Dulu, saat membuka Facebook, kita disambut dengan potret kehangatan keluarga, gelak tawa sahabat, atau mungkin sekadar curhatan ringan tentang hujan yang tak kunjung reda. Kini, beranda itu telah berubah. Menjadi panggung bagi mereka yang rela melakukan apa saja, benar-benar apa saja demi secuil perhatian digital yang mereka sebut "FYP" (For Your Page).
Beranda Facebook kita telah berubah menjadi medan perang yang tak lagi mengenal batas kemanusiaan. Di satu sudut, seseorang merekam dirinya melakukan aksi berbahaya yang mengancam nyawa. Di sudut lain, konten vulgar yang melecehkan martabat diri sendiri dipamerkan tanpa rasa malu. Semua ini terjadi di bawah satu payung motivasi "viralitas".
Ketika scrolling, kamu mungkin pernah tersentak melihat konten yang menunjukkan seseorang melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri, mungkin memakan benda berbahaya, melakukan akrobatik tanpa pengaman di ketinggian, atau bahkan sengaja melukai tubuhnya. Ini bukan lagi tentang "challenge" yang menghibur, tapi tentang eksploitasi diri yang mengkhawatirkan. Mereka rela mengorbankan keselamatan demi algoritma yang tidak akan pernah peduli pada nasib mereka.
Fenomena telanjang atau setengah telanjang di Facebook bukanlah hal baru, tapi intensitasnya meningkat drastis sejak obsesi FYP merebak. Tubuh manusia, yang seharusnya dihormati dan dilindungi, kini menjadi komoditas murahan untuk ditukar dengan likes dan shares. Ada batas tipis antara kebebasan berekspresi dan eksploitasi diri, dan banyak yang telah jauh melintasi batas itu tanpa menyadari konsekuensi jangka panjangnya.
Aksi tidak manusiawi juga semakin marak. Dari bullying yang direkam dan dibagikan sebagai lelucon, pelecehan terhadap orang-orang rentan, hingga penganiayaan hewan yang disajikan sebagai konten "menghibur". Facebook seolah menjadi tempat di mana empati dan nurani dititipkan di pintu masuk, digantikan oleh kebutuhan obsesif akan validasi virtual.
Yang lebih mengkhawatirkan, aksi-aksi berbahaya ini sering kali mendapatkan apa yang mereka inginkan yakni viralitas. Algoritma, yang dirancang untuk memaksimalkan engagement, cenderung mempromosikan konten yang memicu reaksi kuat, terlepas dari apakah reaksi itu positif atau negatif. Kemarahan, keterkejutan, dan ketidaknyamanan menghasilkan komentar dan shares yang sama banyaknya dengan kekaguman, mungkin bahkan lebih.
Sementara Facebook memiliki kebijakan dan mekanisme pelaporan, kecepatan penyebaran konten seringkali mengalahkan kecepatan moderasi. Sebelum konten bermasalah ditindak, ribuan atau bahkan jutaan orang telah menyaksikannya, termasuk anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap pembentukan identitas dan nilai moral.
Dampak sosial dari fenomena ini sangatlah nyata. "FYP culture" menciptakan standar baru bahwa nilai seseorang diukur dari seberapa ekstrem, kontroversial, atau mengejutkan konten yang mereka hasilkan. Kualitas digantikan oleh spektakuler, substansi dikalahkan oleh sensasi. Bagi generasi muda yang tumbuh dalam ekosistem ini, distorsi nilai menjadi ancaman serius.
Pada level individual, pengejar FYP sering kali mengalami tekanan psikologis yang tidak terlihat. Ketika identitas diri melebur dengan persona online dan validasi diperoleh melalui metrik digital, ketergantungan terhadap pengakuan eksternal semakin menguat. Siklus kompetisi tanpa akhir untuk mendapatkan perhatian menciptakan lingkaran setan di mana batasan terus didorong, risiko terus ditingkatkan.
Yang sering terlupakan adalah dampak pada penonton pasif. Paparan terus-menerus terhadap konten ekstrem secara perlahan menormalkan perilaku yang seharusnya dianggap tidak pantas atau berbahaya. Desensitisasi ini meresap ke dalam kesadaran kolektif, menggeser standar tentang apa yang dapat diterima dalam masyarakat.
Facebook Pro, yang seharusnya menjadi indikator profesionalisme, malah sering kali menjadi legitimasi bagi konten-konten problematik. Label "pro" disalahartikan sebagai lisensi untuk melakukan apa saja demi engagement, bukan sebagai tanggung jawab untuk menghasilkan konten berkualitas dan bermanfaat.
Lantas, apa tanggung jawab platform dalam hal ini? Facebook berada dalam posisi sulit, menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan kebutuhan untuk menciptakan lingkungan yang aman. Namun, terlalu sering keputusan tampak lebih dipengaruhi oleh pertimbangan bisnis daripada kesejahteraan pengguna. Selama kontroversi menghasilkan engagement, dan engagement menghasilkan pendapatan iklan, insentif untuk perubahan radikal tetap minimal.
Pengguna juga tidak sepenuhnya tak berdaya. Melalui pola konsumsi konten, kita secara tidak langsung "memilih" jenis konten yang akan dipromosikan oleh algoritma. Dengan secara sadar berhenti berinteraksi dengan konten berbahaya atau tidak etis tidak menonton, tidak memberi like, tidak membagikan, tidak berkomentar bahkan untuk mengkritik kita dapat secara kolektif mengirimkan sinyal bahwa konten tersebut tidak diinginkan.
Literasi digital menjadi kunci penting untuk mengatasi problematika ini. Pemahaman tentang bagaimana platform media sosial bekerja, kesadaran akan teknik manipulasi yang digunakan untuk menarik perhatian, dan kemampuan kritis untuk mengevaluasi konten, harus menjadi bagian dari pendidikan dasar di era digital ini.
Di tengah lanskap digital yang kompleks, peran keluarga dan komunitas menjadi semakin vital. Dialog terbuka tentang penggunaan media sosial, pembentukan nilai-nilai yang kuat, dan penekanan pada harga diri yang tidak bergantung pada validasi online, dapat menjadi benteng perlindungan terutama bagi generasi muda.
Regulasi yang tepat juga diperlukan, meskipun implementasinya tidak mudah dalam skala global. Kebijakan yang memperkuat perlindungan pengguna, terutama kelompok rentan, harus diimbangi dengan penghormatan terhadap kebebasan berekspresi yang legitimate. Pendekatan multi-stakeholder yang melibatkan pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil mungkin merupakan jalan terbaik untuk menavigasi kompleksitas ini.
Dalam jangka panjang, kita perlu mengajukan pertanyaan fundamental tentang model bisnis platform media sosial. Selama perhatian pengguna menjadi komoditas utama yang diperjualbelikan, dan algoritma dirancang untuk memaksimalkan waktu yang dihabiskan di platform, insentif untuk konten ekstrem akan tetap ada. Alternatif seperti model berbasis langganan, platform yang didukung komunitas, atau desain yang memprioritaskan kesejahteraan pengguna di atas engagement, layak untuk dieksplorasi lebih jauh.
Setiap revolusi teknologi menghadirkan tantangan etika dan sosial yang tidak terduga. Revolusi media sosial tidak berbeda. Namun, tidak seperti revolusi teknologi sebelumnya, kecepatan dan skala dampak media sosial belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagai masyarakat, kita masih berada dalam fase adaptasi, mencoba memahami bagaimana mengintegrasikan teknologi powerful ini ke dalam kehidupan kita tanpa kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang esensial.
Beranda Facebook kita mungkin saat ini belum sepenuhnya sehat, dipenuhi oleh mereka yang rela mempertaruhkan martabat dan keselamatan demi sekilas ketenaran digital. Namun, masa depan platform ini dan lebih luas lagi, masa depan ruang digital kita masih dapat dibentuk. Melalui kesadaran kolektif, tindakan bertanggung jawab, dan komitmen untuk memprioritaskan kemanusiaan di atas viralitas, kita dapat menciptakan kembali ruang digital yang mendukung, bukan yang mengeksploitasi sisi tergelap sifat manusia.
Ketika kita kembali membuka Facebook besok, mungkin kita bisa mengambil jeda sejenak sebelum menggulung beranda kita. Bertanya pada diri sendiri konten seperti apa yang kita konsumsi, apresiasi, dan bagikan. Karena dalam ekonomi perhatian digital, setiap interaksi adalah suara. Dan dengan suara kolektif kita, kita dapat menentukan apakah beranda Facebook akan terus menjadi arena pertaruhan kemanusiaan, atau kembali menjadi ruang untuk koneksi yang bermakna dan berbagi yang bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI