak memerlukan pencatatan? Jangankan pengusaha, seorang ibu yang berpredikat "hanya" ibu rumah tangga sekalipun, perlu mencatat daftar belanjanya, Daftar ini diperlukan sebelum berbelanja (sebagai alat perencanaan) dan juga setelah berbelanja (sebagai pertanggungjawaban, atau minimal sebagai alat untuk mengingat ke mana saja uang dihabiskan).

Tapi dalam hati diam-diam saya mengatakan, bahwa bila nantinya para mahasiswa tersebut tidak lulus dalam mata kuliah akuntansi yang saya berikan, bukan berarti masa depannya suram.  Sebaliknya bila ada yang mendapat nilai A dan mendapat indeks prestasi kumulatif sempurna, juga bukan berarti otomatis masa depannya cerah.

Soalnya dalam meniti karir di bidang apapun, faktor pengetahuan atau kemampuan akademis hanyalah sebahagian dari kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan. Masih banyak kompetensi lain yang lebih menentukan, antara lain integritas (ini bersifat mutlak), semangat juang atau tahan banting, kemampuan berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain, dan sebagainya.

Dalam konteks mahasiswa atau pelajar, menurut saya, yang penting bukan semata-mata nilai akhirnya, tapi juga proses belajarnya. Saya akan memberikan tambahan nilai bagi mahasiswa yang terlihat aktif yang ditandai dengan tingkat kehadiran yang tinggi, keseriusan menyimak, mengajukan dan menjawab pertanyaan, serta mengerjakan PR.

Jadi, sebaiknya semua pelajar tidak membeda-bedakan mata pelajaran, meski tentu ada mata pelajaran favoritnya. Jangan belum apa-apa sudah berpikiran negatif bahwa mata pelajaran tertentu pasti sulit dan membosankan. Memang, faktor kreativitas guru ikut menentukan  dalam membentuk sikap siswa atas mata pelajaran yang diajarkannya. Tapi terlepas dari itu, siswa harus punya semangat untuk mempelajari semua mata pelajaran.

Semua ilmu pasti bermanfaat, meskipun tidak berarti harus diperoleh di bangku sekolah atau kuliah. Alm. Buya Hamka adalah contoh yang sering dikemukakan untuk menggambarkan orang yang mendapat banyak gelar akademis kehormatan, bukti bahwa ilmu beliau mendapat pengakuan, tapi sepenuhnya belajar secara otodidak. Beliau bukan anak sekolahan, karena sekolah dasar pun tidak tamat. 

dok.educenter.id
dok.educenter.id
Sebaliknya banyak pula contoh sarjana yang akhirnya meniti karir di bidang yang jauh dari bidang kesarjanaannya. Institut Pertanian Bogor (IPB) sering diplesetkan sebagai Institut Perbankan Bogor atau Institut Publisistik Bogor karena banyak alumninya yang berkarir di bank dan media masa. 

Apakah ilmu pertaniannya sia-sia? Menurut saya tidak, karena bagaimanapun ilmu tersebut tetap bermanfaat. Bankir yang mengerti pertanian pasti lebih punya pemahaman dalam memberikan kredit ke sektor pertanian. Demikian pula wartawan, toh dengan kemasan berita yang menarik, bidang pertanian bisa menjadi topik bahasan.

Sejak dikukuhkan menjadi Sarjana Matematika dari Kampus Institut  Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya pada tahun 1989, Desemba  Sagita Titaheluw tidak pernah menemukan pekerjaan sesuai dengan bidang  keilmuannya, hingga akhirnya menemukan kesamaan cara berpikir matematika dengan seni lukis yang saat ini mulai ditekuninya. Maksudnya cara penyederhanaan suatu masalah dengan menggunakan simbol-simbol seperti yang ada di pelajaran Matematika, sebetulnya juga membantu seorang pelukis.

Dari tangan Dewi Lestari lahirlah beberapa novel yang bergenre fiksi ilmiah, seperti novel Supernova yang sarat dengan istilah fisika. Erwin Gutawa, lulusan arsitektur UI, sekarang terkenal sebagai musisi yang memimpin sebuah orkestra. Jelaslah, ilmu-ilmu eksakta bukanlah ilmu yang "kering" yang tidak bisa akrab dengan dunia kesenian.

Kesimpulannya, Matematika dan pelajaran lainnya yang tergolong sulit bagi kebanyakan pelajar, bukan hanya diperlukan ilmuwan saja. Seniman sekali pun tetap perlu ilmu Matematika, minimal  Matematika level dasar. 

Dalam konteks anak sekolah, tumbuhkan minatnya agar bergairah belajar semua mata pelajaran, termasuk Matematika. Barulah di saat menerima ijazah, bila nilai Matematikanya rendah, besarkan hatinya dengan mengatakan banyak contoh orang sukses, meskipun saat sekolah tidak jago Matematika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun